By: Isnie Annisa
“Halo?” sapaku.
“Kimmy…”
“Jamie? Nelpon tengah malam. What’s up?”
“It’s about Mom and Dad.”
“Eh? Mereka kenapa?”
“They… They’re going to separate…”
“W-what?”
“Dad asked for a divorce. He wants to stay by himself…”
“You’re lying to me, right?”
“Sorry to tell you this…. Sidangnya minggu depan.”
“Ta-tapi kenapa? Selama ini mereka mesra-mesra aja kan? Bertengkar juga nggak pernah. Pasti cuma salah paham! Nggak mungkin…”
“Kim! Sudah. Biar saja.”
“No! We have to do something! We can’t just sit down and watch the judge pound the gavel…”
“Kim…”
“I won’t let this happen!”
“Stop it, Kim!”
Aku tersentak.
“We can do nothing, Sis. It’s their final decision. We have to respect that. Maybe they had no choice…”
“Ta-pi kenapa Dad…?”
“I don’t know. Just… let him do what he wants, okay?”
“Why does he want to leave us? Doen’t he love us anymore? Hiks hiks…”
“Kim…”
“I wish I was there, I could do something… Kalau saja aku nggak kuliah di sini, aku…”
“Honey…”
ooOoo
Aku turun dari bis dengan perasaan tak tentu. Ini pertama kalinya aku pulang sejak Jamie mengabariku tentang Mom dan Dad dua minggu yang lalu. Di tempat parkir, laki-laki tinggi dan berkulit putih kemerahan duduk di atas bagasi VW hitam. Dia menoleh lalu bergegas menghampiri.
“Hai.” sapanya.
Dia melepaskan topi yang kupakai dan menatap lembut dengan mata birunya. Aku menepis tangannya.
“Apa sih?”
“You know I miss you.”
Bruk! Aku melemparkan tas ke dadanya.
“Ouch!”
“Dasar genit! Ingat umur! 25 tahun bukan remaja lagi.”
Aku masuk ke dalam mobil. Setelah memasukkan tas ke dalam bagasi, dia duduk di belakang kemudi. Mobil pun melaju.
“Hey, let’s talk about some interesting things. Have you got a good looking boy there?” tukasnya sambil tertawa.
Aku tidak bicara.
“Hey, hey. You don’t seem yourself today. Are you sick?”
Tangannya menyentuh pipiku. Aku menjauhkan kepala.
“Demam? Nanti di rumah…”
“Jamie, stop pretending there’s nothing happened to us!”
Kakakku itu meminggirkan mobil dan menyandarkan kedua lengannya ke stir.
“What’s this?”
“Udah jelas kan? Tentang Mom and Dad. You haven’t told me yet.“
Dia menatapku sesaat sebelum menghidupkan lagi mesin mobil.
“I don’t wanna talk about it.”
“Great! You do that again. Look, I need to know! Mereka juga orangtuaku!”
“Not now, Kim. Please.”
“Selalu aja! Di rumah pun aku pasti nggak akan dapat penjelasan. I want now!”
“Kimberley Parker!”
Ckiit. Jamie mengerem mendadak.
“Dewasalah sedikit. We’ll talk about it at home. I promise.”
ooOoo
Klek. Aku membuka pintu rumah.
“Mom?”
Seorang wanita setengah baya turun dari tangga.
“Kimmy?!”
“Mom!”
Kami berpelukan. Mom menciumiku.
“Uh, Mom. Udah dong. Geli nih…”
Mom memegang wajahku dengan tangan halusnya. Matanya berkaca-kaca. She looks older than she is. Apa karena masalah Dad?
“Cantik.”
Aku tersenyum.
“As beautiful as you?”
“No. Like your father.”
Lagi-lagi Mom membahas hal itu. Aku dan Jamie yang sangat mirip Dad. Kulit putih kemerahan, bola mata biru, rambutku yang coklat terang, postur tubuh Jamie yang tinggi seperti Granpa yang mantan US Navy. Kadang menyenangkan menjadi blasteran. Namun, seringkali menyusahkan, apalagi dalam hal pergaulan. Nama yang ‘sangat’ Barat dan kebiasaan berbicara bahasa Inggris yang merepotkan orang lain.
“Mom, I’m hungry.”
“Oh ya? Sebentar Mom siapkan dulu your favourite food, sayur kacang merah plus telur ceplok…”
“Sekalian pasta kesukaan Jamie!” celetuk kakakku.
“Coming soon!” ujar Mom sambil berjalan menuju dapur.
Aku melangkah ke kamar, lalu berhenti sejenak.
“James Parker.” panggilku.
“Yes, Miss?”
“Remind me to remind you to come to my room tonight to fullfill your promise.” tukasku agak sinis.
Jamie tersenyum sambil menunjukkan huruf O dengan tangan kirinya.
ooOoo
Tok tok. Pintu kamarku diketuk. Aku menggeliat dan melihat jam. Pukul 2 pagi. Klek. Pintu terbuka.
“Kimmy?”
Seraut wajah bule muncul dengan senyum manisnya.
“Belum tidur?”
“Nggak sadar udah ganggu orang?”
Jamie tersenyum lagi, lalu mendekat.
“Mau apa?”
“Fullfilling my promise…?”
Aku bangkit dari posisi tidurku. Dia pun duduk di ranjang menghadapku.
“So?”
“Hmm…, inharmony, I guess.“
“Cuma itu?”
“Yeah, people can easily change.”
“Eh?”
“Bosan, tidak sesuai keinginan, semacam itulah.”
“Trivial thing? Hanya karena masalah sepele sampai…”
“You know Dad.”
Aku terdiam. Ya, Dad mudah sekali bosan saat mengerjakan sesuatu.
“Ta-tapi ini…. Marriage’s not such a trivial thing!”
“It is, for some people. Kamu juga pasti sering lihat artis-artis yang lagi tren cerai. And somewhere out there, pernikahan bukan lagi jadi hal yang penting.”
“Di US?”
“Well, yes, I found many cases when I lived in Cali. One, man or woman, can easily leave his mate just because he falls in love with another. Or maybe he thinks that marriage just hinders him to do what he wants to do. Kinds of that. Kamu justru beruntung nggak pernah tinggal di sana.”
“What about Dad? Do you think he fell in love again?”
“I don’t know. Maybe yes, maybe no. Maybe he just can’t live in Indonesia for more. You know, his bussiness has never satisfied him since we moved from Cali. It does make sense, doesn’t it?”
Aku menatap Jamie, mencari celah dari kata-katanya. Dia berusaha meyakinkanku, tapi tetap saja aku merasa ada yang janggal.
“Sudahlah. Let him back to his own life. Dia itu 100% bule. Jangan paksa dia hidup seperti orang Timur. Mom juga nggak pernah minta Dad masuk Islam waktu mereka menikah kan?”
“I miss him. I don’t wanna lose him.”
“Me neither. But what else can we do? Oh c’mon, Babe. Think about Mom. She’s only got us.”
Drrt drrt. Ponselku bergetar. Unknown.
“Halo?”
“Hi, Baby, I miss you so much….”
“D-dad?”
ooOoo
Aku duduk di bangku terminal. Sudah hampir setahun sejak perceraian Mom and Dad. Tak pernah sekalipun Dad mengunjungi kami. Hanya uang, telepon, dan e-mail yang datang. Untunglah, aku “dibawa” ke organisasi keislaman oleh sahabatku.
“Kimmy!”
Aku menoleh. Jamie, masih dengan kemeja dan dasinya, berlari menembus hujan dari tempat parkir.
“What took you so long?” keluhku.
“I’m so sorry. Boss wanted me to do something with his computer. So, I’m a little bit late.”
“An hour, you know? Huh, harusnya aku pulang sendiri! Tapi siapa ya yang maksa mau jemput padahal dia sibuk banget?” sindirku.
“Kim…”
“Katanya sih bahaya kalau perempuan jalan sendiri. But I’m 19 now.”
“Kimmy…” katanya dengan nada menyesal.
Aku menjulurkan lidah.
“Gotcha!”
“Ah! You’re teasing me!”
Aku terkekeh. Jamie masih juga bisa kujahili.
“Have I told you that you look more Indonesia with that clothes?” tukasnya si perjalanan.
“No, but you ever screamed, ‘Hey, what happen with you?!’ when you saw me with kerudung and jilbab for the first time.”
“Did I? Sorry, then.”
“Aku lebih suka dibilang “Islami” daripada “more Indonesia”. Nggak ada kaitannya dengan orang Indonesia atau bukan. I’m a moslem, not American, not Indonesian.”
Jamie tersenyum.
“Jamie, I miss Dad…”
“Eh?”
“Have he ever come while I’ve been in Yogya?”
“Kamu itu polos atau bodoh?” candanya.
“What?!”
“Dad cuma menelepon dan email kamu, bukan aku atau Mom. Remember?”
Aku menelan ludah. Ups.
“You’re hurt?”
Jamie terdiam sesaat.
“No, not at all. Well, it’s good for me and Mom anyway…”
“W-what do you mean?”
Lagi-lagi Jamie tersenyum. Aneh. Tak sengaja, mataku menemukan tanda pengenal kantor Jamie. Tertulis “James Parker, Human Resources Manager”. Parker. Dad minta kami untuk tetap memakai nama itu setelah perceraian. Memang tidak masalah di Indonesia, tapi di US? Yah, sudahlah. Lagipula akan aneh jika namaku menjadi Kimberley Marlina dari nama Mom, Nina Marlina. Lebih lucu lagi untuk Jamie. James Marlina?
ooOoo
“Astaghfirullah al ‘adzim!” pekikku.
“Hmm? Apa sih ribut-ribut?”
“Tuh!” sahutku sambil menunjuk layar televisi.
“Oprah? What’s been talking about?” tanyanya sambil menenggak jus apel.
“Sexuality changing.”
“Uhuk…”
Jamie tersedak.
“Who’s that? A boy… or a girl?”
Jamie menunjuk anak yang duduk di antara Oprah dan sepasang suami-istri.
“A girl who thinks she’s a boy.”
“So young! What age?”
“11. Dia ‘jadi’ cowok waktu 9 tahun. So easy to deny the destiny.“
“Oh, I remember! Dulu, aku punya tetangga yang anak perempuannya ngotot dia itu cowok. At 6, she wanted to be a boy. She threatened to commit suicide if her parents wouldn’t permit her. They had no choice…”
“Astaghfirullah.”
“Di sana sexuality changing itu hak asasi. Everybody’s free to choose, to be a man, or a woman…“
“Mengerikan! Pemerintahnya hancur banget! Bikin aturan seenak perut! Udah jelas hukum Allah tentang hal ini! Di Indonesia sama hancurnya. Ada Kontes Waria segala. Nggak ada aturan yang jelas dari pemerintah. Jadi orang-orang bisa dengan gampangnya berbuat maksiat, sampai mengingkari kodrat, nggak ada yang jadi pengontrol…”
“Hmm…?”
“Lihat aja. Semua orang yang katanya ganti jenis kelamin pasti bilang “Aku ini laki-laki yang terperangkap dalam tubuh perempuan’ atau sebaliknya. Itu sama aja nuduh Allah salah bikin!”
“Hmm…”
“Itu ahli terapis apaan! ‘Otak berkembang sebagai laki-laki, tapi organ tubuh sebagai perempuan’. Mana ada yang gitu! Nasehat aneh-aneh! Masa orangtuanya disuruh let their child do what he wants, milih jadi cowok atau jadi cewek…”
“Hmm…”
Eh? Aku menoleh ke arah Jamie.
“Please, go on…” katanya sambil tersenyum.
“Apa sih! Dari tadi “hmm-hmm” terus! Ngeledek?”
“No, of course not! I’m proud of you anyway. Bisa berubah sedrastis ini, gimana caranya? Well, so, the solution is…?”
“Brain washing!”
“What?!”
“Otak mereka harus dicuci. Harus dikasih pemahaman yang benar, nggak mungkin Allah salah. Terus, acara ini bisa jadi ‘pembenaran’ tentang sexuality changing buat orang yang nonton. Gawat kan? Bisa-bisa…”
“Bisa-bisa, aku jatuh cinta sama cewek yang sebenarnya cowok…”
Jamie tersenyum usil. Ugh! Dia menggodaku. Jamie pun menjauh dariku yang bersiap untuk memberinya ‘pelajaran’. Aku berlari mengejarnya.
Brugh. Tiba-tiba, Jamie berhenti hingga aku menabraknya. Aku mengikuti pandangannya ke layar televisi.
“So, you’ve a wife and four children?” tanya Oprah pada wanita di sampingnya.
“Well, yes. I have a very beautiful wife…” jawab ‘wanita’ itu.
Apa?! Aku melirik ke arah Jamie yang menutup mulutnya dengan tangan kiri. Wajahnya tampak tegang.
“Gila. Udah nikah, punya empat anak, eh malah jadi perempuan. Padahal tadinya kan dia cowok banget, berjenggot, pemain baseball. Wajar aja istrinya minta cerai…”
Jamie tidak bersuara. Matanya tidak beralih sedikitpun.
“Dia cuma mau menyenangkan orangtuanya, meneruskan nama keluarga. Setelah itu, dia bebas…”
“Hah? Jamie?”
Jamie mengepalkan tangan. Wajahnya memerah.
“Hey, what’s up? Jamie?”
“Nothing.”
Dia pun berjalan menuju kamar, meninggalkan aku yang kebingungan.
ooOoo
“I won’t let this happen!”
“Mom!”
Suara Mom dan Jamie. Aku mendekatkan telinga ke daun pintu kamar Mom.
“Mom! She has to know! We can’t hide this from her for all of our lifetime. Someday, she’ll know. But what if she knows from stanger, not from us? She’ll be hurt much more!”
“Tapi…”
“Mom…, let him come.”
“I don’t want Kim to hate him, just the way you do…”
“Mom…. Biarkan Kim yang menilai sendiri, okay?”
Apa sih yang mereka bicarakan?
“Hiks hiks…”
“Mom, don’t cry, please? Now, you tell her…, or I’m gonna do that?”
“I’ll tell her…”
“Good. I’ll send him an email. He’ll be damn happy.”
Klek. Jamie keluar. Aku bergegas sembunyi, lalu setelah Jamie masuk kamarnya, aku melongok Mom.
“Mom? Can I come in?”
Mom tersentak.
“Su-sure, Honey. Bukannya tadi kamu ke rumah teman?”
Aku melangkah masuk.
“Dia ada acara mendadak. Hey, what happen? Why are you crying?”
“I’m not.”
“But…”
“Kim, Honey…”
Mom menyentuh wajahku dengan kedua tangannya.
“Kimmy, jangan benci dia ya? Please?“
“Siapa?”
“Your Dad. Promise me, apapun yang terjadi, jangan benci Keithan…”
“Mom, mana mungkin aku benci Dad cuma karena kalian bercerai. I do understand, he must have his own reason why he left us. It’s OK.“
Mom menatapku dengan mata berair.
“Good girl.”
“Kenapa…”
“Tomorrow, he’ll come to see you…”
“Really?” sorakku.
“Yes, Honey. He really misses you…”
ooOoo
Ting tong. Bel berbunyi. It must be him! Aku berlari menuju pintu. Tak sabar lagi rasanya. Aku tidak mengerti kenapa Jamie malah kerja lembur dan Mom belum pulang dari rumah temannya.
“Dad!”
Aku tertegun. Bukan Dad, tapi seorang wanita tinggi berambut pirang yang berdiri membelakangiku.
“Excuse me? Whom are you looking for?”
Dia berbalik, membuka kacamata hitamnya dan mendekat.
“Kimberley…”
Dia menyentuh pipiku lembut. Eh?
“Ex-excuse me…, who’re you?”
Dia tersentak.
“Can’t you recognize me?”
Aku mengerutkan dahi. Siapa? Tiba-tiba, dia memelukku.
“Kimmy, baby, I miss you so much…” bisiknya.
Deg! Kata-kata itu…? Rasanya…. Bruk! Aku mendorongnya.
“Kimmy…?”
Aku menahan napas. Rasanya jantungku berhenti berdetak.
“D-d-dad…?”
Wanita itu terdiam.
“Yes. It’s me, baby…”
Aku berjalan mundur. Tubuhku lemas sekali. Aku jatuh terduduk.
“Kimmy?!”
Dia mencoba meraihku.
“Jangan sentuh!”
“Kim…”
Aku menutup telinga, memejamkan mata kuat-kuat. Tidak! Tidak!!!
ooOoo
DARMAGA, 20-01-2006
–
Isnie Annisa, lahir di Tasikmalaya 20 Juli 1987. Isnie adalah mahasiswi Institut Pertanian
Bogor. Motto hidup yang jadi prinsipnya: “Jam yang mati sekalipun, menunjukkan waktu
yang benar dua kali dalam sehari.”
[diambil dari Majalah SOBAT Muda, edisi 019/Tahun ke-2/Mei 2006]