Saya menulis buku ini memang ketika sudah tak lagi jomblo. Tetapi, insya Allah sisa-sisa kenangan semasa jomblo masih melekat erat dalam ingatan. Selain itu, saya ‘terbantu’ dengan fakta bahwa beberapa teman saya juga ada yang masih menjomblo sampe sekarang, lho. Bukan karena mereka tak laku, tetapi karena mereka tetap teguh mempertahankan prinsip: “meski jomblo pantang untuk maksiat.”
Oke, itu baik dan sah-sah saja. Ketimbang ada teman yang ogah disebut jomblo atau nggak tahan mendapat label jomblo, yang akhirnya justru menjerumuskan dirinya pada kubangan kemaksiatan bernama pacaran. Ah, itu sih jomblo karena nggak laku namanya. Walhasil, maen sabet aja yang penting dapat pacar. Arrghh…
Sori, bukan nuduh atau memvonis. Itu tugas penyidik dan hakim. Saya nggak bermaksud menuduh begitu saja, tetapi saya sekadar menyampaikan fakta. Iya, fakta. Gini deh, bahwa menjadi jomblo itu pilihan. Pilihan tepat ketimbang dapat gandengan tetapi dalam maksiat. Misalnya? Ya, pacaran itu tadi. Harusnya kan tetap pada prinsip keren: tak mau pacaran walau harus menanggung derita jadi jomblo. Intinya, pengen mempertahankan “high quality jomblo” biar bisa dapetin predikat anggota JI alias Jomblo Idaman. Swit swiw!
Nah, di buku ini saya membeberkan suara hati jomblowan (karena yang curhat di buku hariannya adalah seorang cowok). Ditanggung anti manyun karena insya Allah saya mengemasnya dengan gaya remaja yang kocak, ringan, gokil, namun tak kehilangan unsur pesan Islam dan inspirasi menarik buat remaja. Tertarik? Nantikan kehadirannya sebentar lagi. Sekarang, sekadar bocoran berupa covernya aja dulu, ya. Oke? Setuju ya? Sip!
Salam,
O. Solihin