Dakwahtainment

O. Solihin

Apa yang kamu pikirkan pertama kali baca judul ini? Seperti mengingatkan kepada acara gosip seleb? Hmm.. nggak salah juga. Kata “entertainment” yang melekat dengan kata info sering kita temukan dalam acara-acara gosip selebritis: infotainment alias informasi seputar hiburan. Nah, dakwahtainment juga kira-kira mirip lah. Mungkin tepatnya Dakwah Entertainment, disingkat jadi dakwahtainment. Lho, kalo gitu artinya dakwah yang bersifat hiburan dong? Bisa jadi. Atau… bisa juga dakwah yang dikemas dengan cara menghibur.

Bro en Sis, dakwah entertainment semarak di saat Ramadhan. Coba deh tengok, hampir semua stasiun televisi menayangkan dakwah yang dikemas dengan hiburan, atau malah dalam beberapa stasiun televisi dakwah digabung dengan hiburan. Televisi memang media paling ampuh untuk mengemas dan menayangkan dakwahtainment. Selain jangkauannya luas, juga kekuatannya sebagai media dengan keunggulan audio visual (bisa didengar dan bisa dilihat), televisi bisa mengambil ceruk pasar pemasang iklan. Kok bisa?

Iya. Ini terjadi semacam relasi komoditas. Masyarakat butuh guyuran rohani di bulan Ramadhan ketimbang di bulan lainnya. Nah, kebutuhan itu disadari betul pengelola televisi. Klop. Bertemunya dua kebutuhan, namun berbeda cara pandang. Masyarakat sih yang penting ada isi, sementara pengelola media memandang hal itu sebagai peluang bisnis. Hitungannya, kalo pengelola televisi menggelar sebuah program dakwah, apalagi jika dikemas dengan hiburan, maka akan menarik penonton dalam jumlah banyak. Kalo udah begitu, berarti rating acara tersebut bakalan naik. Berikutnya, pengiklan bakalan ngantri pengen mengambil jatah tayang di acara tersebut. Bisnis iya, menyampaikan pesan dakwah juga tercapai.

Tapi, apa sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat? Belum. Menurut saya belum memenuhi kebutuhan akan siraman rohani yang maksimal. Saya memang belum melakukan survei, tetapi sebuah acara bisa bagus atau tidak cukup dilihat dari konten alias isi pesannya. Sebagus apapun kemasan, kalo isi pesannya tanpa makna, apalagi jika mengaburkan makna, maka tayangan tersebut terkategori sampah. Maaf, ini fakta. Lagi pula, bertaburannya simbol-simbol agama dalam berbagai acara Ramadhan dan sinetron religi sekadar tempelan saja. Pakaian (baju koko, jilbab, kerudung, sorban, peci dan sejenisnya) juga ritual (shalat, doa, mengucapkan salam dan sejenisnya) dihadirkan tanpa konteks yang mendukung pesan moral.

Sobat muda muslim, pasti kamu tahu deh sejumlah sinetron religi di beberapa stasiun televisi. Simbol-simbol agama memang mendominasi setiap tayangannya. Tetapi, pesan yang disampaikan kering dari nilai-nilai islami. Mungkin hanya beberapa saja sinetron yang udah lumayan bagus macam—salah satunya, ini sekadar menyebut contoh—Para Pencari Tuhan. Gimana yang lainnya? Silakan bandingkan aja dengan standar tersebut. Meski Para Pencari Tuhan juga masih perlu perbaikan di sana-sini, tetapi masih mending dibanding sinetron lainnya yang mengambil ceruk dakwahtainment.

Selain sinetron, acara menjelang sahur dan berbuka puasa menjadi sasaran empuk menarik jumlah penonton dan sekaligus pengiklan. Agar bisa mempertahankan penggemar dan pengiklan (dan bila perlu menambah jumlahnya), maka jalan pintasnya dihadirkan acara-acara yang memiliki rating paling tinggi selama ini untuk disulap jadi ada unsur religinya, dan agar terlihat agak islami. Lagi-lagi, di sektor ini pun yang dihadirkan hanyalah selebritis dengan pakaian dan ritual yang tak memberi konteks apapun yang mendukung pesan moral. Malah, keberadaan ustad di acara itu sekadar tempelan belaka. Selain durasi waktunya yang dikasih jatah sebatas waktu antara imsak dan shalat shubuh alias tak lebih dari sepuluh menit, juga ‘dipaksa’ mengikuti irama yang sudah ada. Alih-alih diberi kesempatan memberikan pendapatnya, malah ada ustad yang ikut larut dalam suasana acara tersebut. Ya, karena tujuan utamanya bisnis, maka kalo pun ada orang yang dapat ilmu, itu hanya efek samping saja. Halah!

 

Dakwah bukanlah hiburan

Bro en Sis, ada baiknya kamu mengetahui juga definisi dakwah. Nah, kata dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil, mengundang atau mengajak. Ism fa’ilnya (alias pelaku) adalah da’i yang berarti pendakwah. Di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’i sebagai orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya.

Itu secara bahasa, bagaimana secara istilah (syar’i)? Secara istilah, dakwah berarti ajakan kepada orang lain, baik dengan perkataan maupun perbuatan, kepada kebaikan (al-khair), menyuruh orang lain untuk mengerjakan hal-hal yang berpahala (al-ma’ruf), serta mencegah orang lain untuk melakukan hal-hal yang berdosa (al-munkar). Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. (yang artinya) “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104)

Islam adalah agama dakwah. Salah satu inti dari ajaran Islam memang perintah kepada umatnya untuk berdakwah, yakni mengajak manusia kepada jalan Allah (tauhid) dengan hikmah (hujjah atau argumen). Kepedulian terhadap dakwah jugalah yang menjadi trademark seorang mukmin. Artinya, orang mukmin yang cuek bebek sama dakwah berarti bukan mukmin sejati. Bener, lho. Apa iya kamu tega kalo ada teman kamu yang berbuat maksiat kamu diemin aja?

Bahkan Allah memuji aktivitas mulia ini dalam firmanNya:”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim” (QS Fushshilat [41]: 33)

Boys and gals pembaca setia gaulislam, karena dakwah harus menyeru kepada yang ma’ruf sekaligus mencegah orang berbuat munkar, atau mengingatkan orang ketika berbuat munkar, maka sudah pasti benturannya juga kuat. Ingat lho, gimana beratnya dakwah Rasulullah saw. di Makkah. Kalo kamu sempat baca Sirah Nabawiyah, bakalan tahu gimana pahit getirnya Rasulullah saw. dan para sahabat ketika mengajak masyarakat Quraisy untuk meninggalkan kekufuran dan mengganti keimanan mereka dengan Islam. Dakwah Islam yang disampaikan oleh Rasulullah saw. nggak memaksa orang untuk masuk Islam, tetapi dengan cara berdialog, mengajak berpikir dan akhirnya mereka yang masuk Islam adalah orang-orang yang sudah rela, bukan terpaksa.

Meskipun Rasulullah saw. dan para sahabat melakukan dakwahnya tanpa kekerasan, tetapi perlawanan dari kaum Quraisy adalah dengan kekerasan. Beberapa sahabat Rasulullah saw. disiksa dan dan bahkan dibunuh oleh pembesar Quraisy agar masuk kembali ke ajaran nenek moyangnya. Bahkan Rasulullah saw. sendiri pernah diminta menghentikan dakwah oleh Abu Jahal dan para begundalnya melalui lisan Abu Thalib, pamannya. Tetapi, apa jawaban Rasulullah saw.?

Rasulullah saw. berkata kepada pamannya: “(Paman), demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah meme­nangkan agama ini atau aku hancur karenanya.”

Wuih, keren banget! Semoga kita bisa meneladani beliau dalam dakwah menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar. Insya Allah kita bisa.

Tetapi kalo kita lihat kondisi sekarang, dakwah ternyata tak lebih dari sekadar hiburan, bahkan ditempelkan ke dalam acara-acara yang sejatinya nggak islami. Kesempatan para mubaligh di layar kaca untuk nahi munkar nyaris tipis, atau bahkan sudah tidak mungkin lagi. Selain itu, ketika dakwah dicampur dengan hiburan, sejak saat itu dakwah sudah kehilangan tujuan utamanya untuk menyeru agar manusia berbuat baik dan tidak melakukan kemunkaran. Ironi yang entah sampai kapan bisa berakhir.

 

Jangan terbawa arus

Bro en Sis yang tetap setia membaca artikel dari gaulislam ini, kamu kudu mulai melek media. Nggak asal telen aja semua yang datangnya dari media massa, dalam hal ini televisi. Sebabnya, setiap tayangan itu tak lepas dari penyutradaraan. Tentu saja, isinya sesuai yang dikehendaki sang sutradara dan para pemilik modal.

Saat ini, dakwahtainment memang kental dengan aroma pengaburan makna dari dakwah dan tujuan dakwah. Niat menyampaikan dakwah yang dibalut dominan binis ini justru akan berdampak pada kemunduran dakwah itu sendiri. Termasuk dalam hal ini adanya ajang pencarian dai cilik, yang sarat dengan muatan bisnis. Sehingga isinya harus mengikuti selera pasar dan kering dari makna perjuangan untuk menegakkan syariat Islam secara kaafah (menyeluruh). Amat disayangkan tentunya.

Dakwah “bil-Tivi” ini, meski ada manfaatnya dalam beberapa hal, tetapi potensi bahayanya juga besar. Kok bisa? Bisa. Buktinya, pesan-pesan Islam yang ideologis tak muncul di situ. Sehingga perubahan pola pikir untuk menjadi lebih islami dan ideologis tak muncul sama sekali. Sebaliknya, malah berputar di arena sekularisme belaka. Banyak yang mengaku muslim, tetapi hanya taat di dalam masjid atau ketika beribadah ritual. Tetapi di luar masjid, duit dan kepentingan hawa nafsu lah yang dijadikan sesembahan. Gawat!

So, jangan terbawa arus. Selektiflah memilih tayangan media massa dan tetap belajar Islam dengan cara yang benar dan baik, yakni ada gurunya dan materi yang diajarkannya benar bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Lebih keren lagi kalo kamu juga nantinya jadi pengemban dakwah Islam yang handal. Bisa ya! [dimuat di Buletin Remaja gaulislam, edisi 199/tahun ke-4, 15 Agustus 2011]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *