Gua Cantik!
(Balada Lupi Abu dan Betty Lovia)
by: Nafiisah FB
Hari Minggu berikutnya.
Betty sedang menonton televisi. Dia seorang diri.
Tidak ada suara-suara bisik-bisik berisik Joan dan Ayuni. Tidak terdengar celotehan Rita tentang tempat makan atau cafe yang pernah dia datangi.
Kalau Rita udah cerita susah distop. Ceritanya bisa berseri. Panjangnya bisa ngalahin sinetron stripping. Awal-awal sih masih dipantengin. Di pertengahan orang-orang mulai cari-cari kesibukan, tapi masih tetap respon walau sekedar bilang, ”O,” atau ”Hm.” Pas mendekati ending, orang-orang akhirnya tidur dengan sukses.
Hari Minggu ini Joan masih menginap di rumah tantenya. Ayuni sedang ke seminar kecantikan. Rita lagi semangat-semangatnya mengikuti hari pertama kursus memasak.
Sepi … sunyi. Aaaah senangnya! Betty sumringah menyeruput teh manis yang sengaja dibuat spesial oleh dirinya untuk dirinya. Matanya tidak dilepaskan dari tontonan ala layar kaca.
Para wanita cantik dari seluruh penjuru negeri berjalan anggun ke atas panggung. Busana mereka yang bersilau membuat Betty semakin terpukau. Kedua matanya di balik kacamata tebal enggan mengedip. Gemuruh tepuk tangan hadirin yang banyak diundang dari kalangan pesohor dunia tidak urung membuat Betty mengkhayal seketika.
ooOoo
Cring! Seorang Peri Baik Hati hadir.
Peri Baik Hati turun ke bumi dan menolong seorang gadis buruk rupa yang budiman menuju perubahan.
Cring! Satu hentakan tongkat dan satu kelebat cahaya membuat Gadis Buruk Rupa berubah menjadi Putri Cantik.
Pangeran Tampan yang wajahnya mirip artis Indra Brugman mendengar keberadaan Putri Cantik. Seorang belahan jiwa segera terpampang di pelupuk matanya. Pangeran Tampan segera berkuda menuju dambaan jiwa.
Setibanya di hadapan Putri Cantik, Pangeran Tampan segera mengutarakan isi hati.
”Will you marry me?”
Putri Cantik diam sesaat, memberikan kesempatan kepada pikiran dan perasaannya berdiskusi.
”Terima … enggak. Terima … enggak. Terima enggak, ya? Aku kan enggak mau nerima yang enggak-enggak!” Putri Cantik terus berdialog dalam hati.
Detik demi detik berlangsung di tengah penantian Pangeran Tampan yang tidak sabar.
“Buruan nyatakan. Buruan kamu katakan. Buruan deh nyatakan. Buruan kamu katakan!” ucap Pangeran Tampan dengan nada lagu Projet Pop yang tiba-tiba not-not baloknya bermunculan, diiringi musik band Teamlo yang mendadak datang tanpa diundang.
Akhirnya Putri Cantik mengumumkan keputusannya. Pangeran siap mendengarkan
Putri Cantik mengucapkan,”Saya ….”
ooOoo
“Hei! Siang bolong ngayal aja!”
Putri Cantik tergagap sejenak lalu … perlahan menoleh ke seraut wajah memerah yang mengagetkannya. Setelah itu Putri Cantik melihat Pangeran Tampan sudah tidak di tempatnya. Putri Cantik pun kembali berubah menjadi Gadis Buruk Rupa.
“Eh, Bet. Kenapa lo?!” tanya suara itu lagi.
Di hadapan Betty telah berdiri seorang cewek tinggi, kurus, berkulit sawo sangat matang dengan wajah penuh acne. Di kaus yang sedang dikenakannya jelas terpampang tulisan “Gua Enggak Takut Jerawat, Karena Jerawat Biar Pak Lek Boy yang Ngerawat”.
“Aduuuuh! Lupi! Elo tuuuuh! Ganggu gua aja! Hih!” Betty kesal, gemas.
”Eh, elo kenapa sih?”
”Kenapa, kenapa! Elo enggak liat gua marah?! Elo tuh udah ngerusak khayalan terindah dalam hidup gua! Udah masuk enggak pake’ salam lagi!” teriak Betty membabi buta.
Betty tidak pura-pura dengan kegeramannya. Kawat gigi sekuat baja pun ditampakkannya.
“Calm down, Sis. Calm down. Elo pasti lagi di puncak depresi! Lagian salah sendiri nonton begituan! Apaan tuh … kontes Putri Sampo Paten. Ngapain juga sih nonton pake’ diseriusin gitu?! Santai aja kali,” ujar Lupi sambil merebahkan bahu di sofa tempat Betty melabuhkan tubuh sejak tadi.
“Elo sih enak ngomong begitu. Masalah lo kan cuma jerawat! Jerawat lo hilang elo bisa kaya’ mereka tuh!” Betty menunjuk ke arah tivi dengan sinis.
“Atau kaya’ Beyonce! Elo mau ngomong gitu kan? Iya, kan?”
“Idih! Ge-er!”
“He, he, he ….” Lupita terkekeh.
Setelah itu dia menghela nafas.
”Heeeeh.”
Betty memperhatikan.
”Gua emang bakalan bisa kaya’ cewek-cewek di tv itu, Bet. Tapi entar! Setelah para jerawat ini menempuh 100 tahun perjalanan kehidupan!” ucap Lupita parau.
“Eh, tapi katanya modal mereka yang ikut kontes itu enggak cuma fisik, kok, ” lanjut Lupita sambil menegakkan badan.
“Tapi, mereka cantik, Pi. Lihat dong!” tanggap Betty.
“Mereka kan juga harus ngejawab pertanyaan-pertanyaan sulit,” lanjut Lupita.
“Dan mereka cantik!” tegas Betty.
“Mereka diminta unjuk bakat. Berarti mereka punya kemampuan,” kejar Lupita.
“Dan mereka cantik ! Udah, deh lihat aja faktanya. Gua, elo, kita harus siap ngadepin fakta bahwa cantik, kulit mulus, bodi seksi, ramping. Itu yang pasti diliat duluan!” argumen Betty sewot.
Lupita menatap langit-langit dan berucap,”Walaupun kita juga pintar.”
“Tapi, ga cantik.” Betty menghela nafas panjang.
“Walaupun kita juga punya kemampuan, keahlian,” ucap Lupita dalam suara yang mulai sendu.
“Tapi kita enggak CAN-TIK!” kata Betty menambah sendu.
“Padahal kita juga ….”
“Iya! Tapi, kita enggak cantiiiiik!!!!!” teriak Betty sekuat tenaga bikin Lupita loncat dari posisi duduknya.
Lupita mengusap-usap telinga kanannya yang pengeng. Sekarang dia berdiri menatap Betty yang tampak bernafas tersengal menata emosinya.
“Assalamu’alaikum! Pecel, Mbak!”
Suara di luar rumah menyela kemarahan Betty. Dia segera sadar perutnya keroncongan.
“Iya, Mbak!” sahut Betty dan Lupita kompak.
”Tunggu, Mbak!” lanjut Betty.
Betty mengecek uang di kantung celananya dan segera berjalan cepat menuju Mbak Pecel. Lupita mengikuti langkahnya.
ooOoo
Betty dan Lupita keluar menuju halaman. Mereka berhenti di depan pintu pagar. Terpana.
”Mbak? Kok, bengong? Jadi enggak beli pecelnya?”
”Eh, iya. Masuk, Mbak.”
Betty membuka pintu pagar. Lupita masih memandangi Si Mbak Pecel.
Betty juga melakukan hal yang sama. Dia memperhatikan Mbak Pecel yang sedang sibuk menata isi pecel, dari atas sampai bawah, dari bawah lalu kembali ke atas.
Sosok sederhana dengan kerudung dan jilbab yang menambah kesahajaannya. Kulit sangat tipikal orang ras melayu cenderung gelap malah. Lebih gelap dibandingkan kulit Lupita. Wajah jelas bukan saingan Tamara Blezinski atau Dessy Ratnasari.
“Mbak, ini pecelnya,” Mbak Pecel menyodorkan pecel ke Betty.
“Eh, iya. Satu lagi, Mbak. Buat temen saya nih.”
Mbak Pecel mengangguk lembut. Setelah itu tangannya segera kembali menata sayuran dan saus kacang. Lupita masih memandanginya tanpa memutus urai tanya di pikirannya.
Wajahnya yang berminyak ditimpa sinar matahari jelas bukan kriteria Putri Sampo Paten yang baru ditontonnya.
”Tapi, kenapa ya gua kok ngeliatnya beda. Adem gitu.” Lupita membatin.
“Mbak, jualan pecel sejak kapan sih?” tanya Lupita tanpa bermaksud iseng.
Mbak Pecel memperlihatkan senyum lembutnya. Dia menyerahkan pecel pesanan Lupita.
“Sejak lulus SMP, empat tahun lalu.”
”Seumuran gua dong,” batin Lupita lagi.
”Kok saya baru liat Mbak sekarang ya. Biasanya yang ibu-ibu.” Betty cari tahu.
”Oh, itu ibu saya. Biasanya saya keliling di komplek utara. Ibu saya yang di sini. Kebetulan lagi enggak enak badan. Jadi, saya yang gantiin. Ya double shift gitu.”
”Double shift. Si Mbak keren juga ngerti double shift,” batin Lupita kagum.
”Kenapa jualan pecel, Mbak? Enggak nyoba kerja yang lain?” Lupita bertanya lagi.
”Jualan pecel begini karena yang saya bisa ya jualan seperti ini. Kasihan Emak kalau saya nganggur, Mbak. Pengen juga sih kerja yang lain, tapi kan perlu modal. Harus bisa akuntansi, bahasa Inggris, atau komputer. Makanya, saya dikit-dikit nabung biar bisa kursus.”
“Assalamu’alaikum!” sapa seseorang.
Seorang ibu berbadan besar berkerudung kecil sudah berdiri di depan pagar.
“Wa’alaikum salam. Eh, Nyak Haji!” jawab Betty.
“Iya, nih, Bet. Enyak dari tadi nyariin Marni. Tahunya dia di sini!” info Nyak Haji sambil masuk, mendekati Marni.
“Mar, jangan lupa, ye. Habis ini elo ke mesjid. Enyak mau ngenalin elo ke anak-anak remaja mesjid!”
“Iya, Nyak Haji.”
“Si Marni ini yang entar bakal gantiin Mbak Hanum, Bet. Mbak Hanum kan bakal pindah ke Palembang ikut suaminya ke sana. Nah, Si Marni dah yang ditunjuk ngegantiin buat ngebina remaja mesjid. Kalau Betty sama Lupi enggak sibuk entar boleh juga ikut. Eh, Enyak pergi dulu ye. Babe ude nungguin ikan asin nih. Mar, elo sekalian aje ikut Enyak ke rumah dulu. Enyak mau minta ajarin resep elo yang kemaren.”
“Iya, Nyak.”
“Eh, sebentar. Uang pecelnya!” cegah Betty sebelum Marni dan Nyak Haji beranjak pergi.
“Udah kagak usah. Entar Enyak yang bayarin. Sekali-kali ibu kost nraktir anak kost enggak apa-apa kan? Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!” jawab Betty dan Lupita serempak.
Mereka berdua menatapi langkah-langkah Marni yang tegak tanpa ragu dengan wadah pecel terbeban di bahu.
“Cantik yang sesungguhnya,” ucap Lupita lirih.
Lupita haru melihat pecel di tangan.
“Ternyata lebih indah,” Betty lirih membalas ucapan Lupita.
Mereka berdua saling pandang.
“Elo ngerasain hal yang sama?” tanya Lupita.
“Elo juga?” tanya Betty. Lupita mengangguk.
Kemudian mereka berdua perlahan tersenyum saling memandang. Sosok para Putri Sampo Paten perlahan menghilang, karena kini berganti dengan … rasa lapar.
ooOoo
“Elo yakin?” Lupita memandang Betty.
“Yakin.”
“Jadi, kapan?”
“Entar malam.”
“Gua ikut.”
“Itu harapan gua,” kata Betty tersenyum.
Lupita tersenyum. Dia meregangkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ringan. Beban dirasakannya separuh hilang.[…bersambung]