Oleh M. Iwan Januar
Belakangan ini masyarakat gandrung dengan pelatihan motivasi diri. Beragam tag dimunculkan pada training itu, di antaranya ada yang memompa motivasi dan potensi diri untuk karir dan penghasilan. Iming-iming kesuksesan dan keberlimpahan penghasilan ditawarkan oleh para trainer. Mulai untuk karyawan sampai mendorong karyawan agar melepaskan status karyawannya dan menjadi entrepreuneur.
Sebagian traning itu juga diadakan dengan latar belakang keislaman. Meski nyaris berujung pada hal yang sama; keberlimpahan penghasilan. Bahagia dan barakah akhirnya diidentikkan dengan hidup yang nyaman. Hidup yang nyaman itu adalah mapan, sehat dan disukai banyak orang.
Tidak ada yang salah menjadi orang kaya dan sukses. Allah SWT. pun mengizinkan umat manusia dan kaum muslimin untuk meraih bagian di dunia. FirmanNya:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi.”(QS al-Qashash: 77)
Sejarah mencatat betapa kayanya seorang Abdurrahman bin Auf ra. yang bisa menginfakkan 700 ekor untanya yang penuh berisi muatan perdagangan. Lalu menginfakkan harta sebanyak 40 ribu dirham (1 dirham = 2,975 g perak) dan 40 ribu dinar (1 dinar = 4,25 g emas). Pembaca bisa menghitung berapa besar harta yang dicurahkan Ibnu Auf di jalan Allah, dan berapa banyak harta yang ia miliki.
Tetapi bukankah kita, kaum muslimin telah memiliki makna tersendiri tentang kebahagiaan dan keberhasilan hidup? Kebahagiaan menurut Islam adalah manakala seorang muslim bisa mempersembahkan amal solehnya untuk menuai ridlo Allah SWT. Bukan keberlimpahan harta. Barakah diukur dengan kebaikan yang terus bertambah (ziyadatul khair), bukan bertambahnya pundi-pundi emas seseorang, membengkaknya nilai saldo seseorang, bertambah megah rumah yang ia miliki, dan makin terpandangnya seseorang di hadapan banyak orang.
Ini adalah pakem yang klasik dan elementer dalam keislaman kita. Rasanya sudah ditulis jutaan kali, dikumandangkan jutaan kali pula dalam khutbah dan aneka taushiyah bahwa dunia bukanlah tujuan hidup. Bahwa rizki di tangan Allah, dan jangan memandang ke atas dalam urusan dunia. Dan bukankah sering kita baca bahwa Nabi kita, Muhammad saw. bukanlah orang yang hidupnya berlimpah harta.
Hanya saja manusia memang tabiat dasar manusia senang dengan hidup yang nyaman dan mapan. Itu adalah fitrah.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran: 14)
Tapi fitrah itu harus ditundukkan pada tujuan hidup sebagai muslim. Bila tidak kita jatuh pada orientasi hidup yang salah. Bahwa dunia harus dikejar agar hidup bahagia. Dan orang yang tidak ngoyo mengejar dunia dianggap menyia-nyiakan potensi diri, kurang motivasi hidup, dan pemalas.
Tapi memang dunia penuh perangkap, dan perangkap itu nikmat serta sering berbalut agama. Padahal ujungnya adalah perangkap dunia. Orang dianjurkan sedekah dengan imingan hartanya akan jauh berlimpah ketimpang apa yang ia sedekahkan. Padahal ketika Abdurrahman bin Auf menyedekahkan 700 untanya yang lengkap berisi barang dagangan adalah karena takut masuk surga dengan cara merangkak, sementara ia amat berharap dapat berlari ke sana.
Ada pula yang beralasan bahwa motivasi hidup sukses dan bergelimang harta itu demi alasan dakwah. Bukankah bila para dai menjadi kaya maka bisa membantu dakwah? Bukan jamannya juru dakwah itu hidup sederhana apalagi sengsara. Mungkin begitu pikir mereka.
Semoga kita tidak lupa bahwa sebagian besar as-Sabiqun al-Awwalun agama ini adalah kaum dluafa. Dari barisan para dluafa ini justru Islam menuai kemenangan. Ada Abdullah bin Mas’ud ra. yang kurus kering tapi lantang menyuarakan ayat-ayat al-Quran di depan Ka’bah, di hadapan pembesar-pembesar Quraisy, ada Abu Dzar al-Ghiffari ra., ada Ali bin Abi Thalib, Amr bin Yassir, dll.
Bahkan ada sahabat yang semula priyayi, hidup mapan, dicintai banyak orang, justru melepaskan kemapanan hidupnya dan rela hidup menjadi mustadl’afin. Sebutlah Mush’ab bin Umair ra. dan Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Saat Mush’ab syahid dalam perang Uhud, kafannya hanyalah selembar kain usang yang bila ditarik ke kepalanya maka kakinya terlihat, dan bila ditarik ke kakinya maka kepalanya tampak. Sampai-sampai air mata Rasulullah saw. menitik bila mengingat keadaan Mush’ab sebelum masuk Islam, sebagai anak muda yang trendy, wangi, dan disukai gadis-gadis Mekkah.
Bukan kemapanan hidup yang menghasilkan kemenangan. Tapi keistiqamahan selama hayat dikandung badan, meski hidup sederhana ataupun menderita. Seorang pengemban dakwah wajib meyakini 100 persen bahwa ketulusan dan kedekatan seseorang pada Allah yang membuka pintu kemenangan, bukan keberlimpahan harta. Tertoreh dalam sejarah bahwa Pendeta Sophronius menyerahkan kunci gerbang Yerusalem kepada Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra. yang saat itu datang dengan pakaian kekhilafahannya yang dipenuhi 14 tambalan. Tapi Sophronius justru percaya bahwa itulah ‘the choosen one’, orang yang dijanjikan Injil dan Talmud akan memakmurkan dan menjaga Yerusalem.
Maka Abdurrahman bin Auf meneteskan air mata dan meninggalkan hidangannya yang lezat setiap kali mengingat syahidnya Mush’ab bin Umair. Ia amat iri pada apa yang menimpa Mush’ab, dan ia khawatir bahwa keberlimpahan hartanya adalah kebaikan yang dipercepat, dan tidak ada lagi untuknya kelak di akhirat.
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS asy-Syûra: 20)
Saya tutup kalam ini dengan hadits shahih dari Imam Bukhari-Muslim yang meriwayatkan bahwa suatu ketika Umar bin Khaththab menemui Rasulullah saw. Saat itu Rasulullah saw. tengah menyendiri di gudang rumahnya. Tatkala Umar datang, ia mendapati Rasulullah saw. tengah berbaring di atas tikar dan terlihat guratan tikar pada wajah dan tubuh beliau. Sedangkan makanan beliau saat itu hanyalah segantang gandum dan qarazh yang disimpan di sudut kamar. Melihat keadaan itu bercucuranlah air mata Umar. Lalu Rasulullah saw. bertanya, “Kenapa engkau menangis, hai Ibnu Khathtab?” Umar menjawab, “Ya, Nabiyallah! Aku menangis karena melihat tikar ini membekas di rusuk Anda. Dan gudang ini tidak menyimpan apa-apa. Padahal gudang kaisar Romawi dan kisra Persia berlimpah dengan buah-buahan dan serba cukup adanya. Sedangkan engkau adalah Rasulullah dan pilihanNya. Beginilah keadaan gudang simpanan engkau.”
“Hai, Ibnu Khaththab! Tidak sukakah engkau, akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?” tanya Rasulullah saw. Umar menjawab, “Aku suka, ya Rasulullah!”.
Rasulullah dalam mengenangmu
Kami susuri lembaran sirahmu
Pahit getir perjuanganmu
Membawa cahaya kebenaran
Engkau taburkan pengorbananmu
Untuk umat mu yang tercinta
Biar terpaksa tempuh derita
Cekalnya hatimu menempuh ranjaunya
Tak terjangkau tinggi pekertimu
Tidak tergambar indahnya akhlak mu
Tidak terbalas segala jasa mu
Sesungguhnya engkau rasul mulia
Tabahnya hatimu menempuh dugaan
Mengajar erti kesabaran
Menjulang panji kemenangan
Terukir nama mu di dalam Al Quran
Rasulullah kami ummatmu
Walau tak pernah melihat wajah mu
Kami cuba mengingatimu
Dan kami cuba mengamalsunnah mu
Kami sambung perjuanganmu
Walau kami dicaci dihina
Tapi kami tak pernah kecewa
Allah dan rasul sebagai pembela
update terakhir: Sabtu (27/02/10), 03:15 WIB