Oleh Ria Fariana
Acara bertajuk mencari bakat anak-anak Indonesia sedang menjamur sekarang ini. Hampir semua stasiun TV berlomba-lomba menggelar acara yang mirip satu sama lain. Indonesia Mencari Bakat yang diselenggarakan oleh Trans TV muncul lebih dulu dan menyedot banyak perhatian permirsa. Tak lama kemudian, nongol Indonesia’s Got Talent, sebuah acara yang mendapat lisensi dari Fremantle Media. Isinya persis plek dengan America’s Got Talent, Britain’s Got Talent, dll.
Setelah era AFI, Indonesian Idol dan dan beberapa acara sejenis namun kurang tenar berlalu, muncul yang namanya Mama Mia dan hal-hal yang ber’bau’ anak dan mama. Kemudian, muncullah ajang pencarian bakat baik yang memakai judul bahasa Indonesia ataupun yang menjiplak plek dari bahasa aslinya yaitu bahasa Inggris. Tapi intinya mah saja, mengekor kreativitas dari negara yang dianggap lebih daripada dirinya sendiri.
Masyarakat Indonesia pun terlena, mulai dari anak kecil hingga dewasa bahkan ibu-ibu dan bapak-bapak serta kakek-nenek pada mantengin acara pencarian bakat ini. Semua punya jago masing-masing. Ada yang milih Hudson, penyanyi ‘transgender’ alias separuh laki-laki dan separuh perempuan. Ada juga yang ngefans berat dengan Brandon, si kecil yang lincah kayak bola bekel. Lalu ada juga yang berada di pihak Putri, si penyanyi seriosa atau bahkan Klanthink, grup pemusik jalanan yang bisa eksis hingga tahap final.
Sebagai remaja muslim yang cerdas, gimana sih kita menyikapi semua ajang pencarian bakat seperti ini? Apa iya kita kudu mantengin aksi-aksi mereka setiap tampil di TV terus ikut-ikutan kirim polling SMS? Atau kita sama sekali anti terhadap tayangan sejenis dan tak mau tahu sama sekali tentangnya? Hmm…gimana ya enaknya. Yuk kita bahas satu demi satu. Lanjoott!
Tambang uang kapitalisme
Semua acara audisi yang mengeksploitasi kemampuan diri apalagi body (baca: tubuh), bertujuan UUD (Ujung-Ujungnya Duit) juga. Masyarakat yang gampang dibuat tersihir oleh tayangan TV adalah mangsa yang empuk untuk menggali tambang uang ini. Mereka enggan beranjak apalagi ketika jagoannya lolos dari eliminasi. Karena itu, si pembawa acara tak bosan-bosannya mengajak pemirsa untuk terus mengirim SMS dukungan agar idolanya tidak berada di level terendah perolehan SMS.
SMS ini tarifnya premium alias kalo bahasa awamnya sih, MAHAL. Normal SMS kan tarifnya sekitar 100-150 rupiah sekali kirim. Kalo tarif lomba-lomba beginian biayanya 2000 rupiah. Coba kamu kalikan nilai ini dengan 1000 orang yang mengirim SMS, dan satu orang mengirim nggak hanya sekali tapi bisa 10 kali misalnya. Berhubung jumlah masyarakat Indonesia sekitar 200 juta lebih, 1% saja mengirim, wow….akan didapati jumlah yang sangat fantastis hanya dari perolehan SMS.
Perolehan iklan bagaimana? Ini juga tak kalah fantastis dan bombastis jumlahnya (hehehe…sesekali memakai kosakata hiperbola). Hitung saja jumlah iklan setiap jeda penampilan dan kalikan berapa kali jeda selama acara tersebut ditayangkan. Padahal sekali tampil suatu iklan, nilai nominalnya lumayan mahal juga lho. Itungannya per detik dan tergantung ditaro di prime time (waktu utama) atau bukan. Kalo nggak salah di waktu biasa aja, pagi menjelang siang, per 15 detiknya bisa 30 juta lho. Kalo 30 detik yang 60 juta. Itu sekali tayang. Kalo sehari sampe 10 kali tayang? Lebih dari setengah M (ini singkatan dari Milyar, bukan eMber hehehe). Belum lagi produksi iklannya yang bisa mencapai ratusan juta karena harus ngurus ijin, menggunakan jasa selebriti dan sebagainya. Pasti deh langsung *tuing-tuing* pusing karena mikirin duitnya. Gimana nggak, kalo uang sebanyak itu kita cuma bisa menghitung di atas kertas tanpa pernah punya sendiri (huu…bilang aja kalo pingin jadi orang kaya juga :D)
So, gimana dengan bakat dari para pelaku entertainer itu sendiri ya? Beberapa bakat anak bangsa yang diaudisi sudah diseleksi, sekarang bagaimana dengan bakat mereka sendiri untuk menampilkan karya anak bangsa yang kreatif? Kenapa juga harus membebek terus pada program sejenis dari mancanegara? Indonesia adalah megara ke-35 yang menjadi pemegang izin terselenggaranya acara serupa loh. Semua ini tak lebih hanya sekadar mencari formulasi baru agar masyarakat Indonesia tetap keranjingan TV.
Wanted: bakat dunia akhirat
Bukan maksud ikut-ikutan acara audisi pencarian bakat seperti di TV swasta itu. Tapi di sini kita semua diajak mikir, apakah tak ada bakat lainnya yang dimiliki oleh anak Indonesia selain dari joged dan nyanyi? Hampir semua peserta menampilkan kebolehan dirinya di bidang ini. Mengapa pula tak ada ajang pencarian bakat yang menyaring anak-anak hebat bukan hanya berdimensi dunia tapi juga akhirat?
Acara Laptop si Unyil pernah menampilkan sosok tiga bersaudara yang hafidz alias penghafal al-Quran. Usia mereka di bawah 10 tahun dan hidup dalam kondisi sangat sederhana. Anak-anak ini adalah anak-anak hebat yang ‘bakatnya’ (baca: potensinya) sangat susah dicari tandingannya di zaman yang semua serba matrealistis ini. Tapi adakah yang peduli dengan kehebatan anak Indonesia yang model begini?
Orang-orang, baik pemirsa TV, pemilik TV, penggiat TV mulai dari produser, sutradara, penata acara, dll cenderung lebih suka anak-anak Indonesia yang terlihat glamour daripada sosok yang bersahaja namun jelas-jelas berprestasi. Bukan hanya bakat, tapi kecemerlangan otak telah dimiliki oleh anak-anak yang hafal al-Quran ini. Hanya orang-orang dan anak-anak yang ‘bersih’ dan cemerlang daya pikirnya saja yang bisa mencapai tahap level ini.
Potensi yang dimiliki seseorang itu bukan sesuatu yang tiba-tiba atau jatuh dari langit datangnya. Seorang Brandon yang pintar breakdance bukan tiba-tiba bisa begitu saja. Sejak kecil ia terbiasa mendengar musik rancak yang memang memancing pendengarnya untuk bergerak. Bukan itu saja, Brandon juga sering melihat video yang berisi orang-orang dewasa sedang ‘dance’. Input dari musik dan tayangan ini memberi efek pada Brandon untuk menirukan gaya mereka. Di usia 3 tahun, ia sudah bisa menari perut meskipun di usia selanjutnya ia lebih tertarik pada gerakan breakdance.
Itu hanya satu contoh saja. Lingkungan yang membentuk ‘bakat’ seseorang. Kesempatan memperoleh orang tua yang mendukung pilihan anaknya adalah hal lain. Begitu juga faktor minat si anak juga menentukan apakah anak tersebut bisa disebut berbakat atau tidak. Tapi di atas semua itu, bakat yang ada seharusnya makin membuat nilai kemanusiaan kita bertambah di mata Allah. Karena kehidupan sekarang ini kan bukan segalanya. Materi juga akan ada habisnya. Cuma bekal yang baik saja sebagai teman menuju kehidupan abadi, akhirat yang kekal.
So, finally…
Bagi diri seorang muslim, ada standar yang harus diikuti olehnya yaitu apa kata hukum syara terhadap setiap perbuatan. Plus juga ada skala prioritas yang harus diingat. Entah berapa waktu yang dihabiskan oleh Brandon, Putri Ayu dan remaja-remaja lain yang ingin kaya dan terkenal dengan instant untuk melatih bakat mereka itu. Padahal masih banyak PR remaja yang harus segera dikerjakan agar negeri ini tidak terus terpuruk pada kubangan kenistaan karena ditinggalkannya syariat Islam.
Pada website resmi transTV sebagai penyelenggara acara Indonesia Mencari Bakat, tertulis tujuan bahwa program ini bisa menjadi sebuah kampanye untuk membangkitkan semangat anak bangsa, memotivasi setiap generasi, dan mendobrak pesimisme bangsa ini. Tapi saya pribadi sangat tidak yakin tujuan ini tercapai. Yang ada malah jutaan anak bangsa semakin hidup dalam dunia impian bisa ke Jakarta dan menjadi terkenal dengan cara instan. Anak bangsa yang terpinggirkan oleh sistem dan semakin pesimis menghadapi kehidupan.
Lihat saja, betapa banyak anak cerdas yang tak bisa sekolah. Padahal pendidikan adalah pintu gerbang luar biasa untuk memperbaiki taraf kehidupan. Bandingkan dengan mereka yang cuma goyang kanan dan kiri langsung dapat uang banyak. Karena memang faktanya di negeri ini, intelektualitas anak bangsa berharga jauh lebih murah daripada suara biduan dan akting para aktris. Jadi tujuan diselenggarakannya program pencarian bakat sejenis sebagaimana ditulis di atas, jauh panggang dari apinya, alias gatot (gagal total).
Tak bisa tidak kita kembali saja kepada aturan hidup yang memanusiakan manusia. Aturan hidup ini sudah teruji selama 14 abad menghasilkan anak-anak cemerlang yang berbakat dunia akhirat. Siapa tak kenal nama Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Khawarizmi dan masih banyak lagi talenta-talenta hebat yang membawa peradaban gemilang. Mereka paham dunia sebagai ilmuwan (fisika, astronomi, kedokteran, dll) dan paham akhirat sebagai ilmuwan juga (ulama). Keilmuwan mereka mencakup ilmu dunia dan akhirat. Belum pernah terdengar ada peradaban bangsa yang besar berawal dari pemudanya yang suka joget atau nyanyi. Itu mah, peradaban sampah!
Nah, tak usah bermimpi lagi ya sebagai the next idol dalam pencarian bakat anak bangsa ini. Menonton pun sekadarnya saja, sebagai upaya untuk memahamkan umat tentang tidak pentingnya acara beginian dalam kehidupan kamu. Bahkan bukan hanya acara ini saja, mayoritas acara di TV nasional kita adalah racun bagi jiwa dan otak kita.
So, ayo kita pakai saja audisi potensi anak Indonesia dan bahkan anak dunia dengan Islam sebagai tolok ukur aturan dan Allah sebagai tujuan. Berlomba-lomba dalam kebaikan adalah aktivitasnya, bukan yang lain. Tentu, semuanya berdasarkan ajaran Islam dong ya. Gimana, setuju? Kalau begitu, mari kita mulai lomba ini. Siap? Mulai! [dimuat di Buletin Remaja gaulislam, edisi 155/tahun ke-3, 11 Oktober 2010]