Oleh M. Iwan Januar, S.IKom
Pejuang dakwah bukanlah malaikat yang tidak pernah salah. Akan selalu ada kekeliruan yang dilakukan olehnya, baik secara fardliyah ataupun jamaah. Ini adalah bagian dari tabiat manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan.
“Setiap anak Adam memiliki kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik orang yang bersalah, adalah orang yang bertaubat.”(HR at-Tirmidzi).
Kesalahan ini bisa terjadi di level manapun dalam sebuah masyarakat maupun kelompok dakwah. Bisa orang biasa atau ulama sekalipun. Inilah dinamika perjalanan anak manusia, dan dinamika sebuah perjuangan. Menganggap juru dakwah tidak pernah salah sama dengan membunuh karakter manusia, dan karakter seorang juru dakwah sendiri. Yang pada akhirnya membuat kita, manusia biasa, menjauhkan diri dari perjuangan ini karena merasa tidak sanggup memikul beban tersebut. Padahal Allah SWT. adalah Zat yang Mahasabar (ash-Shobur) dalam menghadapi kesalahan hamba-hambaNya, sekaligus Maha Pengampun (al-Ghaffur), Penerima maaf (al-‘Afuw) dan Penerima taubat (at-Tawwab).
Akan tetapi, yang harus diwaspadai seorang pengemban dakwah adalah munculnya watak arogan yang membuat diri merasa jauh dari kesalahan. Alih-alih bersyukur dan mau mendengarkan peringatan, malah menutup diri dan mengingkari kesalahan. Kita berlindung kepada Allah dari sikap kaum-kaum terdahulu yang melarikan diri dari peringatan utusan Allah SWT.:
“Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.”(QS. Nuh: 7)
Kecerdasan mutlak harus dibarengi sikap rendah hati. Tetap merasa rendah dan kecil di hadapan kebenaran. Tanpa peduli siapa pun yang mengantarkan kebenaran tadi. Rasulullah saw. bersabda:
“Ambillah hikmah yang kamu dengar dari siapa saja, sebab hikmah terkadang diucapkan bukan oleh orang yang bijak. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja?”(HR. Al Askari).
Seorang pengemban dakwah bukan saja siap beramar maruf nahiy munkar kepada penguasa sekalipun, tapi ia pun siap menerima amar maruf nahiy munkar dari siapa saja, meski itu datang dari anak kecil. Seandainya kebenaran itu datang dari musuh-musuhnya maka kebenaran tetap kebenaran. Seperti nasihat Nabi SAW. “Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja?”
Sungguh, tidak mudah menerima kenyataan bahwa kita berbuat salah. Dan lebih tidak mudah lagi menerima amar ma’ruf nahiy munkar dari orang lain. Manusia memang punya harga diri. Dan ketika seseorang di-amar maruh nahiy munkar-i, reaksi awal setiap manusia adalah merasa harga dirinya terluka, sehingga muncul sikap bertahan. Tapi itulah yang Allah ujikan pada setiap muslim. Apakah akan tunduk pada kebenaran atau membantahnya? Membantah kebenaran hanya akan menunjukkan ketidakikhlasan jiwa seseorang di jalan dakwah ini. Itulah fitnah bagi orang-orang alim.
Ibn Mubarak dalam kitabnya az-Zuhdu wa ar-Raqaiq menuliskan bahwa Yazid bin Abi Habib berkata: “Sesungguhnya fitnah orang alim dan faqih adalah berbicara lebih dia sukai daripada mendengarkan (pembicaraan orang lain)..Sesungguhnya orang yang berbicara itu sedang menunggu fitnah (dari ucapannya),sementara orang yang diam (mendengar) itu menunggu rahmat (kasih sayang)”.
Buanglah sikap arogan, jujurlah pada realita, bahwa siapa saja bisa berbuat salah. Sama sekali bukan aib mengakui kesalahan, tapi menunjukkan kemuliaan diri di hadapan Allah. Betapa Allah menerima kalimat taubat Nabi Adam as. dan menyelamatkan Nabi Yunus as. ketika keduanya mengakui kesalahan dan bermunajat atas kekhilafan mereka.
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” Maka Kami telah memperkenankan do`anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Anbiya: 87-88).
Selain mengakui dan menyesali kesalahan yang telah dilakukan, adalah kewajiban seorang muslim untuk meluruskan kesalahannya. Apalagi bagi seorang pengemban dakwah, ada tanggung jawab moral yang amat besar di hadapan masyarakat atas kesalahan yang telah mereka kerjakan. Dengan kesalahan itu bisa jadi ada orang yang tersesatkan atau minimal kebingungan menghadapi situasi seperti itu. Koreksilah kesalahan yang telah terjadi dan sampaikan kebenaran dengan jernih dan ikhlas kepada umat.
Sejarah para ulama besar menyebutkan bahwa Syaikh ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdis Salam suatu ketika pernah keliru dalam memberikan fatwa. Kemudian ia sendiri menyeru warga Mesir serga Kairo dengan mengatakan, “Siapa yang telah berfatwa dengan perkataan ‘ini’ maka janganlah diamalkan karena sesungguhnya (fatwa itu) salah.” Subhanallah!
‘Alî ibn al-Husayn menuturkan bahwa Shafiyyah binti Huyay, salah seorang istri Nabi saw., telah menyampaikan kabar kepadanya bahwa dirinya telah datang kepada Rasulullah saw. untuk menziarah beliau, sementara Rasulullah saw. sedang melakukan i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Shafiyyah lantas bercakap-cakap dengan Nabi saw. berberapa saat sejak usainya shalat isya. Setelah itu, Shafiyyah berdiri untuk kembali bersamaan dengan Rasulullah hingga sampai di pintu masjid dekat dengan tempatnya Ummu Salamah, istri Nabi saw. Tiba-tiba, berlalu dekat mereka dua orang pria dari kalangan Anshar seraya mengucapkan salam kepada Nabi saw. Mereka kemudian langsung pergi. Rasulullah saw. berseru kepada mereka berdua, ‘Tinggallah di tempat kalian, sesungguhnya ia adalah Shafiyyah binti Huyay’.
Kedua orang pria itu pun terkejut seraya mengucapkan, ‘Mahasuci Allah! Duhai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak mengatakan seperti itu’.
Nabi saw. kemudian bersabda sebagai berikut:
Sesungguhnya setan memasuki anak Adam melalui peredaran darahnya. Aku khawatir, ia memasuki tubuh kalian berdua.[]