Oleh Adiya Nugraha*
Telah berlalu Ramadhan. Kita bersyukur bisa melewatinya dengan khusyuk, aman dan tenteram, suasana yang tidak atau sedikit didapati di beberapa negara yang masih bergelut dengan perang dan bencana, seperti Pakistan, Afghanistan dan beberapa negara lainnya. Dan berlalulah bulan penuh berkah itu, tempat menempa diri agar bisa meningkatkan kualitas keimanan, ketakwaan dan kesalehan. Sedikit banyaknya Ramadhan memang telah memberikan warna dalam kehidupan keagamaan seluruh muslimin di segala penjuru dunia, tidak terkecuali di negeri kita tercinta, Indonesia.
Kita dapati selama Ramadhan nuansa religi begitu terasa kental di negeri ini, walaupun hanya artifisial: di mall, hotel, televisi, radio dan yang lainnya. Cobalah kita mengingat kembali bagaimana para artis begitu terwarnai oleh nuansa ini: mereka selalu terlihat berpakaian” islami” di layar televisi: menutup aurat walaupun terlihat rambutnya atau berpakaian ketat tapi tetap “islami” karena ada jilbab atau kerudung di atas kepala , atau mengubah peran-peran mereka di film atau sinetron yang sebelumnya berbau” glamor dan hedonis” menjadi sosok yang “religi dan islami”.
Begitu juga para politisi, mereka pun menampakan “religiusitas” mereka di bulan itu. Mereka jadi sering terlihat di layar kaca dalam keadaan memakai memakai peci dan baju koko. Bahkan diliput pula ibadah mereka: bagaimana mereka menunaikan shalat berjamaah di masjid, bagaimana kekhusyukan mereka tatkala berdzikir, bagaimana derma mereka kepada orang-orang lemah, yang termarjinalkan secara struktural dan sosial . Pokoknya masih banyak lagi “kesalehan-kesalehan” mereka di bulan itu yang bisa diekspos di media massa.
Begitu pula pekerja infotainment, tidak mau ketinggalan dalam hal ini. Mereka memiliki “kreativitas” untuk memanfaatkan Ramadhan ini. Mereka yang biasanya menayangkan gosip van ghibah, “bertaubat” di bulan penuh berkah itu dengan menghentikan tayangan-tayangan yang kurang mendidik itu. Mereka menggantikannya dengan tayangan berbau “religi” . Seperti liputan tentang aktivitas para selebritis selama bulan Ramadhan: apa saja yang mereka masak untuk makan sahur, apa yang mereka lakukan sambil menunggu datangnya waktu buka puasa, bagaimana mereka refreshing di bulan Ramadhan dan liputan lainnya yang sangat “menghibur” bagi yang tidak memilki kegiatan [baca: menganggur] di bulan Ramadhan.
Pertanyaannya, akankah semua itu bertahan setelah Ramadhan? Akankah mereka konsisten dengan“religiusitas” mereka? Atau kembali “menyimpan” nya untuk Ramadhan berikutnya? Tentu kita tidak berharap yang sudah biasa mengumbar aurat di televisi sebelum Ramadhan mengulang kembali gayanya itu, apakah dengan berbusana seperempat telanjang atau setengahnya atau…Dan kita juga tidak menginginkan yang selama sebulan ini berpuasa dari sikut-menyikut memperebutkan kekuasaan, malah menjadi lebih haus dan lapar kekuasaaan dibandingkan sebelum Ramadhan. Begitu juga yang selama ini berpuasa dari ghibah dan gosip, mudah-mudahan setelah berlalu bulan mulia ini tidak makin giat bergosip dan mengumbar aib orang. Mari kita jadikan Ramadhan yang telah kita lalui sebagai energi untuk memperbaiki kualitas diri, bangsa dan negara agar menjadi lebih baik dan produktif. Dan mari kita jadikan sebulan yang penuh berkah itu sebagai bekal untuk menempuh perjalanan masa depan yang lebih cerah dan optimistis. Sehingga dengan itu, tercapailah apa yang menjadi tujuan atau hikmah dari disyariatkan puasa yaitu la’allakum tattaqun (agar kalian bertakwa).
Jakarta, 5 Syawwal 1431
*Siswa [menuliskreatif] Kelas Penulisan Nonfiksi