Episode 3
Serangan dengan meriam dilakukan siang dan malam tanpa henti untuk melumpuhkan kekuatan Bizantium dan agar mereka tidak bisa menarik nafas ketenangan.
Sultan Muhammad selalu mengejutkan musuhnya dari waktu ke waktu dengan seni serangan yang selalu berbeda. Inilah perang urat syaraf, sebuah seni perang yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Sultan memerintahkan penyerangan dilakukan dengan cara menggali terowongan bawah tanah hingga ke dalam kota.
Serangan ini berhasil menimbulkan ketakutan sedemikian hebat di kalangan penduduk kota Konstantinopel. Banyak diantara mereka yang membayangkan bahwa bumi akan merekah dan darinya akan keluar pasukan Utsmani untuk memenuhi ibukota.
Selain membuat terowongan bawah tanah, pasukan utsmani membuat benteng dari kayu yang demikian besar yang bisa bergerak. Benteng ini terdiri dari tiga tingkat dengan ketinggian yang melebihi pagar pembatas kota. Benteng dilapisi tameng dan kulit yang dibasahi air agar tidak mudah terbakar api.
Dari hari ke hari ketakutan orang-orang Byzantium makin memuncak. Pada tanggal 24 April 1453 para pemimpin kota mengadakan pertemuan di istana Kekaisaran yang juga dihadiri Kaisar Konstantin. Putus asa sudah menggelayuti wajah-wajah mereka hingga ada diantara mereka yang mengusulkan kepada Kaisar agar Kaisar segera melarikan diri sebelum kota jatuh ke tangan pasukan Utsmani. Namun Kaisar menolak usulan tersebut dan memilih tetap tinggal di kota dan memimpin rakyatnya.
Rumor tentang kejatuhan Konstantinopel makin santer ketika tanggal 26 Mei 1453 terjadi hujan deras disertai sambaran petir.
Salah satu petir menyambar Gereja Hagia Sofia (Aya Shopia) sehingga membuat pendeta Kristen pesimis dan murung. Pendeta itu kemudian pergi menemui Kaisar dan memberitakan apa yang terjadi bahwa Allah telah meninggalkan mereka dan bahwa Konstantinopel akan jatuh ke tangan mujahidin Utsmani. Kaisar terpukul dengan penuturan ini dan langsung pingsan.
Konstantinopel di ambang kejatuhannya. Namun Sultan Muhammad masih berusaha memasuki Konstantinopel dengan cara damai. Maka ia menulis surat kepada Kaisar Konstantin yang berisi permintaan agar dia menyerahkan kota itu tanpa pertumpahan darah. Dia menawarkan jaminan keselamatannya dan keselamatan pengawalnya saat keluar meninggalkan kota, dan siapa saja dari penduduk kota itu yang menginginkan keamanan. Dia menjamin tidak akan terjadi pertumpahan darah di dalam kota dan mereka tidak akan mendapat gangguan apapun. Mereka bisa memilih tinggal di dalam kota ataupun keluar meningalkan kota. Namun Kaisar akhirnya tetap memilih mempertahankan singgasananya.
Pada saat-saat yang menentukan itu, Sultan Muhammad mengadakan pertemuan dengan para penasehatnya dan para komandan perangnya, ditambah para syaikh dan ulama. Sultan meminta mereka untuk mengeluarkan pendapatnya dengan terus terang dan tanpa ragu-ragu.
Ternyata diantara hadirin ada sebagian yang menasehati Sultan agar segera menarik pasukan. Diantara yang mengusulkan itu adalah Menteri Khalil Pasya. Alasannya agar tidak terjadi pertumpahan darah dan tidak menimbulkan kemarahan Kristen-Eropa jika kaum muslimin menguasai Kontantinopel serta alasan-alasan lain sebagai justifikasi penarikan mundur. Maka tak aneh, bila Khalil Pasha dicurigai membantu Byzantium dan berusaha menjatuhkan kaum muslimin.
Beruntung diantara hadirin terdapat orang-orang yang tetap menjaga jalan dan semangat jihad fi sabilillah. Salah seorang diantaranya seorang komandan yang sangat pemberani yang bernama Zughanusy Pasha. Dia seorang Kristen asal Albania yang kemudian masuk Islam. Di hadapan Sultan, dia memaparkan lemahnya kekuatan Eropa.
Tatkala Sultan menanyakan sikap dan pandangannya, dia melompat dari duduknya dan bersuara lantang dengan menggunakan bahasa Turki dengan sedikit gagap, ”Tidak, sekali lagi tidak wahai Sultan! Saya tidak menerima apa yang dikatakan Khalil Pasya. Kami datang ke sini tidak ada tujuan lain kecuali untuk mati dan bukan untuk pulang kembali!”
Ucapan lantang Zughanusy Pasha ini menimbulkan pengaruh yang dalam di dada hadirin. Untuk sementara tempat itu senyap. Kemudian Zughanusy Pasha melanjutkan perkataannya, ”Sesungguhnya di balik ucapan Khalil Pasya itu terdapat keinginan untuk memadamkan semangat yang ada di dalam dada kalian, membunuh keberanian dan tekad kalian. Namun dia tidak akan pernah mendapatkan apa-apa kecuali putus asa dan kerugian. Sesungguhnya tentara Alexander yang Agung yang berangkat dari Yunani ke India lalu dia menguasai separuh Benua Asia yang luas, tidak lebih besar jumlah tentaranya daripada tentara kita. Maka jika pasukannya mampu menguasai negeri-negeri yang luas itu, apakah tentara kita tidak mampu melintasi tumpukan batu-batu yang bersusun-susun itu. Khalil Pasya mengatakan kepada kita, bahwa negara-negara Barat akan datang kepada kita untuk membalas dendam. Lalu siapa yang dia maksud dengan negara-negara Barat itu? Apakah yang dia maksud negara-negara latin yang kini sedang dilanda permusuhan internal? Ataukah negara-negara di Laut Tengah yang tidak mampu apa-apa kecuali hanya merampok dan mencuri? Andaikata negara-negara itu mau memberikan bantuan kepada Byzantium, pastilah mereka akan mengirimkan pasukan dan kapal-kapal perangnya. Andaikata orang-orang Barat itu setelah kita taklukan Konstantinopel, beranjak untuk berperang dan mereka memerangi kita, maka apakah kita akan berpangku tangan dan tidak melakukan gerakan apa-apa? Bukankah kita memiliki tentara yang akan mempertahankan kehormatan kita?”
”Wahai Sultan! Kau telah tanyakan pendapat saya, maka kini akan aku katakan pendapatku secara terus terang. Hati kita hendaknya kokoh laksana batu karang, kita wajib meneruskan peperangan ini, tanpa harus dilanda sifat lemah dan kerdil. Kita telah memulai suatu perkara, maka wajib bagi kita untuk menyelesaikannya. Wajib bagi kita untuk meningkatkan serangan dan wajib bagi kita untuk membuka perbatasan dan kita runtuhkan keberanian mereka. Tidak ada pendapat lain yang bisa saya kemukakan selain ini..”
Mendengar ucapan penuh semangat itu, berbinarlah wajah Sultan. Pertemuan pun diakhiri dengan perintah Sultan agar seluruh pasukan bersiap-siap kembali menyerang Konstantinopel. [Umar Abdullah]