Ketika Anak Bosan Sekolah

Jalan-jalan ke Bogor, di sana ada sawojajar

Mampirlah sejenak untuk melepas rasa lelah

Jadikan anak cinta belajar

Maka pelajarilah mengapa, ketika ia bosan bersekolah

Home schooling kami hadirkan sebagai alternative pendidikan berkualitas dalam keluarga kita di tengah arus liberalisasi dan kapitalisasi yang semakin merusak dan mematerialistiskan dunia pendidikan.

Dalam rubric ini kita akan masih akan berbincang-bincang dengan Ustzh Ir Lathifah Musa. Beliau selain merupakan pemimpin redaksi majalah udara VOI, konsultan klinik anak muda, ternyata juga menjadi pengamat dunia anak, penulis buku-buku pendidikan anak usia dini dan sekaligus juga seorang praktisi Homeschooling dalam keluarga. Tema kita berjudul

KETIKA ANAK BOSAN BERSEKOLAH

Ustadzah,  ada nih ibu-ibu yang mengeluh anaknya bosan sekolah. Bahkan sampai tidak mau sekolah. Bagaimana menanggapi ini?

Ya, saya mendapat keluhan ibu-ibu yang anaknya nggak mau sekolah. Bahkan si anak sampai diseret ke sekolah. Padahal ketika sudah sampai sekolah, ada yang kabur. Atau bolos lagi tanpa sepengetahuan orang tua. Sang ibu sampai pusing. Mengeluh kepada saya. Akhirnya karena sudah dipindah-pindah sekolah masih tetap seperti itu. Ya dibiarkan saja anaknya tidak mau sekolah.

Apa yang harus dilakukan sang ibu?

Dalam hal ini ibu harus mencermati, mengapa anaknya tidak mau sekolah. Itulah pentingnya kemampuan dan kebiasaan berkomunikasi dengan baik ke anak. Orang tua perlu mengkorek keterangan dari anak, hingga akhirnya orang tua pun memahami kondisi yang dihadapi anak, termasuk karakter khusus yang anak ini. Tujuannya agar kita bisa mencarikan solusi dan mengarahkan anak untuk meningkatkan potensi dan kecerdasannya. Dengan demikian ibu harus mencari tahu mengapa anaknya bosan sekolah. Apakah kondisi sekolahnya memang membosankan? Sehingga anak menderita juga bertahan di sekolah-harus duduk diam dan terus harus di bangku, sementara kecenderungannya ke arah lain, misalnya lebih suka bermain di alam. Apakah anak tidak faham cara guru menjelaskan? Apakah anak kesulitan menangkap pelajaran sehingga tertinggal dari anak lain, dan itu yang membuatnya tidak betah di kelas. Atau sudah tidak terjadi kecocokan dan keselarasan antara guru dengan murid, sehingga apapun yang diajarkan gurunya tidak bisa difahami. Ini yang orang tua harus telusuri pada anak.

Bagaimana bila ternyata anak tidak cocok di sekolah, misalnya dengan salah satu atau banyak alasan yang dikemukakan Ustadzah tadi? Orang tua harus mencari solusi. MIsalnya dengan memindah anak ke sekolah yang baik. Atau sebenarnya yang paling ideal dan ini yang seringkali justru orang tua merasa tidak sanggup adalah mengajar anaknya sendiri. Sebagai contoh (walaupun ini contoh dari non muslim, tapi dalam dunia belajar mengajar membuktikan bahwa belum tentu anak itu bodoh ketika dia tidak faham belajar di sekolah) Mislanya Thomas Alva Edison, lahir 1847 di Milan, Ohio AS. Ketika masuk SD dia hanya sanggup bertahan tiga bulan, sesudah iu dikeluarkan karena gurunya menganggapnya dungu atau bodoh. Kemudian ibunya mengajarinya sendiri mulai dari membaca dan berhitung. Ibunya ini sayang pada Thomas dan kemudian turun tangan mengajarinya sendiri.  Pada usia 21 tahun, Thomas berhasil menemukan perekam suara elektroni, kemudian mesin telegraph. Penemuan-penemuannya itu dijual dan dihargai sangat tinggi. Dia menemukan juga mesin piringan hitam, dan yang paling membuatnya terkenal adalah ketika ia menemukan bola lampu pijar praktis di tahun 1879. Edison merancang lebih dari 1000 penemuan, jumlah yang pada saat itu tidak masuk akal untuk orang AS dan Eropa. Barangkali ini bisa menjadi satu bukti bahwa anak yang dikatakan dungu di sekolah, belum tentu tidak cerdas. Barangkali dia bosan di sekolah justru karena terlalu cerdas.

Kalau Islam sendiri bagaimana?

Islam sendiri memang mengajarkan bahwa pendidikan itu berbasis rumah atau keluarga. Khususnya pendidikan usia dini dan pra baligh. Ibu adalah pendidik yangpertama dan utama. Dalam hal ini ibu bekerjasama dengan ayah. Sebagai contoh: para shahabiyah mengajari sendiri anaknya. Asma binti Abu Bakar mengajari sendiri Abdullah bin Zubair anaknya. Bahkan sampai berkuda dan memanah pun Asma juga yang mengajari. Ibunda Imam Syafi’i mengajari sendiri al Qur’an kepada anaknya. Bahkan sampai anaknya hafal al Qur’an pada usia 9 tahun, baru digandengnya anaknya menuju ulama untuk belajar tata bahasa dan fiqh. Demikian juga ibunda imam Malik. Mayoritas orang-orang ternama mendapat pelajaran dari orang tuanya. Dan ibu sangat berperan dominan dalam pendidikan anak. Untuk negara AS saja, keluarga Kennedy yang dikenal sebagai dinasti keluarga pemimpin Amerika, ibunya sendiri yang merancang sistem pendidikan bagi anaknya. Rosemary, ibunda keluarga John F Kennedy memang menuntut ilmu baik kerumahtanggaan, kependidikan dan lain-lain sampai tingkat Master (S2) hanya untuk mengajari anak-anaknya supaya bisa menjadi pemimpin masa depan di AS. Kebanyakan kita mengejar S2 atau S3 hanya sekedar gelar, karir atau gaji yang lebih tinggi. Sementara anak-anak justru tidak banyak mendapatkan manfaat dari pendidikan tinggi ibunya.

Apa yang hatus dilakukan para ibu sekarang, khususnya para ibu yang anak-anaknya bermasalah?

Ibu harus melihat masalahnya. Jangan-jangan bukan anaknya yang bermasalah, tapi guru atau sekolahnya. Sistem pendidikan formal sekarang sangat terbebani jumlah siswa yang banyak, fasilitas yang kurang memadai dan konsentrasi guru yang terpecah karena terkadang juga kesulitan ekonomi, khususnya guru honorer. Belum lagi kurikulum yang padat yang belum tentu tepat untuk semua kondisi musrid. Murid yang cerdas saja bisa terbebani apalagi yang tidak terlalu cerdas. Bisa jadi juga problem terletak pada ketidakcocokan metode belajar di sekolah. Anak lebih cocok sekolah di alam terbuka atau belajar yang tidak terikat gaya dan waktu. Sebagai contoh salah satu putra saya sangat tidak suka mengenakan baju seragam, baju yang berkerah, pengajaran yang monoton. Dia lebih suka di alam bebas dan mengeksplor kehidupan yang ada di sekitarnya. Ini terindikasi sejak usia TK. Wajahnya keruh dan menderita mengenakan baju seragam berkerah, lengan panjang dan celana panjang, walaupun menurut untuk mengikuti sistem sekolah. Kalau kita ganti bajunya dengan yang tidak formal, misalnya hanya berkaus tanpa kerah, wajahnya jauh lebih bahagia dan belajarnya juga mudah. Ini perlu eksplor tersendiri bagi orang tua dan guru. Demikian juga sistem belajar. Dengan anak tipe ini, pendidikan non formal atau homeschooling sangat tepat bagi anak ini. Kecerdasannya meningkat pesat.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *