Oleh: Hanibal W Y Wijayanta | Penulis adalah wartawan utama
Pascaperistiwa G-30-S/PKI 1965, banyak mantan anggota PKI, onderbouw, dan keluarga mereka di Jawa Tengah, memeluk agama Kristen, Katolik, juga Hindu dan Buddha. Umumnya mereka memeluk agama Kristen atau Katolik karena merasa gereja Kristen dan Katolik memberikan perlindungan kepada mereka, ketika mereka diintimidasi tentara yang memanfaatkan ormas-ormas Islam seperti GP Ansor untuk memberangus dan menangkapi mereka.
Robert Cribb mengungkap fenomena gelombang perpindahan agama usai Pemberontakan PKI 1965 dalam bukunya The Indonesia Killing: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966‘. Kata Crib, pada tahun keenam setelah pembantaian, diperkirakan 2,8 juta orang berpindah agama menjadi Kristen (baik Protestan maupun Katolik), khususnya di Jawa Timur, Timor Timur, dan Sumatra Utara.
Baptisan Massal
Dalam buku Menyintas dan Menyeberang. Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa, Singgih Nugroho juga mengungkap fenomena ini. Buku yang diangkat dari tesis berjudul “Baptisan Massal Pasca Peristiwa 30 September 1965 (Studi Kasus Perpindahan Agama ke Kristen di Salatiga dan Sekitarnya pada Tahun-tahun Sesudah 1965), ini mengulas fenomena di desa Selogede, Salatiga, Jawa Tengah. Agar tak dicap PKI, warga beramai-ramai pindah agama dari Islam (Abangan dan Kejawen) ke agama Kristen.
Perpindahan massal terjadi karena pasca G-30-S/PKI, pemerintah Orde Baru mewajibkan setiap warga memeluk salah satu di antara agama-agama yang diakui di Indonesia. Agama Kristen-Katolik dipilih karena dianggap membawa kedamaian dan mengajarkan tentang kasih sayang sesama. Sementara Islam dianggap sebagai agama penuh kekerasan dengan kewajiban beribadah bersanksi keras bila dilanggar.
Maka, pasca G-30-S/PKI jumlah pemeluk Kristen dan Katolik meningkat pesat. Jerson Benia Cirso dalam makalah “Christianization in New Order Indonesia (1965 – 1998): Discourses, Debates, and Negotiations” yang dimuat di jurnal Melintas terbitan Universitas Parahyangan menyebut, pada Juli-Agustus 1966, Gereja Kristen Jawa Timur membaptis sekitar 10 ribu orang. Pada kurun 1966-1967, pemeluk Katolik di Indonesia meningkat 7,45 persen. Gereka Protestan Batak Karo di Sumatera Utara membaptis lebih dari 26 ribu orang. Sementara anggota Gereja Baptis Indonesia meningkat dari 1.317 pada tahun 1960 menjadi 3.391 pada tahun 1965.
Tak hanya pemeluk Kristen dan Katolik yang meningkat, Cribb mencatat bahwa di Jawa banyak pula yang berpindah dari Islam ke Hindu. Padahal, kedua agama itu sudah lama tidak eksis di tengah masyarakat, meski di Jawa banyak peninggalan Hindu dan Buddha dari masa lampau.
Ada pula yang kembali memeluk Islam meski masih abangan. Fenomena ini, terutama terjadi di wilayah sekitar gunung Merapi Merbabu, basis pelarian eks-PKI pasca G-30-S/PKI dengan istilah Merapi-Merbabu Complex (MMC).
Selama puluhan tahun, mereka hidup di tengah masyarakat dengan keyakinan baru mereka, baik yang KTP mereka masih bestempel ET (eks Tapol) maupun anak cucu mereka yang tidak berstempel. Dalam kehidupan sosial, mereka berbaur dengan masyarakat secara umum. Mereka yang pernah menjadi anggota PKI dan onderbouw-nya masih tercatat dalam buku besar penduduk Kelurahan hingga RW dan RT. Namun secara kultural warga sudah menerima mereka kembali sebagai warga kampung mereka.
Kembali Memeluk Islam
Berpuluh tahun berlalu, perkembangan menarik ternyata terjadi. Banyak mantan anggota dan simpatisan PKI maupun keluarga mereka yang semula pindah ke agama Kristen-Katolik atau Hindu-Buddha, kini kembali memeluk Islam.
Contoh nyata terjadi di dukuh Keji, Taman Agung, Muntilan. Pasca 65, sekitar 35% warganya pindah Katolik. Kini pemeluk Katolik tersisa kurang dari 10%.
Contoh lain di Dusun Dalangan, Getasan, dari 100 KK pada tahun 1980 hanya tersisa 1 KK Muslim. Sekarang 55 KK sudah kembali menjadi Muslim.
Fenomena kembali ke Islam ini, menurut Ir. Arif Wibowo M.Pd.I., Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) di Solo, Jawa Tengah, diawali dari proses santrinisasi kalangan abangan terlebih dahulu.
“Fenomena ini marak antara tahun 80 hingga 90-an, ketika Orde Baru mulai dekat dengan kalangan Islam,” ujarnya. Saat itu penetrasi dakwah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan MTA (Majelis Tafsir Al-Quran) mulai masuk sampai ke basis abangan.
Fenomena ini diuraikan pula dalam buku M. Ricklefs Mengislamkan Jawa. Pada era itu, ritus-ritus sinkretik abangan dengan cepat mengalami Islamisasi. Di wilayah perkotaan Muhammadiyah menjadi pioner Islamisasi ini. Karena itu, kemudian banyak desa-desa bekas basis PKI di Klaten dan Yogyakarta kemudian menjadi basis Muhammadiyah. Prof. Mitsuo Nakamura pun menyinggung fenomena ini dalam penelitiannya di Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dari proses santrinisasi kaum abangan, yang sebagian dari mereka adalah mantan anggota PKI, onderbouw dan keluarganya, akhirnya kaum abangan Kristen pun mulai akrab dengan kultur santri yang dibawa “para santri” mantan abangan ini. Akhirnya mereka mulai menemukan benang merah kultur abangan dengan Islam. “Sebab, kultur abangan itu sesungguhnya adalah wujud Jawanisasi nilai keislaman,” kata Arif.
Dhuroruddin Mashad, dalam bukunya Konflik Santri dan Abangan, Mengurai Konflik NU – PKI menarik kesimpulan kesejarahan bahwa preferensi politik bisa ditarik sampai pada pola Islamisasi di masa lampau. Antara Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam di masa lampau bisa terintegrasi dalam satu kesatuan kultur sintesis mistik Islam – Jawa.
Menurut Arif, ada beberapa alasan mantan PKI dan keluarganya kembali memeluk Islam. Pertama, kenangan Islam di masa kecil. Kedua, dogmatisme, karena di dalam Kristen selalu dilarang untuk bertanya mendalam soal agama terutama tentang Ketuhanan. Ketiga, perkawinan. Keempat, pergaulan.
Alasan ketiga dan keempat paling banyak menjadi penyebab mereka kembali ke Islam. “Setelah besar mereka bekerja dan bergaul dengan orang-orang Islam, lalu berani bertanya, dan akhirnya masuk Islam,” ujarnya.
Arif mencontohkan sebuah majelis taklim yang diasuh seorang Ustadz di sebuah desa. Dari 80 orang anggota majelis taklim, ada 50 orang berasal dari keluarga mantan anggota PKI dan onderbouw-nya, yang mengaku memeluk agama Kristen, dan ada pula yang memeluk agama Buddha. “Meskipun bukan Islam, mereka mengaku kepengin ngaji. Hingga akhirnya, tahun lalu, ada 13 orang diantara mereka yang masuk Islam,” kata Arif.
Merangkul
Dalam pengamatan Arif, sikap keluarga mantan anggota PKI dan onderbouw-nya yang memutuskan kembali memeluk Islam dan yang tidak, cukup berbeda. Mereka yang masuk Islam umumnya sudah tak lagi tertarik berbicara tentang isu PKI dan pembunuhan massal anggota PKI pasca 1965. Sementara yang masih getol mengungkit-ungkit kembali soal pembantaian massal 1965 adalah anak-anak anggota ideologis PKI dan yang memeluk agama Kristen-Katolik.
Anak-anak ideologis PKI umumnya masih menyimpan dendam masa lampau, terutama kepada Orde Baru yang dianggap memberangus orang tua mereka. Saat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden, mereka sangat membenci, sebab SBY adalah menantu Letjen TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD yang menghancurkan PKI.
“Secara jumlah, anak ideologis PKI tidak banyak. Tapi mereka lihai, ada di banyak sektor penting, dan jalinan mereka solid,” ujar Arif. Sebagian aktivis angkatan’98 banyak yang berafiliasi dengan mereka.
Keluarga mantan anggota PKI dan onderbouw-nya yang memeluk Kristen dan Katolik relatif banyak mengikuti isu PKI. Menurut Arif, mereka kebanyakan antipati terhadap perubahan keyakinan pada keluarga mantan anggota PKI menjadi Islam. Alasannya lebih karena trauma sejarah. Sebab, di masa lampau orang tua mereka berkonflik dengan kalangan Islam. Sementara pasca G-30-S/PKI menguntungkan Kristen dan Katolik secara kuantitatif.
Anak-anak keluarga mantan PKI yang sudah masuk Islam biasanya sudah tidak terlalu memberikan perhatian terhadap anak-anak mantan PKI yang ideologis. Sebaliknya, anak-anak ideologis PKI yang masuk Kristen–Katolik tampak sangat tidak suka melihat fenomena masuk Islamnya keluarga eks PKI. Sedangkan mereka yang beragama Kristen namun abangan (tidak melaksanakan ibadah secara rutin) umumnya tidak peduli jika tetangganya masuk Islam.
Di lapangan, Arif juga menemukan fakta bahwa anak ideologis PKI yang masuk Kristen Katolik maupun tidak, umumnya mengambil sikap bermusuhan kepada Islam politik. Mereka selalu tampak antipati terhadap setiap warna Islam yang ingin masuk ke dalam institusi negara secara formal. Sebab, setiap formalisme agama adalah hantu dan sekaligus teror bagi mereka.
Afiliasi keluarga eks PKI yang masuk Islam kini sangat beragam. Ada yang memilih Islam kultural, namun ada pula yang menjadi lebih politis dan ideologis.
“Jadi merata. Ada yang berafiliasi ke NU, Muhammadiyah, MTA (Majelis Tafsir Al Quran). Ada juga yang secara politik bergabung dengan PKS, HTI, dan juga Salafi,” kata Arif. Bahkan di Solo, kini banyak bekas basis PKI yang anak-anak mudanya mengubah basis lama mereka itu menjadi basis kelompok jihadi.
Fenomena-fenomena ini nyaris tak terbaca, jika kita hanya memandang masyarakat dari kacamata elite politik. Apalagi setiap menjelang 30 September, masyarakat Indonesia selalu diharu-biru dengan kenangan masa lampau, peristiwa G-30-S/PKI, yang traumatis.
Meski peristiwa itu sudah 56 tahun berlalu, masyarakat kita seolah hanya diingatkan tentang peristiwa kelam dalam sejarah negeri ini saja. Padahal, perkembangan di sisi lain yang menarik.
Di tengah masyarakat Muslim, upaya merangkul keluarga mantan anggota PKI dan onderbouw-nya sudah banyak dilakukan. Perubahan besar pun telah terjadi dengan arus kembali masuk Islamnya keluarga mantan anggota PKI dan onderbouw-nya. Sudah saatnya pula, para elite politik Islam merangkul mereka, dengan menampilkan wajah yang lebih sejuk dan memanusiakan, agar trauma masa lampau itu hilang sepenuhnya.
Sudah tidak pada tempatnya lagi kita hanya mengedepankan sikap apriori terhadap saudara-saudara sekampung, sedesa, senegara yang pernah mengambil jalan lain dalam berpolitik. Alasan kewaspadaan terhadap faham komunisme memang selalu menjadi alasan. Tapi toh, sejarah juga telah membuktikan bahwa komunisme adalah faham yang gagal dan tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Kita pun tentu memahami, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa dapat berubah, seiring dengan berbagai interaksi dan pengalaman hidup mereka masing-masing. Sementara, umat Islam pun memahami bahwa hidayah bisa datang dari arah mana pun. Maka sudah selayaknya jika kita merangkul dan menyediakan diri bagi saudara-saudara kita untuk menjemput hidayah. Wallahu alam bishshawab…[]
Sumber Tulisan: Hidayatullah.Com