Oleh: Hanibal W Y Wijayanta (Wartawan Senior)
Sejak lama Amerika Serikat dan Inggris dituding sebagai provokator yang memancing PKI melancarkan preemptive strike G-30-S. Lambat-laun, peran Cina justru semakin terungkap.
Kabut tebal yang menyelimuti peristiwa kudeta oleh Gerakan 30 September 1965 hingga kini masih belum pudar juga. Berbagai detail peristiwa yang melatarbelakangi gerakan makar pada 1 Oktober 1965 dini hari itu, juga masih selalu mengundang perdebatan seru. Maklumlah, meski sudah lebih dari setengah abad, semua pihak yang berkepentingan, tampaknya masih senang bermain petak umpet dengan fakta sejarah yang perlahan-lahan semakin terungkap. Pihak yang merasa diuntungkan dengan fakta A, terus mengamplifikasi fakta A dan menafikkan fakta B, C, dan D. Pihak yang merasa dirugikan oleh fakta A, berusaha berkelit dengan menampilkan cerita-cerita lama yang semakin kedodoran. Pihak yang merasa sudah aman dan nyaman dengan fakta B, seolah enggan menerima temuan berbagai fakta baru. Padahal, sebuah peristiwa besar sesungguhnya adalah kumpulan serpihan fakta yang terserak.
Bangsa ini tetap tidak akan dapat melihat gambaran yang utuh tentang babak kelam di republik ini, jika keeping-keping peristiwa itu masih terserak. Bangsa ini tidak akan pernah bisa melihat secara jelas dan jenih tentang peristiwa itu, jika fakta-fakta masih tersembunyi, apalagi sengaja disembunyikan. Kita hanya bisa memahami peristiwa yang terjadi itu, jika kita bisa mengumpulkan satu demi satu, dan kemudian menyusun mosaik peristiwa itu secara runtut, utuh, dan lengkap. Apalagi, tema G-30-S pun masih selalu menjadi alat bargaining politik bagi semua pihak yang berebut pengaruh di negeri ini, baik kaum nasionalis, kaum islamis, maupun kaum kiri.
Selain peran tokoh-tokoh lokal, keterlibatan negara-negara asing dalam intrik menjelang, saat, hingga pasca peristiwa berdarah itu masih menjadi bahasan ramai. Maklumlah, saat itu dunia sedang berada dalam persaingan sengit di tengah Perang Dingin yang berkecamuk pasca Perang Dunia II. Perebutan hegemoni antara Blok Barat (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia dkk.) dan Blok Timur (Uni Sovyet, Cina, Korea Utara, dkk.) berlangsung keras. Intrik dan spionase berlangsung seru.
Tudingan keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris dalam konflik 1965 mengemuka dengan munculnya apa yang disebut sebagai Dokumen Gilchrist. Dokumen Gilchrist adalah sebuah surat yang konon merupakan telegram Duta Besar Inggris untuk Indonesia Sir Andrew Gilchrist, kepada Menteri Muda Luar Negeri Inggris, Sir Harold Caccia, tertanggal 24 Maret 1965, tanpa tanda tangan. Dalam surat yang diketik di atas kertas dengan formulir yang biasa dipakai Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, namun terdapat banyak salah ejaan itu, disebutkan tentang penjelasan Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones tentang perlunya koordinasi dan kehati-hatian dalam berhubungan dengan “Our Local Army Friend”. Frasa Our Local Army Friend ini ditafsirkan sebagai Dewan Jenderal. Konon dengan bantuan dinas intelijen Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA), Dewan Jenderal akan mendahului PKI untuk mengambil alih kekuasaan, jika Presiden Soekarno meninggal dunia.
Surat tanpa tanda tangan itu dikirim oleh seseorang bernama Bahar atau Kahar, ke rumah Wakil Perdana Menteri I Dr Soebandrio yang juga menjadi Menteri Luar Negeri sekaligus Kepala Badan Pusat Intelijen, pada bulan Mei 1965. Menurut pengirimnya, dokumen itu ditemukan di bungalow Bill Palmer –seorang agen film Amerika Serikat— di Tugu, dekat Bogor, ketika para pemuda yang melakukan demonstrasi mengobrak-abrik bungalow itu, pada tanggal 1 April 1965. Belakangan diketahui bahwa apa yang dinamakan sebagai Dokumen Gilchrist itu adalah sebuah dokumen palsu, yang dibuat oleh Dinas Intelijen Cekoslovkia dan Uni Sovyet. Namun, pada saat itu sebagian masyarakat Indonesia, sudah terlanjur mempercayai dokumen palsu yang menjadi landasan PKI untuk memojokkan TNI AD itu, termasuk Presiden Soekarno.
Isu tentang adanya Dewan Jenderal ini sebenarnya sudah sempat dikonfirmasikan langsung oleh Presiden Soekarno kepada Panglima AD, Letjen Achmad Yani, pada saat Sang Pemimpin Besar Revolusi bertemu dengan para panglima dari keempat angkatan pada tanggal 26 Mei 1965. Namun, dalam kesempatan itu Achmad Yani membantah dengan tegas tentang adanya Dewan Jenderal. Yani pun memastikan bahwa dirinya ataupun sesama jenderal lainnya tidak ada yang berkomplot untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, dan juga tidak berkomplot dengan Inggris.
Pagi hari sebelum pertemuan Presiden Soekarno dengan Lenan Jenderal Achmad Yani dan para panglima dari Keempat Angkatan pada tanggal 26 Mei 1965, Wakil Perdana Menteri I Dr Soebandrio yang juga menjadi Menteri Luar Negeri sekaligus Kepala Badan Pusat Intelijen, mengungkapkan untuk pertama kalinya tentang adanya suatu kelompok subversif bernama Dewan Jenderal. Pengungkapan itu dilakukan dalam sebuah acara yang dihadiri orang-orang komunis. Dalam pertamuan itu Subandrio juga mengatakan bahwa Presiden mempunyai bukti-bukti bahwa para jenderal itu berkomplot dengan Duta Besar Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gilchrist.
Sementara itu, karena mendapat laporan bahwa kondisi kesehatan Presiden Soekarno sudah semakin parah, Aidit yang baru pulang dari kunjungan ke Beijing, Republik Rakyat China pada 7 Agustus 1965, kemudian berinisiatif untuk menggerakkan simpul bawah tanahnya, Biro Chusus. Bersama perwira-perwira TNI yang sudah mereka bina selama bertahun-tahun tahun, Biro Chusus berupaya untuk mendahului langkah Dewan Jenderal. Menurut Aidit, siapa yang mengetahui wafatnya Presiden Soekarno lebih dahulu, maka merekalah yang akan memegang inisiatif. Jika Dewan Jenderal mengetahui wafatnya Presiden Soekarno lebih dahulu, maka dalam waktu singkat PKI pasti akan dihabisi.
Peter Dale Scott, dari California University, Berkeley, Amerika Serikat, membuat analisa yang mencengangkan. Dalam monogramnya, The United States and the Overthrow of Soekarno, 1965-1967, Scott justru menguraikan peran penting Central Intelligence Agency (CIA) dalam menggerakkan TNI AD. Dalam artikel yang dimuat di Pacific Affairs edisi musim panas 1985 itu ia menyimpulkan bahwa G30S-PKI adalah kudeta yang dilakukan Soeharto atas dorongan CIA.
Geoffrey B Robinson dalam makalahnya, Some Arguments Concerning US Influence and Compliciticy in the Indonesian “Coup” of October, 1, 1965, juga mengungkap dugaan keterlibatan CIA dalam memancing upaya kudeta. Namun Robinson tampaknya gagal mendapatkan bukti riil. Menurut dia, intervensi terselubung asing di dalam masalah dalam negeri Negara-negar adalah masalah yang mudah dipikirkan tapi sulit dibuktikan. Begitu pula dengan kasus peranan Amerika Serikat dalam kup dan kontra kup 1 Oktober 1965 di Indonesia.
Teori keterlibatan dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, semakin meriah dengan munculnya dokumen-dokumen CIA yang dikumpulkan oleh seorang wartawati di kantor berita State News Services, Amerika Serikat, Kathy Kadane. Dengan berbekal setumpuk laporan declassified itu Kadane menuding CIA juga ikut bertanggung jawab atas tewasnya ribuan anggota PKI. Sebab, pada 1965 CIA telah memberikan daftar nama tokoh PKI kepada aparat keamanan Indonesia.
Tim Weiner dalam bukunya The Legacy of Ashes; The History of CIA, mengungkapkan bahwa AS memang berupaya menjegal Soekarno dengan berbagai operasi intelijen kotor. Dalam buku itu juga diungkap tentang beberapa Jenderal yang sekolah di Amerika Serikat, dengan istilah “Anak-anak Eisenhower”. Pada tahun 1957, mereka kemudian justru melawan pemberontakan PRRI/Permesta yang disokong CIA untuk menjatuhkan Soekarno. Sementara, pada G-30-S/PKI mereka menjadi korban G-30-S/PKI. Untuk persoalan G-30-S/PKI, Weiner mengungkap keterangan bekas Duta Besar AS untuk Indonesia Marshal Green, “Kami tidak menciptakan ombak-ombak itu. Kami hanya menunggangi ombak-ombak itu ke pantai.”
Membicarakan tentang keterlibatan CIA, tak dapat disepelekan juga tentang kiprah Romo Iosephus Gerardus Beek SJ, atau biasa disebut sebagai Pater Beek, dalam perkembangan sosial dan politik nasional Indonesia di era 60-an hingga 70-an. Meskipun dia seorang Rohaniawan Katolik berkebangsaan Belanda, namun terbukti bahwa ia telah menjadi salah satu tokoh sentral yang sangat berperan dalam pembentukan fondasi Orde Baru. Jika semula ia hanya sekadar menjadi Bapak Asrama yang membina mahasiswa di Yogyakarta pada tahun 1950-an, ketika berpindah ke Jakarta pada tahun 1961, ia menjelma menjadi seorang godfather politik yang memimpin sekelompok kader Katolik handal yang dididiknya dalam sebuah latihan kader bernama Kasebul. Dari alumni Kasebul ini, ia kemudian memiliki satuan intelijen swasta yang memiliki jaringan hingga ke kota kecamatan di seluruh Indonesia.
Di Jakarta, Pater Beek memimpin Biro Dokumentasi, sebuah biro informasi yang didirikan Serikat Jesus Provinsi Indonesia tahun 1961. Biro itu menyediakan bahan-bahan studi dan analisis politik, ekonomi dan sosial budaya di Indonesia, berdasarkan tolok ukur ajaran dan moralitas Katolik. Bahan studi dan analisis dari Biro Dokumentasi ini lalu dipergunakan oleh para aktivis Katolik untuk bersikap dan bertindak, serta mengarahkan kelompok lain yang masih miskin konsep.
Biro Dokumentasi menghasilkan kajian tentang sosialisme, yang kemudian diadukan dengan intepretasi gagasan sosialisme-komunisme yang disodorkan PKI. Tujuannya agar mereka dapat memantau, dan mengantisipasi perkembangan sosial, politik masyarakat, agar mampu bersikap kritis terhadap pemerintah Orde Lama. Analisis Biro Dokumentasi diedarkan kepada para aktivis Front Pancasila, KAP Gestapu dan Sekber Golkar. Biro Dokumentasi ini kemudian menjadi cikal bakal CSIS, lembaga think tank pertama di Indonesia yang kemudian menjadi dapur pemikiran bagi pemerintahan Orde Baru di masa awal hingga pertengahan tahun 1990-an.
Ketika atmosfer politik Indonesia di masa Orde Lama terasa sangat dikuasai komunis, Pater Beek menggalang aliansi dengan TNI. Bahkan Sekretariat Bersama Golongan Karya yang konon anak kandung TNI pun sebenarnya lahir atas ide Pater Beek. Romo Dick Hartoko SJ., dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo di tahun 1999 mengatakan bahwa, “Awal mula dari Golkar adalah ide seorang Romo Jesuit: Beek. Dia menginginkan negara korporatif. Sebuah negara tanpa partai-partai, tetapi kelompok-kelompok, antara lain kelompok nelayan, petani, buruh pabrik, dan pengusaha hotel. Itulah ide semula.”
Pater Beek mengkader pemuda Katolik di Asrama Realino Yogyakarta dan di Wisma Samadi Klender, Jakarta. Kegiatan itu disebut Kasebul (Kaderisasi Sebulan) atau menurut versi JB Sudarmanta kependekan dari Khalwat Sebulan. Kegiatan Kasebul tak hanya indoktrisasi, tapi juga latihan fisik yang mendekati latihan militer. Para kader dilatih menghadapi situasi jika diinterograsi oleh lawan. Bagaimana meloloskan diri dari tahanan, bagaimana survive dan sebagainya. Latihan ini ditujukan untuk mempersiapkan showdown dengan komunis waktu itu. Kegiatan ini kemudian diketahui oleh Subandrio yang memimpin BPI (Badan Pusat Intelejen). Akibat kejaran BPI Pater Beek terpaksa melarikan diri ke luar negeri dekat sebelum Gestapu 1965. Beek kembali ke Indonesia setelah Subandrio ditangkap dan BPI dibubarkan.
Upaya serius Pater Beek menentang Komunis tampaknya berkaitan dengan situasi dunia pada saat itu yang sedang dilanda Perang Dingin. Namun karena sikapnya sangat anti-komunis, ia kemudian disinyalir sebagai seorang agen rahasia Amerika Serikat Central Intelligent Agency (CIA) di Indonesia oleh beberapa tokoh kiri Indonesia, seperti mantan menteri Negara Oey Tjoe Tat. Wertheim, menuduh Pater Beek telah memprediksi akan terjadinya G-30-S/PKI pada tahun 1965 serta berbagai dampaknya bagi kaum Komunis, sejak beberapa bulan sebelum peristiwa itu terjadi.
Dalam bukunya, Salim Said mengungkapkan bahwa dari sastrawan Wiratmo Sukito, ia mendengar informasi bahwa Pater Beek melarikan diri ke Belanda, karena dikejar-kejar intel Soebandrio dari BPI. Sebagai seorang Katolik, dan sama-sama melawan komunis, Wiratmo memang mempunyai hubungan erat dengan Pater Beek, dan bahkan besar kemungkinan Wiratmo adalah bagian dari jaringan kegiatan Pater Beek.
Di kemudian hari, Wiratmo Sukito juga menjelaskan kepada Salim Said, bahwa Pater Beek punya hubungan erat dengan CIA. Kontaknya di Hong Kong adalah Pater Laszlo Ladany, seorang pendeta Jesuit asal Hongaria yang bergiat dalam mengamati Tiongkok (China Watcher). Pater Beek adalah salah seorang yang aktif membuat dan menyebarkan bacaan anti komunis. Selain berhubungan dengan Pater Beek, Wiratmo Sukito pada waktu itu juga banyak berhubungan dengan tentara, terutama dengan para perwira di sekitar Jenderal Nasution.
Adapun jurnalis asal Negeri Belanda, Aad van den Heuvel, mengatakan bahwa Pater Beek-lah yang menjadi dalang di belakang gerakan kontra kudeta yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto pada tahun 1965. Van den Heuvel bertemu Pater Beek saat mempersiapkan pidato Jenderal Soeharto saat masih menjadi Pejabat Presiden. Mereka mengindikasikan bahwa Pater Beek adalah seseorang yang sangat berpengaruh dalam perlawanan menentang kaum Komunis di Indonesia. Mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal (Purn) Soemitro dalam buku Otobiografinya, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Kopkamtib, juga mengungkapkan kemisteriusan Pater Beek dan sepak terjangnya.
Kontroversi keterlibatan badan intelijen asing tidak hanya sampai di situ. Tahun 1993, Greg Poulgrain, seorang dosen dari Universitas New England, Australia merilis sebuah buku berjudul The Genesis of Malaysia Konfrontasi: Brunei and Indonesia, 1945-1965. Dalam buku itu Poulgrain justru menjabarkan tentang keterlibatan dinas rahasia Inggris MI6. Menurut dia, Inggris sangat berkepentingan dengan jatuhnya Soekarno yang membahayakan kebijakannya di Malaysia. Saat itu Inggris memang sedang membentuk Negara Persekutuan Malaysia yang ditentang Indonesia.
Dugaan tentang keterlibatan Dinas Rahasia Inggris MI-6 dibenarkan almarhum bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri SH pada 9 November 1998. Bahkan Soeharto terlibat dalam konspirasi itu. “Dia berperan sebagai operator MI-6 dan CIA,” ujarnya dalam diskusi tentang Peran Soeharto dalam Sejarah Indonesia’ di Jakarta. Menurut Mashuri, Soeharto mengambil peran itu lewat jalur dokter Rubiyono Kertopati, yang menurut dia adalah anggota intelijen Belanda (NIVIS). Sedangkan NIVIS, adalah badan intelijen yang diotaki oleh Van der Plas.
Indikasi Soeharto adalah operator dalam gerakan itu, kata Mashuri, berdasarkan pengakuan Kol Latief yang menyatakan bahwa Soeharto mengaku tidak tahu menahu soal gerakan itu. Padahal, Mashuri mengatakan bahwa Soeharto sangat tidak mungkin tidak mengetahui adanya gerakan itu. “Ketika tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto baru muncul. Sementara saat terjadinya pembunuhan para jenderal, ia tidak ada di rumah,” kata Mashuri yang saat itu menjadi tetangga Soeharto di Jl Agus Salim, Jakarta.
Namun, menurut Bradley R Simpson dalam bukunya Economists With Guns. Authoritarian Development and US-Indonesia Relations, 1960-1968, menjelaskan bahwa Kedutaan AS, Inggris, Jepang, Australia, dan lain-lain pada awalnya kaget dan bingung saat mengetahui adanya peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Spekulasi tentang tanggung jawab atas Gerakan 30 September dengan cepat berpusat pada PKI, meski Kedutaan AS mengakui, bahwa “Situasi di Jakarta jauh dari jelas.”
Menurut Simpson, tidak seorang pun dari Kedutaan AS, maupun kedutaan-kedutaan asing itu yang memiliki informasi yang cukup tentang Soeharto. Hal ini dinilai sebagai sebuah kegagalan intelijen yang mengherankan. Sebab Soeharto telah memimpin kampanye militer untuk Irian Barat dan Malaysia, serta mengepalai Kostrad. Saat itu status Soekarno pun tidak diketahui. Pada 2 Oktober 1965, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green menyampaikan kepada Departemen Luar Negeri bahwa, Presiden entah wafat, tidak mampu berfungsi, dalam persembunyian menanti kekacauan mereda, atau menyutradarai seluruh perkara itu.
“Ketidaktahuan” Green tentang apa yang sedang terjadi pada saat G-30-S tergambar pula dalam buku berisi catatannya selama bertugas di Jakarta dengan judul, Indonesia: Crisis and Transformation. Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dari Soekarno ke Soeharto:
Pada malam tanggal 30 September – 1 Oktober 1965, saya menonton wayang, menjadi tamu rekan sejawat dari Selandia Baru di suatu desa di pinggiran Jakarta. Ketika saya pulang naik becak dini hari, jalan-jalan di ibu kota terasa sunyi. Saya tidak mendengar bunyi tembakan senapan, atau kendaraan lapis baja sekalipun Jenderal Yani yang tertembak di rumahnya boleh dikata bertetangga dengan saya.
Dalam perjalanan menuju kantor pagi itu, ketika melewati jalan-jalan saya lihat prajurit-prajurit yang mencurigakan di seberang Kedutaan Besar berseragam dan berlencana lain. Setiba saya di Kedutaan, tahulah saya bahwa RRI pada pukul 8.00 pagi itu telah mengumumkan “Gerakan 30 September” telah menyelamatkan Presiden dari kup CIA yang melibatkan “Dewan Jenderal”. Sebuah pengumuman yang dikeluarkan atas nama Letnan Kolonel Untung menyatakan bahwa Negara akan diperintah oleh “Dewan Revolusi Indonesia”, yang keanggotaannya akan diumumkan hari itu juga.
Green juga mengaku bahwa sebelum peristiwa G-30-S, kalangan perwakilan diplomatik di Jakarta sama sekali tidak mengenal Soeharto:
“Jenderal Soeharto muncul sebagai tokoh yang dapat menyelamatkan Indonesia dari komunisme dan kekacauan. Banyak di antara pemimpin-pemimpin militer Indonesia te;ah menerima latihan lanjutan di Amerika Serikat, tetapi Soeharto bukan salah seorang di antara mereka. Sesungguhnyalah, sejauh itu ia tidak dikenal oleh kalangan diplomatik dibandingkan dengan kalangan militer lainnya. Ia berasal dari keluarga sederhana di Jawa Tengah dan memiliki karier militer yang kuat, termasuk pengalaman pertempuran hebat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Karena tidak mengenal Soeharto, laporan-laporan yang disampaikan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta kepada Kementerian Luar Negeri mereka di Washington juga keliru. Selama dua pekan pertama Oktober Kedutaan Besar Amerika Serikat mendapat kesan bahwa Nasution, sekutu lamanya, adalah orang yang memegang kekuasaan pasca kudeta. Mereka menduga, Soeharto hanya sekadar melaksanakan perintah Nasution. Atas dasar laporan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, kemudian Menteri Luar Negeri Dean Rusk pada 13 Oktober menulis laporan bahwa Nasution tampaknya orang “yang mengambil keputusan.”
Pada awal bulan November 1945, barulah Duta Besar Marshall Green mengubah pendapat itu, “Suharto, bukan Nasution, orang yang memberikan perintah-perintah, menyusun strategi sendiri, dan menghadapi Sukarno secara langsung.” Dibandingkan dengan Nasution yang sudah menonjol di panggung politik Indonesia sejak awal 1950-an, Suharto tampaknya hanya dianggap sebagai sosok sampingan. Awalnya, kebanyakan orang tidak dapat memercayai bahwa ia bertindak atas inisiatif sendiri.
Keterlibatan pihak lain disimpulkan oleh Victor Miroslav Fic. Pada awal Agustus 1968, dalam International Conference of Asian History, Fic pernah menyampaikan sebuah makalah berjudul The September 30th Movement in Indonesia, 1965: A Gambler that Failed. Menurut Indonesianis dari Universitas Cornell, John O’Sutter, makalah Fic itu adalah makalah terbaik dan paling mencerahkan tentang Gestapu. Sebab, banyak detail yang didapatnya sejak tahun 1965, antara lain, (1) bukti-bukti yang dikemukakan di sidang-sidang Mahmillub –dimulai sejak tahun 1966— tentang kegiatan-kegiatan Aidit, Sjam, dan Biro Chusus PKI; kegiatan Presiden Soekarno dan Soebandrio; serta kegiatan Omar Dhani, Soepardjo, dan perwira-perwira militer lainnya, yang diarahkan oleh PKI dan telah ikut dalam Gestapu; 2. Banyaknya kritik terhadap strategi Aidit yang berasal dari orang-orang PKI yang saat itu masih hidup di Jawa, Peking, Moskow, Paris, Amsterdam, Praha, Tirana, Havana, dan tempat-tempat eksil lain.
Setelah melengkapi makalah awalnya dengan berbagai bahan revisi, pada tahun 2004 Fic menerbitkan kembali bukunya, dengan judul Anatomy of the Jakarta Coup: October 1, 1965: The Coalition with China which Destroyed the Army Command, President Soekarno and the Communist Party of Indonesia. Buku ini kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kudeta 1 Oktober 1965. Sebuah Studi Tentang Konspirasi, pada tahun 2005.
Berbeda dengan teori-teori lainnya, dalam buku itu Fic menjabarkan bahwa kudeta 30 September 1965 sesungguhnya merupakan konspirasi antara Soekarno, Aidit dan Ketua Partai Komunis Cina Mao Zhe Dong. Bahkan menurut Fic, asal-usul perencanaan kudeta itu justru terjadi di Zhongnanhai, Beijing, China, pada 5 Agustus 1965, ketika Aidit bertemu Ketua Mao. Dalam pertemuan itu, kata Fic, mereka membicarakan kesehatan Soekarno setelah jatuh pingsannya Sang Pemimpin Besar Revolusi pada 4 Agustus 1965, di Istana Bogor.
Dengan bahasa “sangat-sangat dapat dipercaya” yang dipakai Fic, Aidit mengatakan kepada Ketua Mao bahwa berita jatuh pingsannya Presiden Soekarno di Bogor sehari sebelum pertemuan mereka menjadi kemestian bagi PKI untuk langsung bersiap-siap guna melakukan tindakan darurat untuk menghadapi tantangan, dan bahkan di akar tantangan itu terdapat kesiapan AD untuk memukul PKI terlebih dahulu demi kekuasaan, terlepas dari apakah Presiden meninggal atau tidak. Aidit kemudian meminta nasihat Mao tentang apa yang harus dilakukan PKI.
Fic menuliskan bahwa tanggapan Mao cepat dan lugas:
Mao : Kamu harus bertindak cepat.
Aidit : Saya khawatir AD akan menjadi penghalang
Mao : Baiklah, lakukan apa yang saya nasehatkan kepadamu: Habisi semua jenderal dan para perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tidak berkepala dan akan mengikutimu.
Aidit : Itu berarti membunuh beberapa ratus perwira.
Mao : Di Shensi Utara saya membunuh 20.000 orang kader dalam sekali pukul saja.
Teori keterlibatan China dalam G-30-S/PKI banyak dibantah oleh para peneliti lain, sebagai sesuatu yang dilebih-lebihkan dan hanya berdasarkan spekulasi. Namun, misteri itu agak sedikit terbuka ketika seorang peneliti dari China, Taomo Zhou, memerinci soal pertemuan Aidit dengan Ketua Mao dalam papernya, China and the Thirtieth September Movement, yang dimuat di Jurnal Indonesia dari Cornell University, pada October 2014. Ada beberapa point, terutama perintah langsung Ketua Mao untuk menghabisi para Jenderal kanan yang reaksioner itu, memang tidak ditemukan. Namun beberapa detail plot G-30-S/PKI rupanya memang sudah sempat dikonsultasikan Aidit kepada Mao.
Menurut Zhou, dalam pertemuan tanggal 5 Agustus 1965 itu, Aidit didampingi isterinya, Tanti, dan Wakil Sekretaris PKI Jusuf Adjitorop. Mereka bertemu Ketua Mao yang didampingi beberapa pimpinan tertinggi Partai Komunis China Liu Shaoqi, Zhou Enlai, Deng Xiaoping, Peng Zen, dan Chen Yi. Dalam pertemuan itu, Zhou Enlai –Menteri Luar Negeri RRC— melaporkan kepada Mao tentang kemunduran kesehatan Soekarno. Kemudian mereka mendiskusikan tentang pembatalan rencana kunjungan Aidit karena harus cepat kembali ke Indonesia.
Dalam pertemuan itu, mereka memang mendiskusikan tentang saingan utama PKI, yakni Angkatan Darat:
Mao : Menurut saya, golongan sayap kanan berencana untuk merebut kekuasaan. Apakah kalian juga punya rencana itu juga?
Aidit : [Sambil menganggukkan kepala] Kalau Soekarno meninggal, itu adalah masalah siapa yang berada di atas angin.
Mao : Saya sarankan anda tidak bepergian ke luar negeri terlalu sering. Anda bisa mewakilkan kepada orang kedua anda (misalnya wakil anda) [di partai] untuk berangkat ke luar negeri.
Aidit : Mengenai sayap kanan, mereka bisa saja menempuh dua macam cara. Pertama, mereka bisa saja menyerang kita. Kalau mereka mengambil tindakan seperti itu, kita punya alasan untuk menyerang balik. Kedua, mereka bisa saja menggunakan cara yang moderat dengan membentuk pemerintahan Nasakom. Tanpa Soekarno, sangat mudah bagi sayap kanan untuk merebut dukungan dari mereka-mereka yang ada di tengah untuk mengisolasi kita. Skenario terakhir ini bisa menyulitkan kita. Tapi apapun yang terjadi, kita harus berhadapan dengan mereka. Amerika Serikat telah menyarankan kepada Nasution untuk tidak merencanakan sebuah kudeta. Hal ini karena, jika dia mengambil langkah kudeta, maka sayap kiri pun akan melakukan hal yang sama. Amerika Serikat telah menyarankan kepada Nasution untuk menunggu dengan sabar. Sebab, meskipun Sukarno meninggal, ia (Nasution) harus fleksibel dari pada mengambil langkah kudeta. Nasution menerima saran dari Amerika Serikat ini.
Mao : Itu tidak dapat dipercaya. Situasi saat ini sudah berubah.
Aidit : Menurut skenario pertama, kita merencanakan untuk membentuk sebuah komite militer. Sebagian besar anggota komite akan terdiri dari orang-orang sayap kiri, namun juga akan memasukkan beberapa elemen tengah. Dengan cara ini, kita akan membuat musuh kita kebingungan. Musuh-musuh kita akan tidak merasa yakin tentang apa hakikat dari komite ini, dan karena itu para komandan militer yang bersimpati kepada sayap kanan akan tidak menentang kita dengan segera. Kalau kita langsung mengibarkan bendera merah kita, mereka akan segera menentang kita. Kepala komite militer ini haruslah anggota rahasia partai kita, namun dia akan mengidentifikasi diri sebagai orang yang netral. Komite militer ini tidak boleh berkuasa terlalu lama. Sebab kalau tidak, orang baik akan berubah menjadi orang jahat. Setelah komite ini terbentuk, kita perlu mempersenjatai kaum buruh dan tani, dalam waktu yang tepat.
Dalam catatan mengenai pertemuan itu, Mao kemudian mengalihkan percakapan ke pengalaman pribadinya di Chongqing saat bernegosiasi dengan Partai Nasional China (Kuomintang). Dengan memberikan latar belakang sejarah dalam Perang Sipil China, ada kemungkinan bahwa Ketua Mao telah menyampaikan nasihat terselubung kepada Aidit untuk siap, untuk berunding maupun dengan perjuangan bersenjata. Tapi menurut Taomo Zhao, meskipun sikap pemimpin China tetap tidak terlalu jelas, ada bukti bahwa Beijing telah diberitahu tentang rencana Aidit, dan paling tidak mereka tidak berkeberatan dengan rencana itu.
Sementara itu, begitu tiba dari China, Aidit menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor pada 7 Agustus 1965 pukul 12.00 bersama dua orang spesialis pengobatan dari China yang diduga Fic sebagai perwira intelijen China. Keesokanharinya, Aidit kembali menemui Presiden di Istana Bogor. Saat itulah Aidit menyampaikan usul-usul dan janji-janji Mao kepada Soekarno. Sesuai kesepakatan itu, kata Fic, Soekarno akan beristirahat panjang dengan alasan kesehatan di sebuah tempat nyaman di tepi Danau Angsa, China, setelah membersihkan para jenderal yang tidak loyal, membentuk Kabinet baru, dan menyerahkan kekuasaan kepada PKI.
Dalam bukunya, Fic juga menyebutkan pula bahwa perjanjian rahasia Soekarno-Mao-lewat Aidit itu kemudian dibocorkan secara tertulis oleh Aidit dalam suratnya tanggal 10 November 1965 kepada seluruh Central Daerah Besar (CDB) PKI se Indonesia. Pada point kedelapan Aidit mengatakan bahwa:
“Hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa Sosro (kode untuk Presiden Soekarno) telah meninggalkan kita, tapi harus diingat kekuatan kita sekarang hanya satu: perjanjian politik Sosro dengan tetangga (kode untuk RRC); bila Sosro meninggalkan kita, berarti hukum karma berlaku ingat “istilah R/Tangku tentang Malaysia yang telah diumumkan pada tahun 1964”. Tujuan membentuk Malaysia ‘To outvote the Chinese Majority’ hingga hasilnya setahun kemudian Singapura keluar dari Malaysia.”
Kemudian, pada point ke sembilan, Aidit mengatakan:
“Senjata terakhir dari kita dan Negara tetangga adalah ini juga; oleh sebab itu yakinlah kawan-kawan mudah-mudahan Sosro dan Tjeweng (kode untuk Wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar Negeri Dr Soebandrio) tidak akan mengkhianati kita, bila hingga sekarang dia plintat-plintut, memang karena DJ (istilah untuk Dewan Jenderal) ada di depan hidungnya, tetapi bila nanti mereka berkhianat, maka dari negara tetangga perjanjian-perjanjian pasal yang telah kami sampaikan secara /R pada bulan Agustus lalu terpaksa diumumkan dan kini adalah berarti lonceng kematian dan kehancuran bagi Sosro/Tjeweng.”
Franz Magnis-Suseno sempat memuji tulisan Fic, terutama rincian kejadian pada tanggal 1 Oktober 1965. Namun, tesis tentang Sukarno bahwa dia bersedia menyerahkan kepresidenen kepada Aidit dan menarik diri ke tempat indah di Cina, menurut Franz, adalah preposterous, sama sekali tidak dapat diterima. Kecuali fakta-fakta yang disebutnya, kata pastor Jesuit itu, seluruh teori cacat dan kelihatan ideologis.
Meski dalam bentuk yang sangat singkat, masih ada penulis lain yang juga menjelaskan tentang pertemuan Aidit dan Mao serta beberapa tokoh Cina lainnya di Beijing menjelang peristiwa G 30 S 1965. Dalam Biografi Mao yang sangat panjang berjudul Mao: The Unknown Story, Jung Chang dan Jon Halliday memberikan gambaran sekilas tentang hubungan Mao dengan Aidit, serta situasi Indonesia pada tahun 1965. Namun, dua halaman dalam buku Biografi setebal 832 halaman itu cukup mencengangkan.
Konon saat itu ambisi internasional Mao sedang meningkat. Mao ingin Cina mendominasi Konferensi Afrika-Asia (AAC) kedua, yang dijadwalkan pada Juni 1965 di Aljazair. Sebab, AAC pertama di Bandung, April 1955, telah mentahbiskan Soekarno sebagai Pemimpin Dunia Ketiga, gara-gara pidato pembukaannya yang berapi-api. Padahal, diplomasi nyata AAC I sesungguhnya dilakukan oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India, yang didampingi Zhou Enlai, pemimpin delegasi sekaligus Menteri Luar Negeri Cina.
Mao ingin mendominasi AAC II. Maka, ia lalu memerintahkan Zhou Enlai memastikan bahwa China akan memainkan peran dominan di Aljazair. Namun, 10 hari sebelum pembukaan AAC II, Perdana Menteri Aljazair Ahmed Ben Bella dikudeta Kolonel Houari Boumediene. Seketika itu pula Mao melepaskan koneksinya dengan Ben Bella seperti kentang panas, dan memerintahkan Zhou mendekati pemerintah militer baru untuk memastikan bahwa konferensi berjalan sesuai jadwal. Tapi sebagian besar anggota AAC memilih penundaan dan enggan untuk pergi ke Aljazair karena tuan rumah telah berganti rezim. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser juga memilih untuk menunda pertamuan, bahkan meminta agar Uni Soviet diundang.
Mao sangat marah atas penundaan konferensi Asia Afrika II. Padahal, dia membutuhkan kisah sukses untuk menghadapi saingan domestiknya. Mao kemudian mencoba masuk ke dalam konflik di Asia. Perang Pakistan dengan India menjadi peluang potensial karena Pakistan dekat dengan Cina. Tapi pada menit terakhir, ternyata Pakistan melempem, dan menerima gencatan senjata yang dimediasi PBB.
Peluang berikutnya adalah Indonesia. Untuk fakta yang satu ini, Halliday mewawancarai Kenji Miyamoto, Pemimpin Partai Komunis Jepang yang dekat dengan Mao. Miyamoto mengatakan kepada Halliday, bahwa Mao terus mendesak PKI dan Partai Komunis Jepang untuk merebut kekuasaan. Pesan dari Beijing adalah: “Kapanpun ada kesempatan untuk merebut kekuasaan, Anda harus bangkit dalam perjuangan bersenjata”. Sayang, buku itu tidak menjelaskan hubungan, komunikasi, dan interaksi antara Mao dengan Aidit secara lebih detail.
Namun, ketika akhirnya terbukti bahwa PKI gagal dalam upaya kudeta dengan ditangkap dan ditembaknya Aidit di Boyolali, kemudian disusul dengan pemberangusan PKI, di Beijing, Mao Zedong menyalahkan PKI atas kegagalannya. Dalam buku Mao: The Unknown Story, disebutkan bahwa Mao mengatakan kepada Pemimpin Partai Komunis Jepang, “Partai Komunis Indonesia membuat dua kesalahan. Pertama, mereka percaya membabi buta pada Soekarno dan melebih-lebihkan kekuatan PKI di tubuh Angkatan Darat.” “Kesalahan kedua,” kata Mao, “adalah bahwa PKI menyerah tanpa perlawanan.”[]
Sumber Tulisan: Facebook