Kapitalisme Menyongsong Era Konsorsium? (Capitalism 4.0)

Oleh: Lathifah Musa

Dalam tulisan Opini di Kompas tanggal 8 Agustus 2011, Christianto Wibisono secara tidak langsung mengarahkan pembaca untuk bersiap-siap memasuki Era Konsorsium. Dengan latar belakang pemaparan analisis tentang akar kebangkrutan AS, tulisannya yang berjudul Akar Krisis Utang AS ini berujung pada pernyataan bahwa, “kita sedang menuju era konsorsium multipolar.”

Hal yang begitu terasa membingkai pembaca adalah penerimaan kita terhadap dunia yang saat ini dipimpin oleh AS sebagai negara adidaya dan ketergantungan setiap negara di dunia saat ini terhadap pengaruh besar AS. Seolah-olah kehidupan umat manusia di dunia akan ikut terpuruk, bila negara adidaya ini ambruk.  Tidak ada cara lain selain menyiapkan diri menyongsong era Konsorsium G20. Menurut Christianto, dunia tidak akan lagi mampu dipimpin oleh satu kekuatan, baik China ataupun “Khalifah Islam” (Maksudnya Kekhilafahan Islam). Statemen terakhir ini, Christianto tidak menyebutkan argumentasi yang menguatkan.

Kegagalan kapitalisme, selalu disambut dengan kapitalisme babak selanjutnya. Christianto memaparkan bagaimana perjalanan Kapitalisme AS (yang menjadi representasi Kapitalisme dunia), menuju kondisi terakhirnya saat ini. Walhasil, hanya itulah cara agar Kapitalisme AS bisa memperpanjang usianya di dunia ini.

 

Kapitalisme Menuju Era Konsorsium

Era demi era negara AS sarat dengan utang yang semakin bertambah. Rasio utang menampakkan kecenderungan selalu meningkat. Sejak era yang oleh Anatole Kaletsky disebut sebagai capitalism 1.0 yang berakhir dengan depresi global 1929. Besar pasak daripada tiang menjadi akar penyakit klasik AS di setiap era. Selain itu ketidaksinkronnya sektor financial dan sektor riil menjadi penyakit kronis yang semakin memperparah perekonomian negara ini

Kegagalan pasar yang tak terkendali oleh sistem capitalism 1.0 berbasis Adam Smith murni melahirkan revisi berupa Keynesianisme yang diteorikan ekonom Inggris, John Smith Maynard Keynes dan dipraktekkan oleh Presiden AS Franklin Delano Rosevelt. Negara tetap mengintervensi karena kegagalan Pasar Absolut. Inilah era capitalism 2.0. Pada era ini utang AS berlipat 16 kali dari 15 miliar dollar (1930) menjadi 260 miliar dollar pada tahun 1950. Pasca PD II, utang terus naik sesuai laju inflasi dunia. Secara nominal, utang di era Reagan dan George W. Bush berlipat empat kali dari 1980 ke 1992.  George W. Bush melipatgandakan utang dari 5,7 trilyun dollar AS pada Januari 2001 menjadi 10,7 trilyun dollar AS pada akhir masa jabatan keduanya (2008).

Era Reagen bersama PM Margareth Teacher adalah era capitalism 3.0, yang meliberalkan pasar keuangan internasional dengan produk derivative dan mulai lepasnya keterkaitan sektor finansial global dengan sektor riil produsen manufaktur barang dan jasa. Capitalism 3.0 ini pun mengalami krisis dari Asia Timur 1998 dan setelah sepuluh tahun malah merasuk ke jantung kapitalisme, Wall Street. Karena itu, negara kembali mengintervensi seperti nasionalisasi General Motors oleh Obama.

Sejauh perjalanan panjang kapitalisme, AS hanya memiliki kekayaan produk “imaginer” derivative financial yang beromzet trilyunan dollar AS yang mengawang di bursa seluruh dunia tanpa menyentuh sektor riil. Sesungguhnya inilah yang menyebabkan kegagalan AS untuk bersaing dengan China dan Asia Timur sebagai produsen manufaktur kongkret.

Kini, setelah kapitalisme mengalami krisis (sementara komunisme telah bangkrut beberapa tahun sebelumnya), maka mempertahankan kapitalisme adalah dengan mengedepankan kendali negara. Bila AS tidak memiliki kekuatan super power untuk mengendalikan dunia, maka sudah waktunya dunia dipimpin oleh Konsorsium G20, bukan lagi didominasi Pax Americana. Bagaimana kita membaca peta kekuatan Konsorsium G20 ini?

 

Skenario Mapping The Global Future

Analisa ini mengingatkan kita pada laporan National Intelligence Council (NIC) yang diketuai oleh Robert Hutchings. Laporan itu berjudul Mapping the Global Future. Landscape global tahun 2020, memunculkan kekuatan baru di Asia yang diwakili oleh China dan India, dan bangkitnya Kekhalifahan Islam (Islamic Caliphate) baru -sebuah pemerintahan Islam yang mampu memberi tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai Barat. Bagaimana dengan AS? AS akan tetap bisa mempertahankan peringkatnya bila mampu mengakomodasi kekuatan negara-negara lain.

Barangkali kondisi negara AS saat ini lebih pelik daripada analisa NIC. NIC tidak memprediksi bahwa AS akan menanggung utang yang besar dan bahkan terancam gagal bayar. Kenyataannya pada awal Agustus 2011 ini saja, AS telah diklaim gagal menjadi teladan bagi era Capitalism abad 21.

Namun analisa  Robert Hutchings ini, layak (bagi AS sendiri) untuk menjadi bahan rekomendasi bagaimana mempertahankan agar negaranya tidak merosot terlalu jauh dibandingkan negara-negara Asia yang sedang tumbuh. Salah satunya adalah dengan “membangun konsorsium”, agar tidak muncul kekuatan baru yang melebihi AS.

Dengan cara inilah AS bisa mencegah bangkitnya China menjadi adidaya baru dunia (tidak sekedar adidaya di kawasan Asia). AS pun bisa menghalangi tegaknya apa yang mereka sebut sebagai “Islamic Caliphate/ Kekhilafahan Islam “, yakni sebuah pemerintahan Islam yang mampu memberi tantangan pada norma-norma dan nilai Barat.

Apalagi, kemudian NIC memperbarui laporan lima tahunannya, dengan kemunculan Iran, Indonesia dan Turki sebagai negara dengan kekuatan politik dan ekonomi yang kuat dalam sepuluh tahun mendatang. Maka, AS perlu melakukan pendekatan-pendekatan kepada negara-negara ini, dalam rangka mendulang manfaat demi kepentingannya.

Christianto seolah menjadi juru bicara kepentingan kapitalisme, ketika menuliskan, “kita harus menyongsong Pax Consortis G-20…”, maka inilah ajakan untuk berbondong-bondong memasuki gerbang konsorsium. Dengan konsorsium ini, kekuatan akan terpolarisasi. Tidak akan muncul superpower atau kekuatan otoriterianisme baru.

 

Konsorsium G20 dan Upaya Polarisasi Kekuatan

Siapa promotor G20? Siapa yang memutuskan bahwa G20 menggantikan G8 dalam mendiskusikan persoalan-persoalan dunia? Siapa yang mengusulkan negara-negara tambahan di luar G8, yang dipandang layak memberi masukan bagi solusi-solusi dunia? Tentu, ini tidak terlepas dari kebijakan politik luar negeri AS.

Siapa yang merekomendasi Indonesia sebagai pemimpin kawasan ASEAN?  Kepentingan apa saja yang harus menjadi perhatian Indonesia dalam perannya di kawasan ASEAN. Siapa yang kerapkali memberikan rekomendasi (mendikte) apa yang harus dilakukan Indonesia sebagai pemimpin ASEAN? Tentu, ini tidak terlepas dari kebijakan negara AS.

Ibaratnya AS adalah jawara dunia yang sedang terserang demam tinggi, karena penyakit kronis yang dideritanya kambuh akibat ulahnya sendiri.  Pada saat yang sama, China mulai menjadi jawara tunggal di kawasan Asia. Negara-negara muslim seperti Iran, Indonesia, Turki adalah sosok-sosok berbadan kuat dengan pertumbuhan perlahan tapi pasti, serta berpotensi menjadi jawara-jawara bila mereka mau berpikir dan menggunakan ilmunya sebagai Mu’min. Apalagi bila negara-negara ini bersatu padu, dengan ideologi mereka yang satu dan ikatan persaudaraan mereka yang kuat (karena bagaimanapun mereka adalah satu saudara). Tak akan ada yang bisa mengalahkan kekuatan jawara-jawara muslim ini.

Apa yang harus dilakukan AS agar ia tetap menjadi jawara tunggal, sementara yang lain cukup dalam kendalinya, kalau perlu hanya menjadi pelayan setianya?

Untuk tetap menguasai dunia, AS harus menyibukkan calon-calon jawara yang lain. Buatlah mereka sibuk dengan urusan satu sama lain. Atau buatlah sesuatu agar mereka menyibukkan diri di sana.

AS harus membuat semacam perkumpulan dan mengopinikan bahwa perkumpulan tersebut sangat penting karena menyangkut hajat bersama, dan tentunya hajat hidup masing-masing. Mereka harus dibuat merasa bersalah bila tak bergabung dengan perkumpulan tersebut. Harus ada semacam aturan main bagi siapapun dalam perkumpulan tersebut untuk tidak saling merugikan dan menyakiti. Siapa saja yang merugikan, maka ia layak dipukul bersama. Tentunya AS lah yang membuat aturan mana hal yang menguntungkan dan mana hal yang merugikan. Dengan cara ini, AS bisa mengendalikan jawara dan calon jawara yang lain!

Tapi bagaimana kalau AS sendiri yang melanggar? Sesuaikan saja aturannya, sehingga tidak akan merusak kepentingan AS sendiri. Lagipula, siapa yang berani menggebuk jawara (yang diopinikan) nomor satu sejagad.  Bisa-bisa ia akan diboikot yang lain. Ini juga salah satu aturan main dalam perkumpulan tersebut.

Tidak cukup dengan perkumpulan yang berpengaruh di dunia. AS harus melakukan pendekatan dengan salah satu kekuatan di kawasan agar mau tampil sebagai pemimpin kawasan itu. Namun tampilnya mereka sebagai pemimpin adalah dengan arahan dan support AS. Dengan demikian AS harus tampil sebagai pembina dan pengasuh yang baik dan manis. AS harus sering-sering memuji agar mereka lupa diri dan senang terhadap AS. Kalau perlu, jadikan mereka sebagai pelayan yang setia dan bangga dengan AS sebagai pembinanya. Hal ini akan meringankan beban AS dalam memantau kawasan tersebut. AS tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak untuk membiayai kawasan tersebut. Bahkan AS bisa memetik keuntungan dengan pasokan sumber daya alam dan pasar dari wilayah-wilayah tersebut. Dengan cara inilah AS bisa menggagalkan tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru atau tampilnya kekuatan tandingan.

 

Dimana Posisi Indonesia?

Ketika NIC memprediksi Indonesia berpotensi menjadi negara kuat di masa depan, tentu analisa ini bukan tanpa data. Indonesia adalah negara yang menyimpan potensi besar. Bayangkan saja, sebuah negara dengan lebih dari 245 juta jiwa yang tersebar di sekitar 17.000 pulau dengan wilayah seluas Uni Eropa. Negeri Muslim ini berada di atas cincin api dunia yang konon menjadi tempatnya sumber energi yang kaya, mulai dari minyak bumi, gas alam, batu bara, timah, sampai emas, logam mulia yang sangat berharga. Negeri Muslim ini juga memiliki hubungan sangat baik dengan negeri-negeri Muslim lain yang notabene sangat memusuhi AS. Sebagai contoh, lebih dari 90% penduduk Timur Tengah membenci  AS.

Apakah AS memperhatikan rekomendasi NIC? Tentu saja! Indonesia diminta untuk bergabung dengan negara-negara G20. Sebuah kehormatan yang sangat besar dalam pandangan para elit politik di Indonesia saat ini. Untuk lebih mengambil hati para pemimpinnya, dalam pertemuan tahunan pertama negara-negara G20, kursi duduk Presiden Indonesia ditempatkan di sebelah Presiden AS. Ini semakin membuat bangga jajaran pemerintahan Indonesia.

Obama sangat pandai mengambil hati rakyat Indonesia. Bukan tanpa perhitungan dan telaah yang detil dari Obama dan para staf ahli di Gedung Putih, perlunya menyebut istilah “pulang kampung”, “Nasi Goreng”, “Sate”, dan lain-lain.

Indonesia pun menyambut ramah Obama. Indonesia pun dipandang layak memimpin Asean. Indonesia pun masuk perhitungan sebagai negara bawahan AS. Hal ini semakin dibuktikan dengan Kemitraan Menyeluruh (comprehensive partnership) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Konsep kemitraan menyeluruh itu pertama kali diluncurkan saat Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, melakukan kunjungan ke Jakarta pada Februari tahun lalu. Konsep tersebut sudah mulai berjalan dan pada September ketika Menlu Hillary Clinton serta Menlu Marty Natalegawa di Washington DC meluncurkan Komisi Bersama Indonesia-AS untuk menjalankan Kemitraan Menyeluruh. Komisi Bersama tersebut diikuti dengan dibentuknya Rencana Aksi Kemitraan AS-Indonesia, yang mencakup kerjasama kedua negara di bidang politik, keamanan, ekonomi, pembangunan, sosial, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi (antaranews.com).

Namun istilah Kemitraan Menyeluruh ibaratnya hanya akal bulus pemerintah AS saja. Indonesia kenyataannya lebih banyak dikelabui dalam setiap kesepakatan atau perjanjian. Ibaratnya calon jawara, maka Indonesia telah terkendali bahkan bisa menjadi sapi perah untuk kepentingan mempertahankan eksistensi Jawara AS!

Indonesia harus segera menyadari posisinya dalam konstelasi politik internasional. Sikap membebek pada AS hanya akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang selalu dipecundangi. Kebanggaan Indonesia sebagai bagian dari negara G20 harus segera direvisi. Jangan sampai Indonesia terjebak pada pencitraan semu yang telah disiapkan AS.

Bila AS mengarahkan dunia untuk era Konsorsium, maka Indonesia harus berkaca pada dirinya sendiri. Siapakah kita? Bukankah kita negara muslim terbesar? Mengapa kita tidak mau bangkit sebagai seorang muslim? Mengapa kita membiarkan negeri ini menjadi pijakan dari bangsa-bangsa sekuler. Mengapa kita membiarkan diri kita menjadi budak dan korban dalam sebuah pertarungan besar?

Konstelasi internasional masa depan menyediakan pilihan-pilihan. Bahkan NIC pun telah menelaah kemungkinan-kemungkinan ini. Adakah pilihan lain bagi Indonesia selain menggerakkan dirinya menuju era kepemimpinan Islam? Mereka (AS dan Eropa) menyebutnya “Islamic Caliphate”. Kita pun telah menyakini bahwa itu adalah Khilafah Islamiyah ‘alaa Minhajin Nubuwwah.

Keyakinan ini bukan sekedar  karena peta politik dunia bergerak ke sana. Namun lebih karena Rasulullah Saw bersabda:

Di tengah kamu terdapat zaman kenabian atas seizin Allah, ia tetap ada. Setelah itu, Dia akan mencabutnya, jika Dia benar-benar hendak mencabutnya. Setelah itu akan ada Khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian, ia juga ada dan atas seizin Allah, ia tetap ada. Setelah itu, Dia akan mencabutnya, jika Dia benar-benar hendak mencabutnya. Kemudian akan ada kerajaan yang zhalim ia juga ada dan atas seizin Allah, ia tetap ada. Setelah itu, Dia akan mencabutnya, jika Dia benar-benar hendak mencabutnya. Kemudian akan ada kerajaan diktator, ia juga ada dan atas seizin Allah, ia tetap ada. Setelah itu, Dia akan mencabutnya, jika Dia benar-benar hendak mencabutnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian. Setelah itu Baginda diam.” (HR Ahmad)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *