Ketika Muslimah Bekerja di Luar Rumah

Bekerja di luar rumah bukan aib, tapi juga sebuah kemuliaan

Suami Siti menderita stroke dan tidak bisa bekerja lagi, sementara anak-anak harus tetap makan dan sekolah. Tentu Siti tidak bisa hanya diam di rumah, menyalahkan suami yang terbaring tidak berdaya. Juga tidak mungkin terus mengharap iba dari orang lain. Dan sebagai istri yang salehah, dalam kondisi seperti itu tidak mungkin meninggalkan suami dengan menuntut cerai.

Maka bekerja menjadi keharusan bagi seorang istri seperti Siti. Tidak ada larangan mutlak dalam al-Qur’an dan Hadist tentang muslimah bekerja di luar rumah. Meskipun yang utama dalam kondisi normal, muslimah lebih baik di rumah saja.
“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab {33}: 33)

Tuntutan Lain
Muslimah bisa bekerja di luar rumah, selain karena kondisi keluarga yang menuntut seperti contoh di atas, di masyarakat juga terkadang menuntut beberapa muslimah untuk bekerja di luar rumah. Yaitu seperti menjadi guru di Pendidikan Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak (TK) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pendidikan anak-anak pada sekolah tersebut secara khusus memerlukan kelembutan sentuhan keibuan, kesabaran dan ketelitian tangan-tangan muslimah. Sehingga dalam sejarah sahabiah ada Asy-Syifa’ binti Abdullah bin Adbu Syams dari suku Quraisy Al-Adawiyyah. Dialah guru wanita pertama dalam Islam. Di antara yang menjadi muridnya adalah Hafshah binti Umar bin Khattab. Dia mengajarkan tulis menulis dan pengobatan kepada istri Rasulullah SAW, Ruqyah dan Ummu Sulaim binti Milhan.

Kondisi lain adalah di rumah sakit atau dunia kesehatan. Wajar bila bidan dan dokter kandungan adalah muslimah. Ini karena tuntutan kenyamanan, keamanan dan pelayanan kepada sesama muslimah saat harus di rawat di rumah sakit. Maka dalam sejarah Islam dikenal seorang bidan muslimah pertama yakni Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, istri Umar bin Khattab.

Mungkin masih ada beberapa contoh lain di mana muslimah harus bekerja di luar rumah. Jelas itu bukan aib, tapi kemuliaan sebagai kewajiban kifayah untuk mengurus keperluan umat.

Syarat Syariat

Salah satu kemuliaan Islam adalah senantiasa membingkai aktifitas umatnya dengan syariat, agar menjadi fitrah dan keselamatan dunia akhirat baginya. Maka muslimah diperkenankan bekerja di luar rumah dengan berbagai syarat.
Pertama, pekerjaannya halal. Ini hal pokok terkait dengan jenis dan hasil dari pekerjaan tersebut yang akan dinikmati oleh anggota keluarganya. Selain tidak menyalahi fitrah muslimah, juga tidak bersentuhan dengan hal yang haram seperti menjadi pelayan bar atau diskotik, penari atau penyanyi hiburan, penjual minuman keras atau narkoba.

Kedua, lingkungan pekerjaan tidak iktilat (bercampur dengan lawan jenis). Ini sangat penting untuk menghindari fitnah, juga dalam rangka mengantisipasi dari segala bentuk pelecehan seks yang seringkali dialami oleh muslimah. Sebab arus modernisasi dengan emansipasi wanita seringkali menjadi pukulan balik kepada kaum wanita karena ternyata bukan kebebasan yang mereka dapatkan, tapi justru penistaan dan perendahan martabat lantaran adanya pelecehan seks di mana-mana.

Sehebat apapun wanita, tetap dia memiliki keterbatasan dan tidak memiliki kemampuan sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki. Inilah titik rawan yang seringkali menjadi pintu masuk pelecehan lantaran interaksi yang bercampur baur antara laki-laki dan wanita.

Ketiga, tetap mengedepankan adab-adab sebagai muslimah. “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. ….” (An-Nuur [24]: 31).

Ayat di atas penting, sebab kecenderungan wanita memang sangat memperhatikan penampilan. Mungkin ia ingin menjaga image agar tidak menjadi bahan olokan atau memang ada yang sengaja ingin menjadi pusat perhatian atau pamer. Karena itu, berpenampilan dan berinteraksi bagi muslimah ada syariatnya.

Keempat, tidak mengabaikan tugas utamanya yaitu mengabdi kepada suami dan mendapatkan izin darinya. Inilah yang mungkin berat bagi seorang muslimah yang bekerja di luar rumah. Setelah bekerja dengan lelah, dia tetap dituntut untuk fight di dalam rumah. Kebutuhan suami harus disiapkan dan dilayani dengan baik dan pekerjaan rumah tangga juga tetap beres. Maka muslimah yang bekerja di luar rumah harus memiliki kekuatan fisik dan mental yang ekstra kuat atau paling tidak kelipatan dua dibanding muslimah yang hanya di rumah saja.

Jika tidak memiliki kekuatan fisik dan mental ekstra, dikhawatirkan ada kewajiban yang tidak tertunaikan dengan baik. Seperti mudah emosi saat pulang ke rumah atau tidak konsentrasi bekerja di luar rumah. Fisik tidak kuat juga rawan sakit dan akhirnya tidak maksimal saat di rumah dan di luar rumah.

Salah satu angka perceraian yang terus meningkat adalah dari keluarga yang istrinya bekerja di luar rumah. Bahkan bukan cerai, tetapi gugat cerai karena istri merasa lebih nyaman dengan pekerjaannya dan tidak mau repot dengan permasalahan atau kewajibannya melayani suami di rumah.

Kelima, ada kesadaran penuh bahwa tugas mendidik anak adalah juga sebagai kewajiban. Apalah artinya bekerja pagi hingga petang, peras keringat dan banting tulang tapi anak-anak tidak terantar menjadi anak yang saleh dan salehah. Bukankah hasil bekerjanya adalah untuk investasi masa depan anak-anaknya?

Ibnu Qoyyim menjelaskan, Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban setiap orangtua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orangtuanya. Orangtua mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas orangtuanya.

Beliau juga menjelaskan bahwa barangsiapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orangtua yang acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa. Sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya. [Sumber Tulisan: SUARA HIDAYATULLAH]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *