Pendidikan Kita Menyengsarakan Si Miskin

Oleh: Lathifah Musa

 

Ilustrasi | Gambar dari: www.stat.ks.kidsklik.com

Seorang ibu berkeluh kesah di hadapan saya. Anak keduanya besok harus bayar biaya untuk ulangan semester. Kalau tidak, tentunya tidak boleh ikut ulangan. Sebut saja namanya si Pipit.

”Si Pipit juara satu di kelasnya. Sayang banget kalau sampai putus sekolah.” kata Ibunya sambil mengusap peluh di kening. Ia duduk di teras rumah saya, sambil memeluk anak bungsunya yang terlelap.

Ia mengaku ”pusing banget”. Saya melihat sorot wajahnya yang memang betul-betul resah dan tampak susah. Anaknya sembilan. Yang sulung hampir lulus SMK. Yang kedua, si Pipit kelas dua SMP. Tiga adik si Pipit masih SD, dan sisanya belum sekolah.

”Perabotan di rumah sudah habis dijual untuk biaya sekolah. Katanya anak dapat keringanan karena berprestasi. Tapi kenyataannya, tetap bayar juga. Mau ulangan bayar. Mau praktek komputer bayar. Seragam bayar. Ada baju pramuka, baju olah raga, baju batik, seperti nggak ada habisnya!” Ibu itu mengeluh lagi. Suaminya hanya buruh. Kadang membersihkan halaman, kadang menjadi kenek yang membantu tukang bangunan.

”Saya malu sama Eneng …., kemarin dikasih modal untuk jualan nasi uduk udah habis untuk nebus beras raskin. Kata Pak Erte, ada 15 liter, mumpung lagi bagus, sayang kalau nggak ditebus.” Ibu itu memanggil saya Eneng. Mungkin karena dipandang jauh lebih muda. Padahal saya tahu selisih usianya tak seberapa jauh dibanding usia saya.

Ini sudah kedatangannya yang kesekian kali. Saya menyadari, susahnya menyekolahkan anak di zaman macam begini. Anak-anaknya sederetan, mayoritas masih sekolah pula. Setiap ada kesulitan biaya, maka ia ”ngider” , menjual apa saja yang bisa dijual. Kebanyakan menjualkan dagangan orang lain. Sejak pagi berkeliling, menawarkan dagangan sambil menggendong bungsunya yang berumur sembilan bulan. Anak balitanya yang lain mengikuti di belakangnya. Terkadang ia menerima upah setrika. Memang sulit untuk tidak jatuh kasihan.

Dengan kondisi yang tidak berkelebihan, barangkali saya hanya bisa membeli dagangannya, tanpa menawar. Tak masalah di atas harga rata-rata, karena ia juga tak enak kalau diberi cuma-cuma. Kalau sudah kepepet, piring, gelas, sandal atau apapun dijualnya. Tapi untuk apa orang membeli benda-benda yang mungkin tak mereka perlukan. Maka biasanya mereka mengulurkan uang apa adanya untuk membantu biaya sekolah anaknya.

Sampai pada suatu hari, ia kebingungan dengan  biaya praktek lapang anaknya yang sulung. Calon lulusan SMK. Bila sedang libur, anak ini nyambi jualan roti. Harapan orang tuanya, sekolah agak tinggi agar bisa membantu orang tua kalau sudah lulus nanti. Tapi sekolah ini juga tak murah. Biaya prakteknya saja sering membuat pusing tujuh keliling. Belum lagi ujian kelulusannya, yang lebih sangat memberatkan. Sekalipun si Sulung ini masuk sekolah karena kecerdasan otaknya, namun jangan harap gratis benar-benar gratisan. Praktek lapang pun harus mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, sepatu pantofel. Mulai dari pinjam sana-sini hingga berburu barang loakan murah pun dilakoni.

Terus terang, saat ini saya sedang tak sanggup membantu. Sisa-sisa uang belanja, dan simpanan pun tak cukup melunasi tunggakan sekolah anaknya.

”Saya darah tinggi sekarang.” kata ibu ini mengeluh. Saya hanya menyampaikan kata sabar. Agar ia tetap meyakini, Allah SWT selalu memberi balasan terhadap ujian yang kita lalui dengan kesabaran.

Setelah mengulurkan sekedarnya sisa honor mengajar part time, saya pun angkat bicara kepada ibu itu.

”Saya juga ikut pening memikirkan ibu yang pusing mengurusi sekolah anak. Anak saya sendiri sudah tidak saya sekolahkan formal. Seorang yang akan lulus SD, insya Allah akan saya ajari langsung. Mereka menggunakan sistem belajar di rumah untuk mengejar pengetahuan sekolah formal. Ujian dengan kesetaraan. Yang penting mereka berilmu, ilmu mereka bermanfaat dan berdaya guna, serta diakui dalam memimpin masyarakat menemukan jalan keluar setiap masalah.” kata saya menjelaskan dengan hati-hati.

Ibu itu sepertinya kurang paham dengan konsep homeschooling. Sama seperti para ibu di komplek perumahana tempat saya tinggal, yang mengatakan bahwa metode homeschooling hanya bisa dijalankan oleh mereka yang mengerti betul dunia pendidikan dan berkecimpung langsung di dalamnya. Bagi masyarakat awam, solusinya hanya sekolah formal atau tidak sekolah. Walhasil, orang tua hidup membanting tulang hanya untuk pendidikan yang sebagian besar sudah dikomersialkan.

”Pernah nggak ibu memikirkan, kalau si Pipit naik kelas di SMP dan selalu juara. Lantas masuk SMAnya gampang, apakah tetap tidak memikirkan biaya? Nanti kalau lulus SMA, apakah menjamin si Pipit bisa mandiri dan hidup mapan? Belum lagi Si Puput, trus si Putra, dan adik-adiknya? Apakah pendidikan mereka menjamin masa depan yang baik secara pasti? Coba lihat si Pipit. Bagaimana pengaruh teman-temannya ke gaya hidupnya. Gaya berpakaian, obrolan soal HP, dan lain-lain pengaruh yang kurang baik.” Mendengar rentetan kalimat saya yang panjang lebar, sang Ibu manggut-manggut.

Ia mengakui, kadang-kadang Pipit suka terpengaruh teman-temannya. Malu karena kemiskinan membuatnya berbeda dari teman-temannya. Maklum sekolah RSBI, mayoritas diisi kaum berduit. Si Pipit termasuk golongan 20% yang katanya sudah dapat banyak subsidi.

Tapi walau subsidi, ortu si Pipit tetap harus membanting tulang hari demi hari untuk membayar biaya anaknya. Bagian dari ibadah, katanya. Termasuk membatasi tak makan nasi dalam sehari. Bukan diet, tapi agar jatah raskin yang 15 liter bisa cukup untuk sebulan.

”Saya makin pusing dengan kata-kata Eneng. Kalau Eneng sih memang pintar ngajar anak-anak. Tapi kalau saya nggak mungkin. Nggak bakalan sanggup. Gimana kalau anak-anak saya Eneng aja yang ngajar. Saya bakalan seneng banget dan syukur banget. Anak saya diterima di sini.” Ibu ini membujuk saya, karena ia tahu kalau suami saya, seorang Ustadz adalah Pimpinan Pesantren Media.

Kini saya yang pusing. Solusi masalah yang sudah menjadi penyakit sistemik negeri ini memang tidak lantas kemudian saya yang mengajar anak-anak para ibu yang kebingungan. Anak-anak seperti ini jumlah ”bejibun”. Begitu istilah orang Jakarta. Saya pun menjelaskan bahwa untuk saat ini belum bisa. Apalagi Pesantren Media menyeleksi setiap siswanya. Seleksinya se-Indonesia, dan tidak setiap anak, mampu bergabung. Harus betul-betul yang berminat di bidang media. Saya lihat, si Pipit tidak tampak berminat di bidang ini.

Yah, akhirnya Ibu itu pun pulang dengan pasrah dan berharap ada jalan lain mengatasi tunggakan anaknya.

Hari ini saya benar-benar jengkel. Jengkel sekali! Bukan kepada ibu ini, tapi kepada sistem pendidikan di negeri ini. Masalahnya tidak satu dua para ibu yang mengeluh kepada saya, khususnya dalam masalah biaya pendidikan.

Belum lama ini, seorang ibu lain yang memaksa agar saya meminjamkan uang belanjaan seminggu untuk menalangi tunggakan uang ujian anaknya. Ia seorang janda. Siapa yang tidak kasihan. Tapi tidaklah mungkin bagi saya, meminjamkan uang belanjaan rumah tangga tanpa seijin suami.

”Pasti nanti sore saya balikin,” katanya meyakinkan. Tapi saya menggeleng. Karena yang kemarin-kemarin pun semuanya bernada pasti, tetapi tak pernah dipenuhinya janji. Saya mengerti kesulitan-kesulitannya, sehingga memang tidak pernah menagih. Tapi untuk kali ini, karena kocek pribadi sedang kosong, maka benar-benar saya tak mampu membantu. Uang belanjaan ”Dalam Negeri” Pesantren Media adalah amanah orang yang tak bisa serampangan digunakan.

Menyedihkan. Sungguh menyedihkan.  Betapa sistem pendidikan saat ini memang sangat menyiksa rakyat miskin. Saya pribadi sudah jauh dari percaya, bahwa sistem pendidikan di negeri kita ini bisa mencerdaskan bangsa. Menguras tabungan, iya. Tapi mencerdaskan, wah jauh panggang dari api.

Kemasan istilahnya saja yang serba wah. Seperti SBI (Sekolah Berstandar Internasional) atau RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Apakah kualitasnya lebih baik dari lulusan sebelumnya? Kenyataannya tidak.

Belum lagi pendidikan kita yang hanya memperhatikan aspek kognitif saja. Sementara aspek karakter, sikap dan perilakunya ternyata nol. Buktinya pergaulan bebas makin marak,narkoba merajalela, korupsi gila-gilaan banyak dilakukan para pegawai negeri dan pejabat usia muda, suap menyuap  adalah hal biasa. Yang lebih parah lagi, korupsi dan manipulasi anggaran tertinggi terjadi pada Departemen Pendidikan dan Departemen Agama.

Pendidikan sekarang tidak lagi menjadi harapan rakyat miskin. Alih-alih cerdas dan keluar dari persoalan. Yang terjadi malah hidup makin sengsara dan terbelit banyak masalah.

Yah, pendidikan kita memang menyengsarakan si miskin. Pendidikan Islam satu-satunya harapan. Tapi tak mudah, bila pondasi negeri ini masih sekuler dengan pelaksanaan yang kapitalistik. Untuk itu seluruh komponen umat memang harus bergerak bersama. Terapkan syariat dan tegakkan sistem yang mengayomi semua lapisan masyarakat. Khilafah Islamiyah solusinya.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *