Pelajaran Membaca Fakta dan COVID19

Membaca fakta ternyata bukan pekerjaan sederhana. Oya di Pesantren Media, saya mengajar pelajaran membaca fakta. Sekedar fakta terindra itu level pelajaran sederhana. Namun bila sudah terkait apakah berita yang kita terima itu fakta atau opini, maka penjelasannya akan meningkat lebih sulit. Apalagi jika sudah berbicara mengenai perspektif dalam memandang fakta, mulai spesifik. Tambah rumit lagi kalau menyangkut konspirasi. Yah begitulah.

Tapi kali ini, saya ingin menceritakan tentang kisah saya di tempat yang lain. Di antara salah satu kesibukan saya adalah ikut mengajar di Sekolah tahfizh Al Qur’an. Ini sekolah milik teman saya. Sebenarnya dia Saintis. Beberapa penemuannya akan dipatenkan. Namun hebatnya, ia juga mendedikasikan dirinya untuk mencetak para penghafal Al Qur’an. Untuk itulah ia membuat sebuah sekolah tahfizh Al Qur’an sebagai sebuah pengabdian. Bukan sekolah tahfizh biasa, karena kurikulum penunjangnya adalah sains. Selain mempelajari Al Qur’an sebagai program utama, para santri juga diajari ilmu sains sebagai penunjang. Akan memudahkan bila mereka ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi di bidang sains. Setidaknya membekali dengan ilmu sains dasar akan membantu untuk lebih memperdalam kemampuan berpikir.

Di sekolah tahfizh ini, saya juga terkadang mengajarkan teknik membaca fakta.
Namun masih terkait dengan pembacaan fakta –dan ini termasuk pelajaran tingkat tinggi tapi saya belum dikatakan ahli–, adalah fakta-fakta yang tak terlihat. Ini disebut ghaib.

Ada tapi tampak tak ada. Tak bisa diukur dan ditimbang secara sains. Bahkan cara berpikir saintis memandangnya sebagai khayali. Wajar, karena memang tidak bisa sekedar dilihat dengan mata dan telinga biasa. Melihatnya harus dengan Mata Hati (Bashar). Yang bisa melihatnya dengan sangat jelas, biasanya mereka yang sudah diberi karunia hikmah. Mereka ini disebut Ulama. Mereka ini bisa menyampaikan kepada kita, bagaimana Para Nabi dan Rasul dalam memandang masalah. Itulah sebabnya mereka disebut Waratsatul Anbiyaa wal Mursalin. Pewaris ilmu para Nabi dan Rasul.

Kembali kepada pengalaman pembacaan fakta. Banyak hal yang luar biasa bila kita berada di dekat para penghafal Al Qur’an.
Suatu kali sekolah tahfizh Al Qur’an akan menyelenggarakan ujian. Ujian awal biasanya adalah tasmi’. Para santri menyetorkan hafalannya kepada Ustadz/Ustadzah Tahfizh. Ujian rutin biasanya satu juz, dua juz, tiga juz hingga lima juz. Setelah tasmi’, ada ujian di hadapan Al Ustadz Al Hafizh. Biasanya ini yang bikin tegang santri, karena mereka diuji di sebuah forum yang dihadiri semua santri dan undangan. Untuk itu persiapan ujian, membuat suasana jadi cukup serius.

Hari-hari menjelang ujian, para santri mengulang hafalan masing-masing. Ada yang mengambil posisi di kelas, di teras, di halaman atau di taman.

Di dekat sekolah kami, ada semacam istal. Tempat pemeliharaan kuda-kuda tunggangan. Kuda-kuda yang bagus dan mahal karena dirawat secara khusus. Tak jarang ada kuda ditambatkan di halaman berumput yang ada di beberapa lokasi pemukiman. Di sebelah ruang kelas sekolah kami, ada halaman kosong berumput. Saat itu petugas pemelihara kuda, menambatkan seekor kuda di sana. Kuda berwarna coklat tua dengan surai yang panjang itu memakan rumput dengan tenang.

Tiba-tiba anak-anak santri keluar dari kelas dan mengambil posisi masing-masing untuk menghafal. Beberapa orang duduk di depan kelas, kemudian mulai mengulang hafalannya dengan suara yang jelas. Ini adalah momen yang menentramkan bagi saya. Bacaan Al Qur’an, yang walaupun tidak sama halamannya, menimbulkan lantunan irama yang khas. Tak terlihat oleh mata, namun ada gelombang frekuensi yang bisa dirasakan oleh sel-sel tubuh kita. Saya merasakan dalam radius tertentu, gelombang suara ini memberikan pengaruh.

Tiba-tiba kuda meringkik keras. Hewan ini mengangkat tinggi kedua kakinya dan terus meringkik. Ia menimbulkan kegaduhan dengan ringkikannya yang kuat.

Beberapa anak terdiam memandang kuda itu, namun yang lain tak peduli dan masih tenggelam dalam bacaannya. Bacaan Al Qur’an sepertinya lebih kuat menariknya daripada urusan kuda. Anak-anak yang awalnya memandang kuda, kembali kepada bacaannya. Suara lantunan Al Qur’an yang dibaca tartil seperti dengungan lebah dengan frekuensi tertentu. Saya merasakan kembali gelombang itu. Suasana yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

Kuda semakin ribut. Seperti melompat-lompat. Ringkikannya menimbulkan kegaduhan. Petugas istal datang. Anak-anak terdiam melihat kesibukannya. Petugas menenangkan kuda, melepaskan tambatan dan membawanya pergi menuju istal.

Saya bertanya kepada para santri, tahukah kalian apa yang terjadi dengan kuda? Mereka menggeleng.

Saya pun menceritakan kisah Usaid Bin Hudhair, Sahabat Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang senang membaca Al Qur’an. Suatu kali Beliau membaca Al Qur’an ketika berada di kandang kuda. Saat Beliau tenggelam dalam keasyikan membaca, tiba-tiba kudanya meringkik dan melompat-lompat mengangkat kaki depannya. Usaid berhenti, dan kudanya tenang. Kemudian Usaid membaca lagi, kuda pun meringkit dan melompat-lompat dengan gaduh hingga hampir menginjak Yahya, anaknya yang sedang tidur di dekatnya. Usaid pun berhenti membaca Al Qur’an karena khawatir kuda akan ribut lagi dan menginjak Yahya.

Keesokan harinya Usaid bin Hudhair menceritakan pengalamannya kepada Rasulullah Shollallaahu alaihi wa sallam. Rasulullah Rasulullah Shollallaahu alaihi wa sallam menyampaikan bahwa kudanya meronta-ronta karena melihat malaikat. Saat itu malaikat-malaikat turun ke bumi untuk mendengarkan suara Usaid melantunkan Al Qur’an.

Dari apa yang disampaikan Rasulullah Shollallaahu alaihi wa sallam ini kita bisa mengetahui bahwa malaikat sangat suka mendengar suara Al Qur’an dilantunkan. Untuk itu bila ada yang membaca Al Qur’an dengan baik, maka malaikat-malaikat mendekat. Sedangkan kuda adalah hewan yang bisa melihat malaikat
.
Para santri manggut-manggut, seperti mendapat jawaban mengapa sejak mereka membaca Al Qur’an, kuda yang tertambat di halaman sebelah meringkik dan meronta-ronta.

Adakah fakta ini kasat mata? Ya tentu, karena ada para santri yang membaca Al Qur’an dan kenyataan bahwa kuda di dekat mereka meronta-ronta.

Namun apakah keberadaan malaikat yang datang bisa diterima saintis? Tentu tidak. Cara berpikir saintis tidak bisa menjangkau adanya malaikat. Tidak ada parameter secara sains.

Lantas bagaimana kita bisa percaya adanya malaikat-malaikat yang mendengarkan bacaan Al Qur’an?
Ini karena penerimaan kita terhadap Hadits Rasulullah Shollallaahu alaihi wa sallam melalui riwayat Usaid bin Hudhair ra. Penerimaan yang utuh terhadap apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah Shollallaahu alaihi wa sallam adalah benar adanya.

Ngomong-ngomong soal Covid19.
Bagaimana sains bisa menjelaskan bahwa penjagaan yang sempurna untuk menghadapi Covid 19 adalah dengan membaca Al Qur’an? Bagaimana sains bisa menerima bahwa orang-orang yang berzikir pagi dan petang, telah memiliki imun dari Rabbnya terhadap serangan penyakit-penyakit berbahaya?
Bagaimana sains bisa mengukur bahwa sholat shubuh berjama’ah memiliki daya tangkal yang sangat kuat untuk melindungi seseorang?
Bagaimana sains bisa menjelaskan bahwa bersedekah di pagi hari itu bisa mencegah dari musibah?

Tentu banyak ikhtiar yang bisa dilakukan seperti menjaga higienitas tubuh dan lingkungan, menggunakan masker, sebisa mungkin stay at home dan physical distancing, mengonsumsi madu dan habbatussaudah dan lain-lain. Ini adalah cara sederhana yang minimal setiap orang harus mengupayakannya saat ini. Namun percayalah, tak ada penjagaan yang sempurna selain Kalamullah, Al Qur’anul Kariim.

Dalam perspekstif sains, bisa jadi tak ada imunitas yang lebih hebat daripada vaksin untuk menangkal Covid19. Untuk itulah vaksin tetap menjadi solusi. Begitulah.

Jadi, tentu kembali kepada masing-masing, karena saat ini belum ada system yang menerapkan Islam sebagai aturan seluruh aspek kehidupan kita.

Namun saya sangat respek pada kawan saya, pemilik sekolah ini. Ia seorang saintis tapi sangat mencintai para penghafal Al Qur’an. Ia akan menanggalkan ilmu sainsnya bila sudah berhadapan dengan Al Qur’an dan Hadits. Kalau Al Qur’an dan Hadits sudah bicara, maka itulah kebenaran yang tertinggi. Ma syaa Allah. Laa haula wa laa quwwata illa billaah.

✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨
Amanar-rasulu bima unzila ilayhi min rabbihi wal-muminun.
Kullun amana billahi wa mala ikatihi wa kutubihi wa rusulih
Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian juga orang-orang yang beriman.
Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.

Bogor, 29 Mei 2020
Lathifah Musa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *