Situasi pandemi, mengingatkan saya pada seorang sahabat besar bernama Abu Ubaidah bin Al Jarrah ra. Beliau adalah salah satu shahabat yang membuat saya sering mengingat kisahnya, kebesaran namanya dan akhir kehidupannya untuk menemui Allah Azza wa Jalla. Kehidupan Beliau berakhir dalam kondisi wabah besar di Amawas.
Mengenang Abu Ubaidah ra, adalah mengenang pilihan jalan taqdir beliau, yang boleh saya katakan sempurna. Itulah sebabnya, Amirul Mukminin Umar bin khaththab ra ketika hendak menghembuskan nafas terakhirnya mengatakan, Seandainya Abu Ubaidah ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara orang-orang yang akan aku angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu, tentulah akan saya jawab: Saya angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan RasulNya.
Abu Ubaidah ra, di masa Rasulullah Shollallaahu alaihi wa sallam, dikenal sebagai orang kepercayaan. Beliau memikul semua tangguh jawab dengan sikap amanah. Beliau membawa langkahnya mengikuti panji-panji Islam, dalam jihad fii sabiilillah. Tak ada bedanya, ketika sebagai prajurit dengan keutamaan dan keberaniannya melebihi seorang amir dan panglima, dan ketika menjadi panglima dengan keikhlasan dan kerendahan hatinya yang tidak lebih dari seorang prajurit biasa.
Abu Ubaidah bin Al Jarrah ra adalah Panglima Besar Islam di wilayah Syam. Di bawah kepemimpinannya, bernaung sebagian besar tentara Islam, baik dalam luasnya wilayah, maupun dalam perbekalan dan jumlah bilangan. Selain itu, Abu Ubaidah ra juga adalah seorang wali negeri (Gubernur) di Syam yang semua kehendaknya berlaku dan perintahnya ditaati.
Dari sini, bisakah kita memahami pilihan jalan taqdir Beliau ketika terjadi wabah di Amawas, salah satu daerah di Syam?
Bila demikian, tidaklah bisa kita memperdebatkan antara pilihan jalan taqdir Amirul Muminin Umar bin Khaththab ra dengan jalan taqdir Panglima Besar Wilayah Syam, Abu Ubaidah bin Al Jarrah ra.
Pilihan Abu Ubaidah ra adalah pilihan yang terbaik, dalam posisi beliau sebagai pemimpin di wilayah yang terkena wabah. Beliau tetap bersama pasukannya, rakyatnya hingga ajal menjemputnya. Beliau tidak akan mungkin meninggalkan Syam.
Dalam sebuah riwayat disampaikan bahwa Abu Ubaidah ra telah merindukan perjumpaan dengan Sang Pemiliknya, Allah Subhanahu wa Taala. Apalagi junjungannya, kekasihnya, tambatan hatinya telah wafat mendahuluinya, yakni Rasulullah Shollallaahu alaihi wa sallam. Sehingga beliau berharap Allah Ta’ala memanggilnya saat itu. Wallahu a’lam.
Demikian pula, pilihan Amirul Muminin Umar Bin Khaththab untuk tidak memasuki Syam, adalah pilihan terbaik, sebagaimana petunjuk dalam Hadits Rasulullah Shollallaahu alaihi wa Sallam, untuk tidak memasuki daerah yang terkena wabah. Kebijakan ini selayaknya diikuti oleh setiap pemimpin yang salah satu daerahnya terkena wabah. Daerah wabah harus diisolasi. Istilahnya sekarang Lock Down.
Wabah itu sendiri sifatnya dengan sangat cepat menjalar dan menyambar. Tidak ada asumsi dan dugaan karena semua terlihat kasat mata. Wabah di Amawas telah menyebabkan kematian sekitar 124.000 orang.
Dengan demikian, belum dikatakan wabah bila, hanya disebut satu dua orang di sebuah daerah terinfeksi. Atau meninggal karena penyakit tertentu. Sama saja bila selama ini terjadi kejadian luar biasa untuk penyakit Demam Berdarah, Thypus atau Muntaber. Ada prosedur penanganan tertentu, namun tidak sampai melockdown sebuah kota.
Inilah sebabnya banyak kejanggalan pada kasus pandemi di Indonesia kali ini. Begitu banyak opini dan tidak sedikit yang hoaks.
Setidaknya kita bisa belajar dari kisah shahabat besar, dalam menyikapi isu corona. Pilihlah jalan taqdir yang terbaik di hadapan kita. Tidak ada yang salah pada Shahabat Abu Ubaidah bin Al Jarrah ra. Itu adalah pilihan yang terbaik. Demikian pula, sungguh tepat pilihan Amirul Muminin Umar bin Khaththab ra.
Tinggallah diri kita sendiri dalam menghadapi isu corona. Perlu penelaahan terhadap berita-berita yang simpang siur. Saya bukanlah ahli dalam urusan berita. Tentu suami saya lebih ahli ( 🤫Sstt.. jangan bilang-bilang ya..). Tapi saya ingin berbagi, khususnya kepada para ibu rumah tangga, dalam hal membaca berita. In syaa Allah dalam tulisan berikutnya nanti.
Adapun tulisan ini, untuk mengenang sahabat besar Abu Ubaidah bin Al Jarrah ra.
Termasuk untuk mengkaunter komentar yang menyatakan bahwa: “Janganlah naif dengan hanya mengandalkan berzikir dan membaca Al Quran, lantas kita terbebas dari Covid19. Kurang bagaimana coba, berzikirnya Abu Ubaidah. Kurang bagaimana coba, hafalan Al Qurannya Abu Ubaidah, khusyunya sholat Abu Ubaidah, tetap saja terkena wabah.”
Saya mengeluhkan komentar ini kepada seorang Ulama, yang saya kenal keutamaannya. Beliau menjawab,
Tidak ada kaitannya pembahasan ikhtiar dengan taqdir. Allah Taala memberikan kemuliaan kepada Abu Ubaidah ra dan orang-orang beriman yang meninggal dalam wabah saat itu. Mereka mendapatkan pahala syahid. Ini adalah bentuk kemurahan hati Allah Taala untuk umat Islam. Sementara, sholat shubuh berjamaah, berzikir, bersedekah, membaca Al Quran, menegakkan qiyamullail adalah perintah Allah Taala. Ini adalah jaminan Allah Taala untuk menjaga orang-orang beriman yang mengamalkannya.
Jawaban ini memuaskan akal dan menenangkan jiwa. Hingga memampukan saya membuat tulisan ini.
Demikianlah Islam. Tentu kita memiliki ikhtiar yang juga menjadi bagian dari adab Islami, seperti pola hidup higienis, menjaga wudhu, mengenakan masker bila keluar rumah, mengisolasi diri bila merasa tidak sehat, tidak berkerumun untuk hal-hal yang tak perlu, dan berbagai pola hidup Islami yang menyangkut makan dan istirahat khususnya. Ini adalah pola hidup yang baik. Ada tuntunannya dalam Islam.
Namun yang paling utama adalah menguatkan ketergantungan kita hanya kepada Allah Taala saja. Hal ini dilakukan dengan menjalankan apa yang diperintahkanNya, secara khusus dalam hal beribadah sebagaimana penjelasan para Ulama.
InnaAllaaha maa naa. Laa haula wa laa Quwwata Illa Billaah.
Bogor, 27 Mei 2020
Lathifah Musa