Mahdiah, S.Pd (Pemerhati Sosial)
Selain dikenal sebagai kota baja, Cilegon juga dijuluki sebagai kota santri. Namun sayang akhir-akhir ini masyarakat dibuat miris, prihatin, sedih, bahkan ketakutan. Sebab ternyata kota ini terpapar penyakit menular. Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) tumbuh subur mengancam seluruh lapisan masyarakat.Tidak peduli apakah laki-laki atau perempuan, orang tua atau anak-anak, pejabat atau masyarakat biasa, bahkan ibu rumah tangga sekalipun bisa terjangkiti.
Dilansir dari Topmedia.co.id (24/08/2019),Berdasarkan data yang ada di Dinkes kota Cilegon, sejak tahun 2005 hingga Juli 2019, tercatat jumlah kasus HIV/AIDS di kota Cilegon sudah mencapai angka 804 penderita. Merujuk pada angka tersebut, terjadi peningkatan sekitar 70 hingga 80 kasus baru setiap tahunnya.
Kabar-banten.com (16/08/2019), Catatan lain Dinkes kota Cilegon, 234 dari 804 Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) meninggal dunia karena penyakit penyerta. Dari 804 ODHA itu pun, 451 orang HIV dan 353 sudah terkena AIDS.
Angka yang muncul tersebut (baca:jumlah penderita HIV/AIDS) boleh jadi lebih sedikit dari yang sebenarnya, ibarat gunung es. Ini senada dengan yang dinyatakan oleh Menkes Nila Moeloek, “HIV ini fenomena gunung es, yang ditemukan hanya sebagian, dasarnya lebih banyak. Kita harus menemukan penderita HIV untuk bisa diobati.”
Upaya Pemerintah dalam Menanggulangi HIV/AIDS
Permasalahan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV/AIDS sejatinya bukanlah hal yang baru, baik di kota Cilegon maupun kota-kota lain di Indonesia. Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh banyak LSM dan pemerintah baik daerah maupun pusat dalam memberantas HIV/AIDS. Pemerintah daerah misalnya yang mengklaim sudah melakukan upaya edukasi tentang HIV/AIDS terhadap semua elemen masyarakat, khususnya pada para tenaga pengajar dan perangkat yayasan. Dengan demikian, diharapkan para tenaga pengajar tersebut mampu kembali mengedukasi para pelajar tentang bahaya HIV/AIDS sehingga tidak melakukan tindakan yang beresiko tertular HIV/AIDS.
Dinkes kota Cilegon juga telah mensosialisasikan layanan Voluntary Counseling And Testing (VCT). Layanan ini sebagai pemeriksaan HIV/AIDS dan mencegah penularan terhadap orang lain serta mendapat pengobatan yang tepat sehingga tidak sampai menimbulkan kematian. Itu baru upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Upaya dan terobosan yang dilakukan pemerintah pusat dalam menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia harus diakui telah banyak dan beragam. Yang terbaru, tahun 2018. Pemerintah mengeluarkan terobosan strategi Test and Treat yaitu ODHA dapat segera memulai terapi Antiretroviral (ARV) begitu terdiagnosis mengidap HIV.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut sama sekali tidak menurunkan angka penderita HIV/AIDS justru dari tahun ke tahun jumlah penderita virus mematikan semakin meningkat. Kenapa hal ini bisa terjadi? Bukankah telah banyak upaya yang dilakukan?
Akar masalah munculnya HIV/AIDS
Upaya yang dilakukan pemerintah hanya sebatas mengobati. Karena memandang persoalan HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan (medis) semata. Sehingga wajar jika upaya yang dilakukan hanya sebatas mengobati yang nampak di permukaan. Benar, HIV/AIDS adalah masalah kesehatan yang perlu diobati, namun tidak mengaitkan dengan prilaku/gaya hidup adalah kesalahan yang besar. Sebab akar permasalahan ini diakibatkan dari gaya hidup serba bebas yang jauh dari nilai-nilai Islam. Gaya hidup yang datang dari Barat seperti free sex/pergaulan bebas, penyimpangan orientasi seksual yang dilakukan para pelaku lesbi, gay, biseksual, transgender, penyalahgunaan narkoba, maraknya pornografi dan pornoaksi merupakan penyumbang besar atas menjamurnya HIV/AIDS. Terbukti penderita HIV/AIDS didominasi oleh LGBT. Selama keberadaan mereka ditolerir dengan dalih Hak Asasi Manusia (HAM) maka selama itu pula virus mematikan bernama HIV/AIDS akan terus eksis.
Syari’ah Islam, solusi komprehensif HIV/AIDS
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah, fix seluruhnya tidak ada yang sampai menyentuh ke akar permasalahan. Padahal sangat jelas bahwa akar dari permasalahan HIV/AIDS adalah gaya hidup serba bebas yang menyimpang dari Islam. Gaya hidup seperti ini lahir dari rahim sistem demokrasi Neoliberal. Sistem ini pula yang merawat dan memelihara keberadaan gaya hidup serba bebas tersebut, termasuk para pelaku LGBT yang senantiasa nyaman berada di ketiak sistem demokrasi Neoliberal. Tentu saja hal tersebut sangat bertentangan dengan Islam. Free sex, LGBT, pornoaksi dan pornografi semuanya merupakan perilaku sampah, kotor, hina, menjijikan, tercela dan terkategori sebagai Al-jarimah (tindakan kriminal) yang layak dan wajib mendapatkan sanksi tegas dari pemerintah.
Islam juga memiliki strategi berlapis untuk mengatasi masalah penyebaran penyakit HIV/AIDS. Bahkan strategi ini sekaligus sebagai pencegah munculnya penyakit menular tersebut. Strategi ini telah terbukti mampu menjadikan masyarakat sebagai masyarakat beradab, dengan peradaban paling gemilang. Strategi ini pernah diterapkan berabad-abad lamanya dalam naungan negara Islam. Gambaran strategi yang diterapkan sebagai berikut:
Pertama, Islam memberikan aturan kepada laki-laki dan wanita agar menundukan pandangan (ghaddul bashor) terutama saat bertemu dengan lawan jenis yang bukan mahromnya. Sebab pandangan mata terhadap lawan jenis ibarat “panah setan” yang bisa menggoyahkan seseorang.
Kedua, memberlakukan kewajiban menutup aurat baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan ditutupinya aurat, nafsu akan lebih terkendali sebab “pemandangan” yang dapat menggoda telah tertutupi.
Ketiga, memberlakukan larangan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan wanita), khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan wanita) kecuali ada hajat syar’iyah yang membolehkannya, dan larangan pacaran. Islam telah memberi ketentuan agar kehidupan laki-laki dan perempuan harus terpisah, baik di tempat khusus maupun di tempat umum.
Keempat, Islam memberlakukan larangan pornografi dan pornoaksi. Pornografi dan pornoaksi yang marak dijumpai baik di televisi, koran, majalah, baliho, dan media sosial dapat membangkitkan naluri seksual dan memberi jalan pada perzinaan. Oleh sebab itu harus dilarang tanpa kecuali.
Kelima, menerapkan sistem pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk pola pikir dan pola sikap yang Islami. Dengan demikian diharapkan para pelajar memiliki kesadaran untuk selalu terikat dengan hukum syariat. Dan membuang jauh gaya hidup yang bertentangan dengan Islam.
Keenam, menerapkan/menegakkan sistem hukum dan sistem persangsian Islam untuk memberantas perilaku beresiko penyebab penyebaran HIV/AIDS (seks bebas, perilaku seks menyimpang, LGBT, dan sebagainya). Sistem persangsian yang ditegakkan dapat menimbulkan efek jera. Terhadap pelaku zina misalnya, diberlakukan hukum rajam sampai mati dan cambuk seratus kali. Pelaku lesbi disanksi dengan hukum ta’zir (jenis hukuman diserahkan kepada qadhi, bisa cambuk, penjara, dll). Para pelaku homoseksual disanksi dengan hukuman mati. Sesuai dengan sabda Nabi Salallahu ‘alaihi wasalam,
“Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya.” (HR Al-khamsah, kecuali an-Nasa’ i).
Demikianlah strategi berlapis yang diberlakukan dalam pandangan Islam yang menjamin mencegah munculnya penyakit mematikan (HIV/AIDS). Dan bagi penderita HIV/AIDS maka penanganannya dengan mengarantina agar tidak menular kepada yang lain. Negara akan menjamin pasien mendapatkan layanan pengobatan terbaik dan tentu saja gratis. Sebab dalam Islam urusan kesehatan adalah hak warga negara. Negara pun akan mendorong tenaga medis atau pun warga negaranya untuk berkontribusi melakukan riset-riset dalam rangka menanggulangi virus mematikan ini. Serta mendanai dan memfasilitasi riset, misalnya membangun gedung laboratorium dan menyiapkan alat-alatnya secara lengkap.
HIV/AIDS jelas merupakan penyakit yang membahayakan dan mengancam bukan hanya bagi kesehatan, namun juga mengancam eksistensi kehidupan umat manusia. Ini menjadi perkara serius yang membutuhkan penanganan yang serius pula. Dan yang mampu menangani masalah ini adalah diterapkannya syariat Islam secara kafah dalam institusi negara.[]
Wallahu’alam bishowab…