Ummu Imarah, atau Nusaibah bin Kaab bin Amru, adalah sosok wanita muslimah yang berasal dari kaum Anshar, khususnya suku Khazraj. Beliau layak dijuluki sebagai aktivis politik paling militan dari kalangan wanita di masa Rasulullah SAW. Terekam dalam sejarah, beliau termasuk salah seorang yang tidak pernah absen dalam setiap aktivitas perpolitikan di masanya Rasulullah SAW. Suaminya bernama Zaid dan ia dikaruniai 2 orang putra yang bernama Abdullah dan Habib.
Keterlibatan Ummu Imarah dalam Baiat Aqabah II
Biaat Aqabah II terjadi sekitar tahun 633 Masehi. Peristiwa ini berlangsung malam hari dan dihadiri oleh 75 orang kaum Anshar yang terdiri dari 73 orang laki-laki dari kalangan pemimpin suku dan 2 orang perempuan. 1 dari 2 orang perempuan tersebut ialah Ummu Imarah.
Baiat Aqabah II dikenal sebagai baiatul harbi atau baiat perang, yang mana 75 orang yang terlibat dalam baiat tersebut bersumpah akan menyerahkan jiwa, harta, keluarga, istri dan anak-anaknya kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka berbaiat akan selalu mengutamakan Rasulullah SAW dalam kondisi apa pun. Selain dikenal sebagai baiatul harbi, peristiwa Baiat Aqabah II ini pula dikenal sebagai baiat penyerahan kekuasaan dari para kepala suku di Yatsrib (kelak menjadi Madinah) kepada Rasulullah SAW. Dari penyerahan kekuasaan tersebut, otomatis secara de jure (secara hukum) telah berdiri benih negara Islam pertama di Madinah.
Paska peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah SAW membagi 75 orang tersebut ke dalam 12 kelompok dan meminta mereka untuk memilih 1 orang pemimpin di tiap-tiap kelompok. Rasulullah SAW menyerahkan urusan antar mereka kepada 12 orang tersebut. Berarti saat itu Ummu Imarah sempat menjadi kandidat yang berpeluang terpilih menjadi salah satu dari 12 pimpinan yang mewakili kaum muslimin, karena Rasulullah SAW memerintahkan untuk memilih di antara 75 orang, bukan 73 orang laki-laki. Hal ini kemudian yang menjadi dasar mengenai bolehnya memilih wanita dalam majelis syura.
Setelah kembali ke Madinah, 75 orang tersebut gencar mendakwahkan Islam ke masyarakat Madinah. Tak luput, Ummu Imarah pun turut andil dalam dakwah. Beliau menyeru keluarganya, anak-anaknya, dan wanita-wanita lain untuk memeluk Islam. Semangat dakwah Ummu Imarah begitu menggebu-gebu.
Ummu Imarah dalam Perang Uhud
Ummu Imarah terkenal sebagai sosok mujahidah, pemberani, ksatria, ahli berperang, ahli medis, dan tak pernah takut dengan serangan musuh yang meyerangnya. Bahkan pada saat perang Uhud beliau benar-benar menunjukkan kesatriaannya. Beliau pergi berjihad bersama dengan suami dan 2 orang putranya.
Pada saat itu, Ummu Imarah melihat pasukan musuh mulai menerobos barisan kaum Muslimin. Pasukan memanah kaum Muslimin satu per satu lari terkocar-kacir turun dari gunung Uhud dan tak mengindahkan perintah Rasulullah SAW untuk tetap di tempat. Musuh yang dipimpin oleh Khalid bin Walid (yang saat itu belum memeluk Islam) kian mendekat, berusaha ingin menyerang mereka dan membunuh Rasululullah SAW. Namun Ummu Imarah justru berada di garda terdepan dalam melindungi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memerintahkan kepada pasukan Muslim yang mundur untuk melemparkan pedangnya kepada yang masih berperang. Dengan sigap ia gapai lemparan pedang tersebut. Ia ayun-ayunkan pedang itu kepada musuh dengan gagah berani. Ketika Rasulullah SAW memandang ke sebelah kananya, nampak seorang wanita mengayun-ayunkan pedangnya. Begitu pun ketika Rasulullah SAW memandang ke sebelah kirinya, nampak pula seorang wanita tersebut berada di sebelah kiri Rasulullah SAW dan mengayun-ayunkan pedangnya. Ummu Imarah menjadi perisai yang benar-benar menjaga keselamatan Rasulullah SAW.
Tebasan pedangnya berhasil menjatuhkan kuda musuh. Ummu Imarah dengan gagah perkasa terus mengayun-ayunkan pedangnya kepada musuh. Namun akhirnya Ummu Imarah pun terkena tebasan pedang musuh hingga ada 13 bekas luka di tubuhnya. Kesatriaannya dalam melindungi Rasulullah SAW tak tertandingi. Bahkan Rasulullah SAW hingga bersabda Kedudukan Nusaibah lebih baik dari si fulan dan si fulan. Rasulullah SAW pun mendoakannya agar menjadikan mereka semua sebagai temannya di syurga. Mendengar kabar gembira dari Rasulullah SAW, membuat Ummu Imarah sumringah dan tak memperdulikan 13 bekas tebasan luka di tubuhnya. Ia semakin bersemangat dalam membela Islam dan melindungi Rasulullah SAW.
Selain terlibat dalam perang Uhud, Ummu Imarah dan anak-anaknya pun terlibat dalam peperangan lainnya seperti perang Khaibar, perang Hunain, dan perang Yamamah di masa Abu Bakar ra.
Di masa Rasulullah SAW, pernah ada seorang yang mengaku-ngaku nabi. Ia adalah Musailamah Al kadzab. Rasulullah Saw mengutus seorang sahabat untuk menyampaikan surat Beliau kepada Musailamah Al Kadzab. Namun Musailamah memotong anggota tubuh utusan Beliau satu persatu hingga Utusan yang mulia tersebut Syahid dengan keteguhan iman yang luar biasa. Utusan mulia tersebut adalah Habib bin Zaid ra, putra dari Ummu Imarah. Ia adalah pemuda remaja yang gagah dan kuat.
Berita kematian Habib sampai ke telinga ibundanya, Ummu Imarah, dengan kesedihan yang mendalam dan berharap Rahmat serta pahala dari Allah. Ummu Imarah bertekad untuk memerangi Musailamah Al Kadzab hingga ia melihat kematian Musailamah Al Kadzab atau mati syahid sebelumnya.
Namun upaya memerangi Musailamah Al Kadzab baru terealisasi setelah Rasulullah SAW wafat. Saat itulah Abu Bakar mengutus pasukan Islam untuk memerangi Bani Hanifah yang dipimpin oleh Nabi palsu Musailamah Al kadzab. Pasukan ini dipimpin oleh Khalid bin Walid.
Terjadilah perang Yamamah (karena dilakukan di wilayah Yamamah). Lagi-lagi, Ummu Imarah menyambut seruan perang ini. Padahal saat itu usianya sudah mencapai lebih dari 60 tahun. Ummu Imarah saat itu ikut serta dalam barisan bersama Abdullah bin Zaid, putranya. Akhirnya Musailamah terbunuh di tangan Wahsyi dan Ummu Imarah sujud syukur atas kematiannya. Saking gembiranya melihat Musailamah dibunuh, ia tak menghiraukan 11 luka di tubuhnya dan 1 tangannya terputus. Maa syaa Allah.
Ummu Imarah, Sosok Muslimah Sejati
Gelar sebagai sang mujahidah tangguh rasanya sangat pantas disemakan pada dirinya. Suami dan anak-anaknya adalah mujahid sehingga keluarganya layak dikatakan sebagai keluarga mujahid. Tentunya ini semua tidak terlepas dari peran seorang istri sekaligus seorang ibu yang mampu membentuk mental mujahid pada anak-anak dan keluarganya.
Kepribadian Ummu Imarah ini hendaknya menjadi teladan bagi kita selaku muslimah untuk selalu aktif dan semangat dalam dakwah. Ketsiqahannya dalam dakwah dan tidak pernah absen dari setiap aktivitas politik di masa Rasulullah SAW, ditambah dengan kehebatannya dalam membentuk keluarga mujahid membuktikan bahwa seorang muslimah itu memiliki peran yang sangat besar dalam membangun sebuah peradaban. Pepatah mengatakan Jika kau mendidik 1 orang lak-laki, maka kau sama dengan mendidik 1 orang laki-laki. Jika kau mendidik 1 orang perempuan, maka kau sama dengan membangun sebuah generasi.
Namun disayangkan kondisi perempuan saat ini berada dalam belenggu sekulerisme, hedonisme, dan kapitalisme. Mereka yang seharusnya mulia dengan perannya sebagai ummu wa rabbatul bayt kini haruslah keluar rumah membanting tulang dengan meninggalkan tugas utamanya sebagai istri dan pendidik bagi anak-anaknya.
Jangankan untuk terlibat dalam dakwah siyasi (red: dakwah untuk mengurusi urusan ummat), untuk sekadar membuka mata atas segala kecarut-marutan yang terjadi di negeri ini saja enggan rasanya. Namun di balik itu semua, masih ada segelintir barisan emak-emak jaman now yang peduli terhadap kondisi saat ini dan berani menyuarakan Islam dengan lantang dengan tetap tidak meninggalkan tugas utamanya di rumah.
Semoga rahmat dan taufiq-Nya senantiasa menuntun kita para muslimah jaman now untuk bisa menjadi sosok aktivis, mujahidah, dan ibu para pemimpin seperti halnya Ummu Imarah dan para shahabiyah-shahabiyah lainnya. Aamiin aamiin Yaa Rabbal Aalamiin.
Wallaahu alamu bish shawwab []