Samara dalam Monogami dan Poligami Apakah Ada Bedanya? (2)

Bagian kedua

By: Lathifah Musa

Pada tulisan kedua ini, saya lebih fokus pada SAMARA. Bicara SAMARA, kita memerlukan dua syarat sebelum membahasnya. Pertama, ini berbicara tentang ukuran-ukuran yang ditetapkan Islam. Kedua, tujuan pembahasan adalah upaya meraih ukuran-ukuran tersebut.

Ukuran SAMARA yang hakiki hanya bisa dirasakan pada kehidupan khusus suami dan istri. Berarti hanya suami dan seorang istri saja. Bahkan dalam poligami. Interaksi antara suami dengan salah seorang istrinya, hanyalah milik mereka berdua. Bila suami memiliki empat istri, maka ia memiliki 4 istana yang terjaga rahasia masing-masingnya. Tidak mudah, namun itulah hebatnya seorang laki-laki sholih yang memilih berpoligami, sesuai syariat. Skala level yang tinggi bila mampu mengelola SAMARA masing-masing istana.

Dengan demikian mempelajari ukuran-ukuran keberhasilan dalam SAMARA tidak bisa dinilai dari apa yang dilihat orang lain dalam kehidupan nyata. Apalagi dari apa yang ditampakkan di media-media sosial. Tidak jarang kita terkejut dengan pasangan yang tampak serasi dan sempurna dalam penampilan di publik, tiba-tiba mereka berpisah. Walhasil, ukuran-ukuran keberhasilan ini hanyalah untuk kita upayakan semata-mata lillaahi Ta’ala.

Demikian pula ukuran keberhasilan SAMARA, kita juga tidak perlu membedakan antara aspek poligami dan monogami. Semuanya sama-sama bisa meraih target SAMARA. Demikian pula semuanya pun bisa meraih kegagalan.
Poin pertama yang penting dalam SAMARA adalah Sakinah. Apa hakikat sakinah?

Pada faktanya, sakinah adalah memberikan ketenangan. Suami mendapatkan ketenangan ketika bersama istrinya. Demikian pula istri mendapatkan ketenangan saat bersama suaminya. Tidak ada kebencian, kemarahan, kegusaran, ketidaktenangan antara suami dan istri. Kalaupun ada konflik, maka semua pihak berupaya meredamnya secara baik. Tidak ada pertengkaran serius, tidak ada saling bentak apalagi saling menganiaya. Kehidupan rumah tangga tenang dan damai. Kondisinya selalu mencapai titik stabil, walaumengarungi kehidupan sulit yang seolah bertarung dalam badai.

Sakinah tumbuh dari perasaan qona’ah dan bersyukur. Apa yang diberikan suaminya, istri harus bersyukur. Suami pun berusaha menenangkan istrinya dengan memberikan yang terbaik. Pertengkaran-pertengkaran kecil mungkin terjadi. Namun hal ini tidak akan mengancam keutuhan rumah tangga.

Bagaimana bila sakinah dalam rumah tangga tidak terwujud?
Betapa tidak mengenakkan hidup berumah tangga. Istri sering marah-marah atau mengomel karena kesal atas kekurangan suaminya, dalam pandangannya. Bila istri senang memarahi suami atas kekurangan dan kelemahannya, tentu suami enggan berlama-lama di rumah. Suami yang tidak bertanggung jawab akan pergi dari rumah dan berselingkuh dengan wanita lain di tempat kerja atau di manapun ia temui. Bila ia telah menikmati perselingkuhannya, maka pulanglah ia ke rumah menemui istrinya. Namun ketika kondisi istri tetap tidak menenangkan jiwanya, pergilah lagi ia keluar rumah untuk bersenang-senang “ngedugem” bersama wanita-wanita lain.

Bagaimana dengan suami yang baik dan bertanggung jawab? Menghadapi istri yang tidak menenangkan, bisa jadi ia akan pergi ke kantor dan tenggelam kembali dalam pekerjaannya dengan alasan lembur, atau ia menyibukkan diri dengan kegemarannya, main gadget, berolah raga, memancing, bersepeda atau naik gunung. Intinya memperbanyak kegiatan positif untuk menyelamatkan diri dari omelan istri.

Demikian pula istri, yang tidak tenang dengan keadaan suaminya. Suaminya mudah marah, ringan tangan (mudah memukul), tidak pernah puas dengan apa yang dilakukan istri serta banyak menuntut istrinya tanpa berkaca atas kekurangannya. Maka istri akan cemberut dan berwajah tidak menyenangkan. Pekerjaan rumah tangga dikerjakan apa adanya. Suka mengeluh dan ini akan semakin membuat kekacauan-kekacauan berikutnya dalam rumah tangga.

Bila demikian, sakinah akan jauh dari harapan.
Lantas bagaimana meraih sakinah? Bila sebagai istri, jadilah pribadi yang menenangkan suami. Bersyukur atas karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersabar atas kekurangan yang ada. Bila sebagai suami, bersabarlah atas kelemahan istri dan bersyukurlah atas karunia kelebihannya. Artinya, baik suami ataupun istri sama-sama berusaha menenangkan pasangannya.

Landasan kuat untuk meraih sakinah yang hakiki hanyalah dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Azza wa Jalla. Suami dan istri sama-sama mengharapkan keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mewujudkan Keluarga yang Sakinah. Inilah landasan yang terkokoh dalam mewujudkan kesakinahan keluarga.

Saya pernah memperhatikan, ada seorang suami yang memelihara kesakinahan dalam rumah tangganya dengan harta berlimpah. Kebetulan istri pun senang dengan hujan materi kekayaan. Suami meredam kemarahan istrinya dengan hadiah-hadiah berlimpah, mulai dari perhiasan, setumpuk uang, mobil mewah, apartemen, atau perjalanan ke luar negeri. Namun kesakinahan semu ini begitu rapuh. Istri tak pernah tenang karena tak pernah terpuaskan, suami pun terancam bangkrut.
Sakinah itu memang tak bisa dibeli dengan kekayaan materi.

Untuk itu hanya satu landasan kesakinahan keluarga yang tak lekang oleh waktu dan tak terbatas oleh ruang, yakni Iman, ketaqwaan dan kecintaan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *