By: Lathifah Musa
Pembahasan tentang kisah Asma binti Abu Bakar ra, dengan sejarah kehidupan yang luar biasa bagi seorang muslimah, akhir-akhir ini juga menyelipkan pertanyaan, benarkah Asma akhirnya bercerai dari Zubair Bin Awwam ra. Dalam kisah tersebut konon terselip alasan bahwa hal ini terjadi karena Zubair menikahi Atikah Binti Zaid ra dan lebih cenderung memperhatikan istri keduanya.
Sesungguhnya fragmen yang terselip ini tidaklah terlalu penting untuk dipersoalkan dalam sejarah besar kehidupan mereka masing-masing. Namun era kita sekarang memang dunia infotaintmen. Orang-orang terkenal dipersoalkan kehidupan pribadinya. Setiap orang bisa mendiskusikan dan menganalisis persoalan pribadi orang lain dan membuat kesimpulannya sendiri.
Tambahan lagi, kehidupan kapitalistik, hedonis dan sekularis telah memberikan kerangka pembahasan yang sangat jauh dari cara pandang Islam.
Sangat menyedihkan bila kisah perceraian Asma (sekiranya memang benar) dihadirkan dalam dunia yang sarat ghibah dan fitnah ini. Tentu media sekuler akan membahas poligami yang dilakukan Zubair sebagai pilihan yang salah, ketidaksetiaan seorang pahlawan perang, kesetiaan istri pertama yang ternoda, perjuangan membesarkan anak-anak hebat yang seolah tidak dihargai, dan tentunya keberadaan istri kedua yang telah merebut suami orang.
Astaghfirullaahal adzhiim. Naudzubillaahi min dzalik. Sungguh rendahnya kehidupan sekular (membuang agama dari kehidupan) dan menderitanya mereka yang mengambil cara hidup ini.
Dalam kehidupan, kenyataannya kita tak bisa memilih taqdir. Membahas kisah-kisah shahabiyah, sebenarnya bagaikan mempelajari bagaimana kita harus mengambil sikap pada saat taqdir membuat langkah kita terhenti sejenak dan berpikir bahwa bukan kehidupan seperti ini yang kita bayangkan.
Pada suatu masa mungkin kita menganggap kehidupan kita lebih cocok dengan profil seorang Aisyah Binti Abu Bakar. Gadis belia, cerdas, selalu ingin berbuat baik dan penuh semangat menghadapi hidup. Atau kita adalah Khadijah Binti Khuwailid. Kehidupannya yang memang sudah diserahkan sepenuh jiwanya dan apapun yang dimilikinya untuk mendampingi seorang Nabi dalam menyampaikan pesan Rabbnya untuk membangun sebuah peradaban besar. Atau kita adalah Ummu Salamah, menjadi seorang istri shalihah dengan suami yang sangat baik, pengertian dan memperlakukan istrinya bagai seorang putri raja (menurut istrinya), tentunya ketika masih menjadi istri Abu Salamah dan tidak mengira akan dinikahi oleh Rasulullah Saw dan menjadi salah satu Ummahatul Mukminin, setelah Abu Salamah ra menemui syahid.
Namun ternyata Allah SWT memiliki skenario lain, yang prosesnya tak ada seorang pun yang mengerti kecuali hanya kita dengan Allah saja. Masing-masing manusia memiliki pengalaman dalam proses menerima taqdirnya.
Pada suatu masa, perjalanan hidup Asma menghadapkannya pada kenyataan bahwa suaminya Zubair Bin Awwam ra menikahi seorang muslimah yang dulu pernah menjadi istri saudara laki-lakinya, Abdullah Bin Abu Bakar ra, yang gugur di medan perang. Lalu Atikah dinikahi oleh Umar Bin Khaththab ra, Amirul Mukminin yang syahid dibunuh oleh seorang Majusi. Akhirnya Zubair Bin Awwam ra, menikahinya.
Zubair Bin Awwam ra adalah seorang yang sejak kecil telah ditempa dengan pendidikan yang keras dari Ibundanya Shafiyah Binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah Saw. Shafiyah ra memang bertekad untuk menjadikan anaknya seorang ksatria dengan kepribadian besar dan tangguh. Maka Zubair bin Awwam ra adalah sosok yang tak pernah absen dari medan pertempuran. Zubair Bin Awwam ra sangat gandrung untuk menemui syahid. Ia merindukan mati di jalan Allah. Putra-putranya dinamai dengan nama-nama para shahabat yang telah mendahului mati syahid. Dan Atikah, di kalangan penduduk Madinah terkenal ungkapan, “Siapa yang ingin mati syahid, maka menikahlah dengan Atikah Binti Zaid.” Adalah sebuah karunia tersendiri bagi pemilik nama ini, bahwa di kalangan Quraisy, Atikah Binti Zaid juga terkenal fasih berbahasa, menguasai ilmu sastra, cerdas dan cantik.
Bagi Asma Binti Abu Bakar, tentulah sebuah pilihan yang telah dipikirkan dengan sangat bijak dan semata-mata untuk menyingkirkan kesulitan-kesulitan yang menghalanginya meraih surga, ketika berpisah dengan Zubair di saat putra-putranya sudah beranjak dewasa. Bukankah mereka masih bersama-sama mengikuti pertempuran di Yarmuk?
Tak seorangpun akan bisa menilai dan membahasnya, karena ini adalah keputusan bagi Asma ra dalam urusan ketaqwaannya terhadap Rabbnya. Allah SWT tempat bersandar dan berpasrah atas segala persoalan. Saya pun juga tidak tahu apakah mereka kemudian bersama lagi atau tidak, karena tidak ada riwayat yang membahasnya.
Saya pribadi melihat, bukan dari sisi bahwa kemudian suaminya menikahi Atikah yang saat itu adalah Janda Umar Bin Khaththab ra. Itu hanyalah riak-riak kehidupan, namun bagi orang-orang zaman sekarang dianggap sebagai persoalan besar bagi kaum wanita. Yakni persoalan poligami, suami menikah lagi, istri menuntut cerai, yang sebenarnya persoalan itu dibesar-besarkan oleh sekelompok syaitan yang mendapat pujian Iblis karena berhasil menyibukkan perhatian kaum muslimin dari problem besar yang sesungguhnya.
Problem besar bagi Asma ra dengan sepeninggal Umar Bin Khaththab adalah mulai munculnya perhatian kaum muslimin pada kekayaan dan kekuasaan besar Islam yang telah dikokohkan oleh Umar Bin Khaththab. Gelombang fitnah yang besar bermunculan, dikembangkan oleh kalangan munafik, fasik dan mereka yang masih lemah keimanannya.
Namun fitnah menjalar begitu cepat, hingga terjadi pembunuhan terhadap Khalifah Utsman Bin Affan ra. Inilah yang selanjutnya menyeret pada pertikaian dalam tubuh umat. Hal yang sama sekali tidak pernah terbayangkan dahulu ketika Rasulullah Saw masih ada.
Tangan-tangan jahat tak terlihat sedang bermain. Aisyah binti Abu Bakar ra saudari kandung Asma, memimpin sebuah pergolakan politik untuk menuntut agar pembunuh Utsman diadili. Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah pengganti Utsman berada pada situasi pelik untuk menemukan pembunuhnya. Karena situasi begitu kacau sehingga tidak ada yang mengenal siapa pembunuh Utsman. Muhammad Bin Abu Bakar, saudara laki-laki Asma dituding sebagai pelaku. Namun kesaksian Nailah, istri Utsman yang saat itu berada di sisi Utsman, yang terpotong jari-jari tangannya akibat tebasan para pemberontak menegaskan bahwa Muhammad Bin Abu Bakar telah menyadari kekeliruannya setelah berdialog dengan Utsman Bin Affan ra dan pergi meninggalkan rumah sebelum pembunuhan terjadi.
Saat itu komunikasi antar orang-orang beriman digoncangkan oleh berita-berita fitnah yang berhamburan dimana-mana. Hingga terjadilah perang Jamal, dimana Ali Bin Abi Thalib harus berhadapan dengan Aisyah Binti Abu Bakar, salah seorang dari Ummahaatul Mukminin. Zubair Bin Awwam berada di pihak Aisyah. Ia menjadi komandan pasukannya. Namun akhirnya Zubair menyadari kekeliruannya setelah bertemu Ali yang mengingatkannya pada sebuah hadits Nabi. Zubairpun menghadap Aisyah ra dan mengundurkan diri, ingin menjauh dari fitnah. Tetapi ia dibunuh oleh seseorang dalam perjalanannya menuju Madinah. Zubair dibunuh ketika sedang khusyuk dalam shalatnya.
Abdullah Bin Zubair diminta oleh Aisyah Binti Abu Bakar ra untuk menggantikan posisi ayahnya. Abdullah adalah keponakan Aisyah yang sering diasuhnya sejak kecil. Bahkan Rasulullah Saw pernah menyebut Aisyah dengan nama Ummu Abdullah.
Pertikaian ini akhirnya mereda dengan kebenaran yang terungkap dan menjadi rujukan dalam pertemuan Ali Bin Abi Thalib ra dengan Aisyah Binti Abu Bakar ra.
Namun api fitnah masih terus dikobarkan oleh musuh-musuh Islam secara diam-diam dan asapnya menyakitkan mata orang-orang yang beriman. Hingga tiba kematian Ali Bin Abi Thalib dan Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib dibaiat. Kemudian pertemuan politik dengan Muawwiyah yang berakhir dengan Hasan meletakkan jabatan dan Muawwiyah menjadi Khalifah.
Setelah itu gelombang fitnah menjalar sangat cepat diiringi dengan kejahatan para pemimpin yang zhalim. Muawwiyah meninggal dunia, dan putranya Yazid dibaiat menggantikan kepemimpinannya. Orang-orang banyak mengatakan bahwa Yazid tidak layak menjadi Khalifah. Dia adalah orang terakhir kali yang dapat menjadi khalifah seandainya memang dapat. Abdullah Bin Zubair ra, putra Asma ra adalah yang paling keras penentangannya. Kata-kata penolakannya kepada Muawiyah selagi masih hidup terasa amat keras dan tegas, apalagi terhadap Yazid.
Abdullah Bin Zubair diangkat menjadi Amirul Mukminin dengan Mekah sebagai ibu kotanya, dan membentangkan kekuasaannya terhadap Hijaz, Yaman, Basrah, Kufah, Khurasan dan Syria kecuali Damsyik.
Namun Bani Umayah tidak menyukai kepemimpinan ini, hingga mereka membaiat Abdul Malik Bin Marwan sebagai Khalifah. Ia mengangkat Panglima yang sangat kejam untuk menghabisi Abdullah Bin Zubair dan kekuasaannya, dialah Hajjaj ats-Tsaqofi. Dengan mengerahkan anak buahnya dan orang-orang upahannya dia memerangi Mekah, ibu kota kekuasaan Abdullah Bin Zubair. Dikepungnya kota itu serta penduduknya selama lebih kurang enam bulan dan dihalanginya mereka mendapatkan makanan dan air, dengan harapan mereka meninggalkan Abdullah Bin Zubair. Karena tekanan bahaya kelaparan itulah banyak orang menyerahkan diri, hingga Abdullah Bin Zubair mendapati dirinya tidak berteman, atau kira-kira demikian.
Barangkali yang membaca tulisan ini merasa aneh mengapa problem yang menimpa Asma dalam rumah tangganya namun kita harus membaca sejarah Islam yang begitu panjang (ini hanya ringkasannya yang sangat singkat, karena seharusnya kita membaca detil peristiwanya agar lebih memahami).
Tentu saja kita hanya akan bisa memahami perasaan Asma bila kita menempatkannya dalam situasi di tengah umatnya. Karena Asma adalah seorang muslimah yang sangat peduli pada urusan umatnya.
Asma Binti Abu Bakar ra, ia bukan seperti perempuan hari ini yang bisa galau berat hanya karena problem rumah tangga. Ia juga bukan seperti kebanyakan kita yang mempersoalkan problem-problem pribadi di atas persoalan masyarakat. Ia juga bukan seperti kita yang jarang sekali berfikir menyelesaikan urusan pribadi dengan kacamata kepentingan umat. Ia adalah muslimah luar biasa yang hanya bisa kita fahami setiap keputusannya bila kita bisa membaca masalah-masalah hidup sebagaimana persepsinya. Inilah persepsi Islam yang diajarkan oleh Rasulullah saw, dicontohkan praktisnya dalam keluarga oleh ayahandanya Abu Bakar As-Shiddiq.
Inilah seorang ibu yang memiliki ketegaran luar biasa. Saya belum mengisahkan pelajaran di level terakhir kehidupannya yang luar biasa. Saya hanya ingin kita semua menyadari bahwa persepsi di luar Islam harus kita tanggalkan saat ini juga. Saya pun menyadari bahwa selama ini kebanyakan kita masih sering atau kadang-kadang menggunakan persepsi yang salah dalam memandang hidup. Ini problem kita di dunia yang sarat dengan pola kapitalistik, sekularistik, materialistik dan hedonistik.
In syaa Allah… (Bersambung)