Seseorang bertanya kepada saya, istilah pelakor. Yah, istilah ini memang baru muncul belakangan. Sebutan pelakor lahir di era sosmed (social media). Instagram, Facebook dan twitter menyumbang peran sangat besar dalam budaya masyarakat.
Pengguna sosmed aktif pada batas tertentu mencapai tingkat ketergantungan tinggi pada sosmed. Segala urusan dituangkan ke sosmed. Bahkan komunikasi dengan pasangan pun melalui sosmed. Berita tentang seseorang begitu mudah ditelusuri via sosmed. Lihat saja statusnya. Apa yang dipikirkan dan bagaimana suasana hatinya bisa terbaca di statusnya.
Istilah pelakor muncul di era sosmed, ketika seorang laki-laki beristri menjalin hubungan spesial dengan wanita lain. Sang istri lantas mencurahkan kekesalan hatinya di sosmed. Bisa dibayangkan bila status diunggah dalam keadaan marah, bahkan sebelum kroscek kepada sang suami.
Berikutnya akan terjadi penghakiman besar-besaran oleh para netizen (pengguna sosmed) yang membaca status sang istri. Apa yang ditumpahkan tak bisa ditarik kembali. Ibarat air yang membanjiri seluruh permukaan. Akhirnya pelakor diistilahkan sebagai wanita yang menjalin hubungan dengan laki-laki beristri.
Fenomena pelakor diversuskan dengan keadaan istri-istri yang menolak diduakan oleh suaminya. Dalam kondisi demikian bercerai dianggap sebagai pilihan yang menunjukkan sosok wanita pemberani dan punya harga diri. Demikian masyarakat dengan budaya kapitalis liberal memiliki terminologi sendiri terhadap istilah pelakor.
Sejak awal saya merasa jengah dengan istilah ini. Mengapa? Karena mayoritas masyarakat kita muslim, namun awam dengan hukum syariat. Pola hidup didominasi oleh kehidupan sekuler.
Di era sosmed, akun akun gossip memiliki followers sangat banyak. Boleh disebut Lambe turah, lambe nyinyir, jenkellin, instanyinyir, maknyinyir dan lain-lain yang selalu update berita gossip. Dari akun-akun semacam inilah persepsi terhadap suatu fakta terbentuk. Maklum followers bisa mencapai ratusan ribu. Komentar-komentar followers membentuk persepsi. Yang lebih menyedihkan lagi adalah mayoritas muslim ikut terpengaruh. Akhirnya mereka memadu padan dengan kehidupan kaum muslimin yang seharusnya diatur dan tunduk pada wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Beberapa contoh, fakta poligami, yakni ketika seorang wanita dinikahi oleh pria yang sudah beristri. Oleh kalangan pembenci syariat, disamakan dengan pelakor. Karena dalam persepsi kaum liberal, kaum laki-laki setara dengan perempuan dalam hal kepemimpinan. Wajar bila akhirnya karakter kepemimpinan laki-laki (meskipun muslim) sering kandas di bawah telapak kaki istri. Tak sedikit para istri yang berani memaki-maki suami. Sama sekali tak ada takzim (penghormatan) kepada suaminya.
Bila istri marah, maka ia tak segan berkacak pinggang dan menunjuk-nunjuk (hidung) suaminya sambil memaki-maki. Bila istri ini pengguna sosmed, maka tumpah ruah sumpah serapah yang ditujukan kepada suaminya. Aib-aib suaminya pun dibeberkan tanpa ada rasa malu dan penghormatan sedikitpun. Inilah model cara hidup yang jauh dari nilai-nilai Islam. Wajar bila para penjajah kapitalis dengan mudahnya menginjak-injak bangsa ini. Kaum laki-laki tak punya jiwa pemimpin.
Untuk itu hati-hatilah menggunakan terminologis kaum liberal. Salah-salah, kita bisa melakukan hal yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Saw menikahi 9 wanita sepeninggal Khadijah ra. Kita tak bisa mengatakan bahwa kehidupan beliau ketika bersama Khadijah ra jauh lebih baik daripada setelah Khadijah ra wafat.
Sesungguhnya Rasulullah Saw adalah suri tauladan. Seluruh masa kehidupannya setelah turunnya wahyu adalah contoh kehidupan terbaik. Bahkan mencapai tingkat kesempurnaan dengan sempurnanya Islam yang Beliau bawa, yakni pada saat-saat terakhir kehidupannya. Keteladanan Rasulullah Saw salah satunya adalah bagaimana bersikap dan memimpin istri-istrinya.
Pernikahan Rasulullah Saw terjadi berturut-turut. Setelah Khadijah ra wafat, Beliau Saw menikahi Saudah ra. Setelah itu Aisyah ra, Zaynab binti Khuzaimah, Ummu Salamah ra, Hafshah binti Umar ra, Zaynab binti Jahsy ra, Ummu Habibah binti Abu Sufyan ra, Juwairiyah binti Al Harits ra, Maimunah binti al Harits ra dan Shafiyah binti Huyay ra.
Tak ada istilah pelakor dalam kehidupan Islam. Karena kaum laki-laki tak bisa didikte perempuan. Betapa jauh kondisi umat Islam sekarang, ketika ada perempuan jalang pemuja harta mengejar dan menjerat laki-laki kaya, dan laki-laki itu bertekuk lutut di hadapannya. Di satu sisi para istri mengharamkan poligami, maka jadilah para suami mudah terjerat para pelakor. Ini kehidupan yang tak ada dalam Islam.
Untuk itu, fokuslah kita hanya pada Al Qur’an dan Hadits sebagai sandaran dan standar perbuatan. Jangan ikuti akun-akun yang menyesatkan dan menjerumuskan umat dengan gossip, fitnah dan senda gurau tak berarti. Ukuran perbuatan adalah halal dan haram menurut standar syariat, bukan baik dan buruk dalam penilaian hawa nafsu.
“Dan apa yang diberikan Rasul (Shallallahu ‘alaihi wasallam) kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr : 7)[]