(Keteladanan Sepanjang Sejarah Kehidupannya Bag. 2)
By: Lathifah Musa
Menjaga Perasaan Suaminya
Ada sebuah kisah tentang Asma binti Abu Bakar yang selalu berusaha menjaga perasaan suaminya. Asma menuturkan, “Saat menikah denganku Zubair tidak memiliki harta benda, budak, atau barang apapun kecuali seekor kuda. Aku selalu menyiapkan makanan dan merawatnya. Aku menumbuk kurma yang sudah matang, memberinya makan dan minum. Selain itu aku juga menjahit sendiri tempat minum dari kulit dan membuat adonan roti. Sebenarnya aku sendiri tidak pandai membuat roti, namun wanita-wanita Anshar membantuku membuatkannya. Mereka adalah wanita-wanita yang tulus.” Asma melanjutkan, “Aku biasa mengambil kurma dari kebun Zubair hasil pemberian Rasulullah Saw, dan membawanya di atas kepalaku. Padahal jarak dari rumahku sekitar 2 /3 farsakh (sekitar 3,4 km). Pada suatu hari aku sedang membawa kurma di atas kepalaku. Di tengah perjalanan tiba-tiba aku bertemu dengan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Beliau mendoakanku, lalu aku mendengar beliau memberi aba-aba kepada untanya. “Ekh ekh.” Tujuannya beliau hendak menyuruhku naik unta dan duduk di belakang beliau. Aku merasa malu berjalan bersama rombongan laki-laki dan teringat dengan besarnya kecemburuan Zubair. Karena aku tahu Zubair sangat pencemburu.
Asma melanjutkan, “Rasulullah Saw mengerti bahwa aku sangat malu, maka beliau melanjutkan perjalanannya. Setelah tiba di rumah dan bertemu Zubair aku berkata, “Tadi aku bertemu dengan Rasulullah Saw ketika aku sedang membawa kurma di atas kepalaku. Beliau disertai beberapa orang shahabat. Beliau berhenti dan menyuruh untanya duduk agar aku naik ke punggungnya. Aku merasa malu dan teringat dengan sifatmu yang pencemburu. Zubair berkata “Demi Allah keadaanmu yang membawa kurma di atas kepala lebih memberatkan hatiku daripada naik unta bersama beliau!”
Asma menutup penuturannya,” Keadaanku sehari hari tetap seperti itu sampai suatu ketika Abu Bakar memberiku seorang pembantu sehingga aku tidak perlu lagi mengurus dan merawat kuda. Aku merasa seakan-akan dia telah membebaskanku.”
Pelajaran penting yang bisa diambil dari riwayat ini, selain adanya para ulama yang menetapkan kebolehan memberi tumpangan dalam perjalanan kepada seorang wanita yang memang dalam kondisi memerlukan, adalah bagaimana karakter mulia Asma sebagai seorang istri yang dengan ringan hati (walau berat secara fisik) untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang terkategori berat bagi seorang perempuan. Yakni mengurus kuda yang biasa digunakan oleh suaminya untuk berjihad, mengambil kurma matang dari kebun yang jauh dengan berjalan kaki dan membawa beban yang berat (kurma) di atas kepala. Dalam kondisi yang berat itu, Rasulullah Saw menawarkan bantuannya, namun Asma malu dan khawatir suaminya cemburu.
Ini bukanlah karakter kebanyakan istri yang menuntut hak-haknya terpenuhi tanpa memikirkan keadaan suaminya. Dalam kondisi seperti ini bisa jadi kebanyakan wanita berpikir, mengapa harus saya yang mengurus kuda. Itu bukan pekerjaan perempuan. Mengapa saya harus berjalan jauh sambil menyunggi beban yang berat, betapa tidak pantasnya seorang perempuan melakukan hal itu. Mengapa suami saya tega membiarkannya? Mengapa saya harus melakukan semuanya sendiri? Betapa banyaknya pekerjaan yang saya lakukan, lantas apa yang dilakukan suami untuk meringankan pekerjaan saya? Apa yang dia berikan untuk kebahagiaan saya setelah mendampinginya selama ini?
Kebanyakan perempuan mempertanyakan kebaikan-kebaikan apa yang telah dilakukan suami untuknya. Kebanyakan perempuan telah begitu cermat menghitung betapa banyaknya hal-hal yang telah dikorbankannya untuk keluarganya, khususnya untuk suaminya. Namun seolah-olah suaminya tidak pernah memberikan kemudahan, kelapangan dan kebahagiaan untuknya.
Asma Binti Abu Bakar ra adalah sosok perempuan shalihah yang sama sekali tidak memikirkan bahwa orang lain harus berbuat baik pada dirinya. Ia selalu memikirkan kepentingan orang lain dan tak pernah memikirkan kepentingannya sendiri. Dirinya hanyalah wasilah untuk menjalankan ketaatan-ketaatan kepada RabbNya. Maka Asma ra berbuat dan terus berbuat, bergerak dan terus bergerak, berfikir untuk orang lain dan untuk umat (ini tercermin pada kata-kata masyhurnya di usia senja di akhir kehidupannya dalam nasehatnya kepada putranya Abdullah bin Zubair ra).
Asma memahami betul bahwa Suaminya Zubair bin Awwam ra adalah Hawari (Pengawal setia) Rasulullah Saw. Kehidupannya sarat dengan jihad fii Sabiilillah. Dukungan para istri dalam urusan keluarga dan rumah tangga adalah bentuk dukungan terhadap kesiapan kaum pria menghadapi Jihad Fii Sabilillah.[]