Mertua Versus Mantu

Assalaamu’alaikum. Ibu-ibu sholihah beberapa dari kita menanyakan tentang tinggal seatap dengan mertua. Dalam beberapa kondisi mertua tidak cocok dengan menantu, sehingga terjadi ketidaknyamanan bahkan tertekan hingga tingkat akut. Bukan lebay, tapi memang ternyata ada kondisi, menantu jadi sakit-sakitan yang berkepanjangan seolah tanpa lepas obat. Lantas bagaimana kalau ini terjadi. Khususnya bila suami adalah harapan satu-satunya untuk menemani sang ibu. Akankah istri memaksa suami agar meninggalkan ibunya untuk pindah rumah lalu membiarkan ibu mertuanya sendirian.

Ibu-ibu sholihah, ini adalah problem yang tak jarang terjadi. Bagi para pengantin baru mungkin jadi beban berat. Apalagi sang istri baru keluar dari zona nyaman tinggal di rumah orang tua yang memanjakannya dengan berbagai fasilitas dan perhatian. Pindah ke rumah mertua menjadi bahan perbandingan tersendiri dengan kondisi sebelumnya.

Demikian juga sang mertua. Sebelumnya dengan mudahnya mengatur dan mengendalikan anak laki-laki kesayangannya, kini harus bersaing dengan istri yang butuh perhatian. Belum lagi pola berpikir dan gaya hidup mantu ini tidak sama dengan dirinya. Ini tidak termasuk teknis-teknis pengelolaan rumah tangga yang harus sesuai dengan kriteria mertua, mulai dari cara mengatur rumah hingga soal selera dandan dan makan.

Bagaimana solusi bijak menghadapi hal ini?
Saya lebih menawarkan solusi bagi sang penanya, berada dalam posisi siapa? Sebagai istri, mertua atau suami.
Karena penanya adalah istri, maka jawaban ini ditujukan untuk istri. Bagi seorang istri, kita hanya memiliki pilihan, sikap sebagai istri sholihah, atau sebaliknya mengikuti ego dan selera pribadi. Bila ingin menjadi istri sholihah, maka jangan setengah-setengah. Karena kalau setengah-setengah, kita tak akan mendapatkan apa-apa selain perasaan tersiksa dan terbebani yang timbul tenggelam. Setidaknya bila pilihannya menjadi istri sholihah, maka ridho Allah yang akan didapat. Ridho manusia akan menyusul. Nah, apa yang harus dilakukan?

1. Pahamilah bahwa seorang ibu memiliki hak yang sangat besar kepada anak laki-lakinya. Keridhoan ibu menjadi pembuka pintu surga bagi anak laki-lakinya. Sementara bagi istri, seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya. Surga atau neraka bisa dilihat dari bagaimana kedudukan seorang istri di sisi suaminya. Keridhoan suami menjadi pembuka pintu surga bagi istrinya. Tentu semua bentuk keridhoan ini harus sejalan dan di bawah naungan keridhoan Allah Ta’ala. Suami memiliki kewajiban berbakti kepada ibunya. Menafkahi dan merawatnya bila telah lanjut usia. Mengayominya dalam kondisi ia tak ada yang menanggung (menjanda misalnya). Inilah ketetapan hukum syara’ yang harus kita pahami dan terima. Yakinlah bahwa dimana ada ketetapan hukum syara’ maka di situlah terletak kemaslahatan. Walau mungkin manusia belum mampu menjangkau bentuk kemaslahatan tersebut.

2. Tidak dipungkiri bahwa berbakti pada ibu mertua, berarti berbakti pada suami sebagai perintah yang utama. Tidak mudah berbakti, selain dengan hati yang lapang, penuh keikhlasan dan keridhoan. Tidak akan mudah berlapang hati selain dengan mengasihi atau mencintai suami sepenuh hati. Seberapa besar cintamu, maka bisa dibuktikan dengan seberapa besar pengorbananmu. Terkadang seorang istri merasa tak cukup memiliki cinta untuk berbakti pada suaminya. Hal ini akan memunculkan pembangkangan-pembangkangan terhadap perintah suaminya.

Terkadang karena kurangnya rasa cinta, maka yang muncul adalah tuntutan-tuntutan agar suami memenuhi kebutuhannya. Seorang istri merasa, bukankah yang mengejar-ngejar untuk menikahinya adalah sang suami. Sementara sang istri sebenarnya masih punya banyak fans atau pilihan yang berminat menikahinya. Maka pernikahan dipandangnya sebagai jalan hidup dan takdir. Tidak terlalu banyak melibatkan cinta. Sebenarnya kondisi ini pun tidak masalah ketika berjalannya sistem berumah tangga sesuai dengan syariat Islam. No problem bagi istri yang tidak memiliki cinta, hanya sekedar penghormatan saja. Namun ternyata dalam kondisi-kondisi tertentu, sebagaimana kasus mertua versus menantu ini, maka pengorbanan satu pihak menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah. Dalam hal jawaban ini adalah, pengorbanan pihak istri.

3. Bagaimana bisa kita melapangkan hati untuk menerima ketetapan syara sebagaimana point 1 di atas? Sekali lagi, ini melibatkan rasa cinta. Bukan sekedar mencintai suami, namun ini adalah rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semakin besar rasa cinta seseorang kepada Allah, akan semakin besar kemampuan berkorbannya. Karena kecintaan yang tertinggi kepada Allah Ta’ala dibuktikan dengan kecintaan kepada Jihad fii Sabilillah (pengorbanan jiwa/nyawa). Maka tak sulit berkorban untuk hal-hal yang lebih rendah dari itu. Kecintaan kepada Allah akan memudahkan seorang istri mencintai suaminya, karena memang Allah memerintahkannya demikian. Seperti apapun suaminya, tetaplah seorang istri harus berbakti. Bila sulit, mohonlah rasa cinta kepada Allah agar sebagai istri bisa berbakti kepada suami.

Begitu besarnya hak suami untuk ditaati, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ

“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

4. Bagaimana bila mertua bukan orang yang bijak dan cenderung egois. Kembalilah mengingat bahwa urusan kita bukan mengubah mertua agar menjadi bijak. Urusan kita adalah kepada Allah Ta’ala, agar kita bisa menjadi seorang istri yang sholihah. Tidak akan pernah rugi apa yang kita lakukan semata-mata untuk mencari keridhoan Allah Ta’ala. Mungkinkah kita mengubah orang lain tanpa mengubah diri sendiri? Tidak mungkin. Yang termudah dalam hidup ini adalah mengubah diri sendiri, karena kita tidak memiliki kuasa atas jiwa orang lain. Al Qur’an menyebutkan bahwa, “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, melainkan kaum itu sendiri yang mengubahnya.”

5. Bagaimana bila suami bukan orang yang bijak dan cenderung tidak peduli pada penderitaan bathin istri. Pertanyaan yang harus saya ajukan adalah, masihkan kita akan menjadi istrinya? Bila tidak, ini jawaban yang berat bila dilanjutkan ke solusi berikutnya. Karena yang tergambar dalam benak istri adalah keinginan berpisah dari suaminya. Harapan saya, jawabannya adalah iya. So berjuanglah menjadi istri yang baik. Bisa jadi Allah akan mengubah kondisi dan keadaan suami menjadi lebih baik dan bijak dengan perantaraan istrinya Atau Allah akan masih menguji kedudukan sebagai istri sholihah dalam rangka meningkatkan derajad sebagai hambaNya yang sholihah di sisiNya. Maka bersabarlah dan bertaqwalah. Semakin mendekatlah kepadaNya, hingga hidup menjadi benar-benar berarti karena nilai kecintaan yang tertinggi adalah hanya pada Allah Robbul Izzati. Allah tak akan membiarkan hambaNya yang sholihah selalu berada dalam kesulitan. Pasti perjuangan akan berakhir dengan kebahagiaan. Hanya tinggal tunggu waktu. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah [Lathifah Musa]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *