Peristiwa pembunuhan terhadap Engeline, atau lebih tepatnya saya menyebut Tragedi Engeline memang masih seperti diselimuti tabir tipis samar-samar. Walaupun beberapa fakta yang menunjukkan keterlibatan orang-orang tertentu, seperti pembantu orang tua angkat korban, yakni Agustinus Tay dan ibu angkat korban sendiri yakni Margariet Megawe, namun belum ada kejelasan fakta peristiwa sebenarnya di balik kematian gadis kecil Engeline (8 th). Pengacara-pengacara terkenal turun tangan untuk terlibat menyingkap tabir tragedi ini. Tetapi, reputasi pengacara tentu saja belum betul-betul diamini sebagai orang yang benar-benar jujur dalam mengungkap kebenaran. Maklum, popularitas, keberpihakan dan kekayaan masih melekat pada sosok-sosok pengacara populer di negeri ini. Minimal pengacara akan meminimalisir penyampaian fakta yang memberatkan kliennya, kalau tidak bisa tutup mulut.
Bukan karena berita ini masih menjadi topik yang trending di media massa, atau latar belakang kehidupan Engeline yang sarat riwayat sedih, sehingga kita perlu memberi perhatian lebih. Namun tragedi Engeline, kenyataannya memang sarat pelajaran penting. Sebagai seorang muslim, pelajaran-pelajaran penting bisa banyak diambil dari seluruh kehidupan yang ada, baik yang kita alami atau menimpa orang lain. Berikut ini saya mencoba menuliskan beberapa catatan penting yang bisa diambil pelajaran bagi kita, kaum muslimin.
- Haramnya menyerahkan seorang anak dari orang tua (muslim) kepada keluarga non muslim. Sebagaimana diketahui, ibu kandung Engeline bernama Hamidah yang berlatar belakang muslim. Kondisi keterbatasan ekonomi dan kondisinya sebagai pendatang di Bali, menyebabkan ia tidak mampu membiayai persalinannya. Untuk itu ia menyerahkan bayinya yang baru berumur 3 hari kepada keluarga ekspatriat suami istri (Margriet dan suaminya yang berkewarganegaraan Amerika). Ketika anak diserahkan kepada keluarga non muslim, hal yang paling berbahaya adalah keselamatan aqidahnya. Hidup ini tidak hanya di dunia, namun akan berlanjut pada kehidupan abadi di akhirat. Keselamatan aqidah di dunia menentukan apakah manusia akan selamat di akhirat nanti. Alam semesta, manusia dan kehidupan ini adalah milik Allah SWT. Mereka yang tidak beriman kepadaNya akan mengalami kesengsaraan di akhirat. Pada kasus Engeline, mungkin gadis kecil ini beruntung, karena ia tidak mengalami kesulitan di akhirat, karena meninggal pada usia kanak-kanak. Namun orang dewasalah yang harus bertanggung jawab atas kezholiman yang mereka lakukan terhadap Engeline.
- Zholimnya negara yang membebani biaya kesehatan begitu besar kepada rakyat. Kalaupun ada surat keterangan miskin, maka itu tidak berlaku pada semua orang, di antaranya para pendatang atau orang singgah. Pengurusannya pun memerlukan waktu minimal tujuh hari menurut mereka yang pernah menggurusnya. Padahal orang sakit tidak bisa menunggu, karena akan terancam jiwanya. Hal inilah yang membuat orang tua kandung Engeline menyerahkan anaknya kepada orang lain dengan perjanjian yang zholim, diantaranya tidak boleh bertemu anaknya hingga anak tersebut berusia 18 thn. Saat ini tidak sedikit warga masyarakat yang menjemput ajalnya dalam kondisi tidak mampu berobat ke rumah sakit. Bahkan banyak di antara mereka yang sengaja tidak mau ke rumah sakit dengan alasan, pasti akan bertambah berat, pusing dan penat karena biaya berobat yang membengkak.
- Kepedulian terhadap nasib anak “orang lain”. Terkadang kita sangat peduli terhadap anak sendiri, namun tak peduli terhadap anak orang lain. Padahal kepedulian terhadap sesama manusia adalah salah satu karakter dasar kaum muslimin. Tragedi Engeline membuka mata kita bahwa kita harus peduli terhadap tetangga. Para guru harus peduli terhadap murid-muridnya. Barangkali selama ini bentuk kepedulian yang kita lakukan seringkali tidak menyentuh kehidupan kita sendiri. Padahal Rasulullah Saw menyampaikan bahwa barangsiapa yang di pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka bukan termasuk golongan mereka (kaum muslimin). Aplikasi dari pesan ini dalam level tertinggi adalah bentuk aktivitas politik untuk menyelenggarakan sistem kehidupan yang berlandaskan, bersendikan dan berwajahkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Namun pelaksanaan nyata bagi kita seringkali hanya bahwa kita telah mempelajari Islam, mendakwahkan Islam dan bergabung dengan sebuah partai politik, ormas atau organisasi yang menyerukan penegakan syariat Islam dalam bentuk negara. Ini dianggap sebagai kunci dari pesan kepedulian terhadap persoalan manusia. Seolah semuanya akan otomatis sempurna hanya dengannya. Padahal maksud dari pesan ini, adalah karakter kepedulian terhadap urusan umat yang harus menyatu dalam kehidupan seorang muslim. Karakternya akan tampak dari seorang muslim yang peduli terhadap keluarganya, tetangganya, lingkungannya, masyarakatnya, keluarga besarnya, dan ia akan memimpin masyarakatnya untuk memperbaiki sistem yang rusak ini.
- Syariat Islam adalah aturan yang sempurna untuk mengatur manusia. Beberapa isu menyebutkan bahwa ayah angkat Engeline yang warganegara Amerika, yang meninggal ketika Engeline berusia 3 tahun, telah memberikan warisan dengan porsi tertentu kepada Engeline. Tidak dipungkiri bahwa harta seringkali menyebabkan pertikaian di antara manusia. Al Qur’an mengabadikan peristiwa pembunuhan untuk memperebutkan harta dalam sebuah kisah tentang sapi betina di sebagian Surat Al Baqarah. Manusia bisa gelap mata ketika harta menjadi standar kebahagiaannya. Islam telah memberikan hukum waris yang menjadi solusi bagi persoalan pembagian harta seorang yang meninggal dunia. Hukum ini terintegrasi dengan hukum lainnya, diantaranya yang menyangkut tentang siapa yang bertanggungjawab membayar hutang orang yang telah meninggal dan bagaimana kelanjutan nafkah keluarga yang ditinggalkan. Tentu tidak sebanding dengan aturan yang tunduk pada nafsu manusia. Dalam kasus waris di Masyarakat Barat, mereka bisa mewasiatkan harta semaunya dengan mengabaikan keluarga. Bahkan ada yang memberikan wasiat harta untuk binatang peliharaannya.
- Waspada terhadap godaan syaithan. Banyaknya tindak kezhaliman yang melingkupi Engeline, membuka mata kita bahwa syaithan mengintai manusia dari setiap sisi. Dalam tragedi ini, ada kekerasan terhadap anak, penyiksaan, pemerkosaan bahkan pembunuhan. Sungguh mengiris hati dan perasaan orang yang masih waras. Kita harus memahami bahwa setiap perbuatan dosa, selalu ada peran syaithan di dalamnya. Tak ada maksiat selama tak ada godaan syaithan. Untuk itulah setiap muslim harus membentengi dirinya dengan ilmu tsaqofah Islam, mengokohkan iman dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, meminta ampun dan merendahkan dirinya di hadapan Allah SWT dengan selalu memohon pertolonganNya serta tak henti bersyukur atas nikmat dan karuniaNya.
Demikianlah sedikit catatan pelajaran dari kasus ini, dengan keterbatasan pengamatan dan pemahaman penulis. Semoga dakwah yang terus bergulir dan perjuangan para mujahidin di belahan dunia manapun akan menderaskan kemenangan demi kemenangan bagi kaum muslimin untuk bisa menegakkan sistem kehidupan yang menyelamatkan semua manusia di bawah naungan Khilafah Rasyidah alaa Minhajin Nubuwwah. Aamin. Wallahu a’lamu bishshowab.
(Lathifah Musa, 25 Juni 2015)