Wacana JK terhadap Jam Kerja Wanita

Oleh: Wita Dahlia

 

Baru-baru ini Wapres Jusuf Kalla mengutarakan wacana pengurangan jam kerja wanita selama dua jam. Lebih lanjut, JK menjelaskan bahwa pengurangan jam kerja ini berlaku bagi wanita atau ibu yang memiliki anak di bawah usia enam tahun agar para ibu sempat menyiapkan kebutuhan anak-anak mereka yang masih balita. Wacana ini langsung mendapat respon dari berbagai kalangan. Bagi kalangan pebisnis, wacana ini dinilai akan mengurangi produtivitas para wanita dalam bekerja.

Maka wajar saja jika wacana ini ditolak mentah-mentah oleh para pebisnis yang notabene punya kepentingan untuk memanfaatkan tenaga murah wanita. Wanita menurut mereka adalah salah satu sasaran empuk dalam menjalankan roda bisnis agar terus berputar. Wanita dituntut dan dimotivasi untuk bekerja keras dan meninggalkan anak-anak mereka sehingga nantinya mereka memiliki sejumlah penghasilan yang dipergunakan oleh wanita untuk membeli produk-produk mereka. Ini adalah sistem yang diciptakan kapitalis yang menguntungkan bagi para pemilik modal.

Lalu bagaimana dengan para wanita saat mengetahui isu ini? Alih-alih bersyukur karena mendapat perhatian dari Wapres, mereka justru menuding wacana ini adalah sebuah kekonyolan karena bukannya malah menguntungkan namun merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan akhirnya ditempatkan dalam posisi marjinal. Bahkan para aktivis dan penggiat gender menganggap wacana ini adalah kado pahit bagi generasi perempuan di masa yang akan datang. Pemerintah dalam hal ini wapres dianggap tidak mengedepankan kebutuhan warga negara, asal bicara dan tidak melakukan survey dan kajian akademis.

Sungguh miris negeri ini. Saat pemerintah menggulirkan kebijakan yang tidak bijak dan tidak berpihak terhadap rakyat, para aktivis perempuan dan penggiat gender bergeming dan berhenti berceloteh. Namun saat pemerintah menggulirkan sedikit saja wacana yang ingin berpihak ke rakyat –dalam hal ini perempuan—mendadak mereka bersuara dan sibuk menggiring opini. Padahal faktanya, yang membuat perekonomian negara ini terpuruk bukanlah karena wanita yang emoh atau kurang giat bekerja, melainkan sikap lepas tangan pemerintah terhadap rakyat, termasuk mencabut subsidi. Demikian pula kebijakan-kebijakan dan peraturan pemerintah yang selalu ditata ulang agar sesuai dengan keinginan asing.

Lalu ketika kemiskinan mendera negeri ini, mengapa justru perempuan yang dibombardir dengan ide untuk masuk dan bersaing di dunia kerja tanpa memperhatikan jenis pekerjaan yang dilakoni apalagi menimbang sisi keamanan dan kenyamanan perempuan itu sendiri? Ini tentu saja adalah upaya mengkambinghitamkan perempuan. Sayangnya, perempuannya sendiri, tidak mawas diri. Ditambah dengan mulut manis aktivis perempuan dan pegiat gender yang proaktif menuntut perempuan memiliki jatah yang sama di ranah publik. Padahal faktanya, semakin tinggi angka kerja wanita, semakin tinggi pula pelecehan yang mereka alami. Inilah upah dari apa yang mereka perjuangkan.

Dalih lain yang sering digunakan aktivis perempuan adalah, bahwa dalam pengasuhan anak, yang dibutuhkan adalah kualitas waktu, bukan kuantitas waktu. Faktanya, kuantitas juga merupakan penentu kualitas. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa memiliki waktu yang berkualitas dengan anaknya, sementara waktu mereka sebagian besar dihabiskan di ranah publik? Bisa dipastikan, saat pulang ke rumah pun, mereka sudah kelelahan dan anak-anakpun sudah lelap. Kapan kiranya mereka sempat berdialog dan berdiskusi dengan mereka? Mana waktu yang dijanjikan akan berkualitas itu? Kenyataan selalu menunjukkan bahwa anak yang ibunya menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah, lalu hidup dalam pengasuhan orang lain –baca: pembantu— tumbuh menjadi anak-anak bermasalah.

Selain hal di atas, alasan yang juga kerap di kemukakan aktivis gender adalah bahwa tanggung jawab menciptakan generasi muda yang kuat terletak pada pundak kedua orang tua, dalam hal ini ibu dan bapak. Mereka menganggap, ketika ibu diserahi tanggung jawab untuk mendidik dan mengasuh anak, itu bukanlah sebuah kebanggaan, melainkan beban ganda bagi perempuan yang harus eksis baik di ranah domestik maupun publik. Padahal dalam Islam, perempuan justru diberi status kehormatan yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.

Maka peran utama kaum ibu adalah mengasuh, mendidik, dan membina anak-anak mereka, menanamkan kepada mereka kecintaan kepada Allah, Rasul dan al-Qur’an serta menempa kepemimpinan mereka. Sehingga, untuk menjalankan peran wajibnya ini, Islam menetapkan sejumlah hak bagi ibu sekaligus menjamin pemenuhannya. Oleh sebab itu, dalam Islam, mencari nafkah tidak diwajibkan bagi mereka. Jika ada seorang suami yang tidak berlaku baik pada istrinya, maka Kholifahlah yang akan memberi sanksi bagi suaminya. Wahai para ibu, maka sadarlah, manakah yang lebih berpihak kepada Anda?[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *