Patut dipahami bahwa membawa anak-anak ke masjid untuk ikut shalat berjama’ah atau memakmurkan masjid sejatinya bukanlah kesalahan
PRIHATIN. Itulah kata yang dirasa cukup untuk mewakili rasa gelisah terhadap kondisi umat Islam akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, kalau di antara kita shalat berjama’ah di masjid, mayoritas pengunjung ‘fanatiknya’ justru bukan kaum muda. Umumnya, orangtua dan manula yang memang sudah selayaknya membekali diri untuk banyak-banyak beribadah di saat sudah uzur.
Belum lagi kalau shalat Jum’at digelar. Muadzin di masjid sudah tidak muda dan melantunkan seruan shalat dengan suara yang tidak lagi merdu dan nada sekenanya. Dan, pemandangan seperti ini bukan di satu dua masjid, tetapi hampir di banyak masjid.
Sebagai Muslim, tentu ada suatu kekhawatiran, bagaimana jika kelak mereka yang sudah sepuh ini tiada. Apakah sudah ada dari generasi muda yang siap melanjutkan kepengurusannya menjadi lebih baik? Apakah mereka yang kini masih anak-anak, remaja dan pemuda bakal mau memakmurkan masjid?
Di sinilah satu alasan kuat mengapa para orangtua harus melakukan upaya – sebagai bentuk tanggung jawab – mengajak anak-anaknya untuk mencintai masjid. Selain akan menjadikan kekuatan iman dan aqidah terpelihara, masjid secara Ilahiyah adalah rumah Allah yang tentu ada banyak keutamaan yang akan diperoleh bila seseorang gemar memakmurkan masjid.
Bukti Keimanan
Dalam satu hadits disebutkan, “Apabila kamu melihat orang yang terbiasa masuk masjid maka saksikanlah bahwa dia beriman karena sesungguhnya Allah telah berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 18: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah-lah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Orang yang terbiasa ke masjid sudah barang tentu orang yang beriman dan karena itu ada rasa cinta, nyaman dan rindu untuk senantiasa memakmurkan masjid. Jika hal ini menjadi satu indikator keimanan seorang Muslim, maka sudah sepatutnya para orangtua mengajak anak-anaknya untuk mencintai masjid.
Salah Kaprah
Namun, di negeri ini, atas nama kekhusyukan ibadah kalangan dewasa, anak-anak dilarang masuk ke masjid. Akhirnya, anak-anak sekarang ada rasa takut, canggng dan tidak nyaman pergi ke masjid.
Padahal, dahulu di beberapa daerah di negeri ini, tolok ukur anak-anak lelaki dewasa atau belum adalah sudah tidur di masjid atau tidak. Tetapi, sekarang sudah hampir tidak ada lagi, anak-anak yang mau atau boleh tidur di masjid.
Logikanya sederhana, bagaimana mungkin akan lahir generasi yang mencintai masjid, bila sejak anak-anak saja mereka sudah jarang ke masjid, karena kultur yang salah kaprah. Sejak anak-anak mereka tidak mendapatkan kenikmatan psikologis kala berada di masjid.
Mungkin, ini satu pekerjaan rumah seluruh keluarga Muslim dan pengurus masjid, bagaimana strategi yang relevan agar masjid bisa menjadi tempat favorit anak-anak, remaja bahkan para pemudanya.
Jika dibiarkan, maka akan semakin banyak generasi muda yang asing dengan masjid dan kian akrab dengan dunia yang tidak semestinya. Mereka lebih suka kongkow-kongkow di cafe hingga larut malam, menghabiskan waktu senggang dengan bermain. Dan, hampir tidak terpikir oleh mereka untuk merapat ke masjid.
Cara Nabi ‘Menyamankan’ Anak-anak di Masjid
Kesempurnaan shalat berjama’ah, sebenarnya tidak semata-mata pada bacaan imam yang panjang, sebab Rasulullah tidak melakukannya ketika memimpin shalat berjama’ah. Sesuai dengan bahasan kali ini, hal itu tidak lain adalah strategi Rasulullah untuk memberi rasa nyaman dan senang kepada anak-anak. Sepele mungkin kesannya, tetapi itu penting untuk memberikan kesan bagi mereka, pelanjut perjuangan.
Abi Qatadah Radhiyallahu Anhu mengatakan bahwa Nabi Shallallahu alayhi wasalam bersabda, “Aku sedang mengerjakan shalat dan mau memperpanjangnya, namun aku mendengar tangis anak kecil. Lalu, aku ringkas (ringankan) shalatku, karena aku tidak senang untuk menyusahkan ibunya.” (HR. Bukhari).
Kemudian dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Pada waktu mulai shalat, aku bermakud untuk memanjangkannya. Tetapi, setelah mendengar tangis seorang bayi, aku memendekkannya. Karena, aku mengetahui betapa perasaan hati ibunya mendengar tangis bayi itu.” (HR. Bukhari).
Subhanalloh, Rasulullah benar-benar telah memberikan contoh konkret bagaimana semestinya umat ini mengkondisikan masjid sedemikian baik bagi anak-anak.
“Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam shalat bersama sahabatnya, lalu beliau sujud. Ketika itu datanglah Hasan yang tertarik melihat Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam yang mulia saat beliau sedang sujud. Rasul memanjangkan sujudnya agar tidak menyakiti Hasan. Usai shalat, beliau meminta maaf kepada jama’ah shalat dan bersabda, “Anakku tadi naik ke punggungku lalu aku khawatir bila aku bangun dan menyakitinya. Maka aku menungu sampai ia turun.” (HR. An-Nasa’i).
Artinya, jika dalam pelaksanaan shalat berama’ah saja, Rasulullah sedemikian peka terhadap kondisi anak-anak, atas dasar apa hari ini masjid menjadi tempat yang tidak menyenangkanbagi anak-anak kita. Bukankah mereka pelanjut risalah mulia ini?
Dengan demikian, patut dipahami bahwa membawa anak-anak ke masjid untuk ikut shalat berjama’ah atau memakmurkan masjid sejatinya bukanlah kesalahan. Namun, jika memang di antara anak-anak kita ada yang super aktif, sebaiknya dikondisikan sampai benar-benar bisa bersikap baik di masjid.
Dan, sebagai catatan, jangan sampai dipahami bahwa meringankan shalat di sini dipersepsikan sebagai shalat yang buru-buru dan sangat cepat. Tentu tidak mungkin Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam shalat dengan tanpa thuma’ninah yang sempurna. Prinsipnya, mari ajak anak-anak kita untuk mencintai masjid. Wallahu a’lam.[Sumber Tulisan: HIDAYATULLAH.Com]