PSK Pahlawan Keluarga?

Pernyataan Bupati Kendal, Jawa Tengah, Widya Kandi Susanti terkait lokalisasi di wilayahnya menuai beragam tanggapan. Pernyataan itu sendiri muncul akibat desakan sebagian warga kepada pemerintah untuk menutup lokalisasi PSK yang merebak di Kabupaten Kendal. Dalam kondisi terdesak, Bupati Widya menanggapinya dengan menyatakan bahwa PSK (Pekerja Seks Komersial) adalah pahlawan keluarga. Statement sang bupati muncul mengingat sulitnya mengatasi permasalahan PSK di wilayahnya. Di satu sisi, PSK dianggap profesi menyimpang dan pelakunya dianggap sampah oleh masyarakat; di sisi lain, para PSK “bekerja” untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Karenanya, ia menilai bahwa menutup lokalisasi adalah tindakan tidak manusiawi

Menurut Bupati Widya Kandi Susanti, menutup lokalisasi pelacuran adalah hal mudah. Hanya diperlukan persetujuan DPRD dan berkoordinasi dengan Polres dan Satpol PP. Namun, dampak dari penutupan tersebut yang sangat sulit diatasi; selain tidak manusiawi, ditutupnya lokalisasi akan menimbulkan persoalan baru, yaitu menambah kemiskinan.

Pernyataan yang dikemukakan Bupati Widya ini menunjukkan cara berfikir yang pragmatis, kompromis dan sekuler. Sebagai seorang pengambil kebijakan, sudah selayaknya Bupati Widya menyampaikan pernyataan dan membuat kebijakan yang

yang justru bisa memberikan solusi, apapun konsekuensinya.

Meski beberapa media menganggap pernyataan tersebut wajar mengingat mengurusi masalah PSK memang merupakan pekerjaan berat, terutama bagi mereka yang menjabat sebagai pemimpin, namun ini semua justru menunjukkan kepragmatisan Bupati Kendal ini dalam mengambil kebijakan sehingga bersikap kompromis terhadap kemaksiyatan.

Padahal pelacur yang meskipun diperhalus dengan sebutan Pekerja Seks Komersial (PSK) tetaplah pelaku zina. Hukuman di dunia bagi orang yang berzina adalah dirajam (dilempari batu) jika ia pernah menikah, atau dicambuk seratus kalijika ia belum pernah menikah lalu diasingkan selama satu tahun. Jika di dunia ia tidak sempat mendapat hukuman tadi, maka di akhirat ia disiksa di neraka. Bagi wanita pezina, di neraka ia disiksa dalam keadaan tergantung pada payudaranya.

Saat Bupati Kendal menyatakan bahwa faktor kemiskinan seringkali menjadi alasan utama PSK terjun ke lembah prostitusi, ini justru membuktikan bahwa negara ini abai terhadap rakyatnya. Sulitnya mendapatkan pekerjaan dan keterbatasan skill akibat mahalnya pendidikan, memaksa para perempuan untuk bekerja yang sejatinya itu bukan merupakan kewajiban mereka.

Jika dikatakan bahwa menutup lokalisasi adalah tindakan tidak manusiawi, maka tindakan negara yang menarik pajak dari perempuan yang menjual tubuhnya demi menafkahi keluarganya, layak dikatakan sebagai tindakan yang LUAR BIASA tidak manusiawi. Alih-alih berempati dengan rakyat yaitu dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan memberikan pemenuhan kebutuhan masyarakat, negara ini justru mendapatkan anggaran pendapatannya dari ‘meminta-minta’ pada kemaksiyatan yang dilakukan masyarakatnya.

Islam mewajibkan pencari nafkah adalah suami. Namun jika suami tidak mampu, maka hal itu menjadi tanggung jawab ahli warisnya. Jika ternyata baik suami maupun kerabat dekat tak ada atau tidak mampu menafkahi, maka negara Islamlah yang akan menafkahi perempuan tersebut melalui Kas Negara.

Maka hanya dalam sistem Islamlah perempuan tidak mengalami diskriminasi dan eksploitasi. Adanya jaminan Syariah Islam memastikan perempuan terpenuhi segala kebutuhan hidupnya. Ketika perempuan dalam Islam menjalankan fungsi utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, mengasuh, mendidik dan membina anak-anak mereka, menanamkan kepada mereka kecintaan kepada Allah, Rasul, Al-Qur’an serta menempa kepemimpinan anak-anaknya, maka saat itulah baru bisa dikatakan perempuan itu sebagai ‘Pahlawan Keluarga’[Wita Dahlia]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *