MuslimahWebID–Jelang pemilu 2014, isu keterlibatan perempuan dalam dunia politik mencuat kembali. Perempuan yang dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengalaman langsung dengan masalah kesehatan reproduksi, kesehatan keluarga, harga sembilan bahan pokok, pendidikan anak, kekerasan dalam rumah tangga dan lainnya dianggap sebagai alasan yang tepat bagi perempuan untuk ikut menjadi pembuat keputusan politik. Demikian pula sifat sabar dan ulet yang kerap disandangkan pada perempuan dianggap sebagai sifat yang mampu menangani masalah rakyat yang rumit dan njlimet.
Jumlah perempuan di atas dunia ini adalah 50 persen dari total penduduk dunia. Dengan potensi ini, tak heran jika perempuan menjadi pihak yang banyak dimanfaatkan keberadaannya terutama oleh partai politik. Perempuan terus dibombardir dengan isu persoalan gender, mulai dari diskriminasi, kemiskinan, rendahnya tingkat kesehatan hingga pelecehan seksual.
Banyak pihak menganggap, keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam kebijakan afirmasi (affirmative action) atau kebijakan yang bersifat mendorong terhadap perempuan dalam bidang politik, seperti yang tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD, maupun UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagai sebuah solusi dalam menyelesaikan persoalan perempuan. Harapannya, kalau perempuan terwakili dalam menentukan kebijakan publik, seharusnya persoalan-persoalan perempuan dapat tertangani secara signifikan.
Pertanyaannya, benarkah keterlibatan perempuan di parlemen menjadi solusi bagi persoalan perempuan?
Sejatinya, persoalan yang menimpa kaum perempuan bukan disebabkan oleh banyak atau tidaknya jumlah mereka di parlemen. Sistem kapitalisme yang memandang segala sesuatunya dari sudut ekonomi menjadikan perempuan dihargai sesuai dengan nilai kekayaan yang mereka hasilkan. Dengan ini, mereka telah membebani diri dengan menjadi pencari nafkah sekaligus manajer rumah tangga. Kapitalisme mengobarkan perang terhadap peran keibuan, merampas waktu para ibu bersama anak-anak mereka serta mengorbankan tugas penting mereka sebagai pengasuh dan pendidik generasi masa depan.
Kapitalismelah yang telah memberikan label harga kepada perempuan, menjadikan mereka layaknya budak ekonomi, dan memperlakukan mereka seperti obyek untuk menghasilkan kekayaan. Kapitalisme juga telah membuat para perempuan berjuang sendirian tanpa jaminan finansial dan membebaskan para pria dan negara dari tanggung jawab mereka untukmenyediakan pemenuhan kebutuhan keluarga. Maka keberadaan perempuan di parlemen dengan memanfaatkan bahasa ‘pemberdayaan perempuan’ nyatanya hanyalah mengeksploitasi perempuan.
Hal ini dapat ditelusuri dengan melihat hubungan antara keterwakilan perempuan dengan persoalan perempuan. Secara kuantitatif, keterwakilan perempuan di parlemen terus mengalami peningkatan dibanding Pemilu 2004 dan Pemilu 1999. Pada Pemilu 2004, persentase caleg DPR dari perempuan 32,2 persen. Persentase ini meningkat jumlahnya pada Pemilu 2009, yakni 34,7 persen. Ini berbanding terbalik dengan kasus KDRT yang disinyalir sebagai permasalahan perempuan. Komnas Perempuan melaporkan bahwa KDRT terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus KDRT, di tahun 2002 meningkat 61% pada tahun 2002 (5.163 kasus). Pada tahun 2003, kasus meningkat kembali 66% menjadi 7.787 kasus, lalu tahun 2004 meningkat 56% (14.020) dan tahun 2005 meningkat 69% (20.391 kasus).
Belum lagi data mengenai trafficking (perdagangan perempuan dan anak) yang dilaporkan oleh International Organization for Migration (IOM), bahwa Indonesia menduduki posisi teratas sebagai negara asal korban perdagangan manusia. Lihatlah pula dengan permasalahan TKW yang disiksa majikan. Paling ringan mereka pulang ke Indonesia dengan cacat badan dan tak sedikit yang meninggal di negeri orang. Kasus perceraian yang semakin meningkat hingga tahun 2009 menembus 250 ribu kasus yaitu meningkat 20% disbanding tahun 2008. Dan masih banyak kasus ‘mengerikan’ lainnya seperti kekerasan seksual, pemerkosaan yang kian hari kian marak.
Jika demikian, masihkah kita berharap bisa melakukan perubahan dan menyelesaikan persoalan perempuan dengan jalan demokrasi?
Demokrasi adalah sistem yang rusak karena melaui akidah sekulerisme, demokrasi telah mencabut hak Allah SWT sebagai pembuat hukum dan pengatur kehidupan. Politik dalam bingkai demokrasi adalah jalan untuk meraih kekuasaan bagi yang kuat dan berpengaruh secara modal dan kekuasaan. Untuk menang dalam kompetisi pesta demokrasi membutuhkan biaya yang besar, melebihi kekayaan yang dimiliki, sehingga ketika meraih kursi yang hanya lima tahun, alih-alih mengurusi persoalan perempuan, si pemenang –yang katanya mewakili suara perempuan—justru sibuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan untuk pengembalian modal.
Maka perempuan berpolitik, itu harus. Tapi bukan dengan menyuarakan sistem bobrok yang justru menghancurkan hidupnya. Melainkan dengan menyerukan perubahan mendasar yaitu sistem Islam yang bisa menjamin terwujudnya perubahan dan kehidupan yang baik dan diridhai Allah SWT. Sistem yang bukan saja merupakan rahmat bagi perempuan, tapi juga rahmat bagi seluruh alam. Wallahu A’lam Bi Showab. [Wita Dahlia]
*Sumber gambar klik di sini