MuslimahWebID–Baru-baru ini sejumlah media cetak memuat berita tentang penyiksaan seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja di Taiwan. TKW yang bernama Sihatul Alfiah (27) koma selama empat bulan di Taiwan setelah sebelumnya bekerja di kandang sapi dan mendapat penyiksaan dari majikannya berupa pukulan, tendangan dan tamparan di wajah, kepala serta seluruh tubuhnya. Tragisnya, bukannya dirawat di Rumah Sakit, saat itu Sihatul justru ditempatkan di panti jompo.
Kenyataan ini sungguh memprihatinkan. Sebab fenomena penyiksaan TKI/TKW yang kerap kita dengar dan saksikan kebanyakan terjadi di negara-negara Timur Tengah. Namun dengan adanya kasus penyiksaan TKW di Taiwan, ini mementahkan anggapan kita bahwa TKW di Hongkong dan Taiwan jauh lebih aman dan terjamin.
Fakta ini menunjukkan bahwa posisi TKW mau di mana pun ia bekerja, ia tetaplah TKW yang tidak memiliki posisi tawar. Mengapa demikian? Karena pihak pemerintah tidak memberikan perlidungan fisik bagi TKW. Misalnya saja saat TKW bermasalah dengan majikan. Biasanya pihak agen tidak melakukan pembelaan terhadap TKW dengan alasan TKW terikat kontrak dengan majikannya. Maka hal yang kerap dilakukan TKW adalah melarikan diri alias kabur. Saat kabur itulah ia disebut sebagai TKW illegal karena dokumen yang bersangkutan biasanya di pegang oleh agen atau oleh majikannya.
Kalau pun ia kembali ke tanah air dan melaporkan hal ini, maka pihak pemerintah HANYA melakukan kecaman terhadap negara penempatan dan mengungkapkan keprihatinan. Ini ibarat pemadam kebakaran yang memadamkan api setelah kebakaran terjadi. Sudah terlambat.
Kondisi ini terjadi tidak lain akibat adanya kesalahan cara pandang pemerintah dalam memaknai keberadaan TKW. Posisi tenaga kerja oleh pemerintah disamakan dengan dengan komoditas lain yang sama-sama memberikan keuntungan sehingga perlu terus dilakukan dan diberdayakan. Tak heran jumlah TKI menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia mencapai 3,8-4 juta.
Kalaupun pemerintah terus mengirim tenaga kerja kerja ke luar negeri, itu karena sumbangan devisa negara yang berasal dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih menduduki urutan kedua terbesar setelah sektor minyak dan gas (migas). Pada tahun 2009 saja, devisa TKI melalui pengiriman remitansi ke Tanah Air mencapai US$ 6,617 miliar. Tak heran pemerintah memberikan slogan indah bagi TKI yaitu Pahlawan Devisa seperti yang terpampang di Bandara Soekarno-Hatta. Namun saat menyaksikan derita mereka tidak pernah ditangani dengan serius, slogan ini justru terasa menggelikan. Bagaimana mungkin, pahlawan diperlakukan seperti budak.
Pemerintah sejatinya adalah pelindung rakyat. Keberadaan pemerintah bagaikan ‘ibu’ yang harusnya selalu menjaga anak-anaknya. Tak terkecuali pada TKI. Oleh sebab itu dalam Islam, pemerintah berfungsi sebagai penanggung jawab (al imam raa’in) atas kebutuhan semua rakyat. Pemerintah juga semestinya berperan sebagai perisai dan pelindung atas kesulitan dan masalah yang menimpa warganya di manapun berada (al imam junnah). Maka terkait dengan masalah TKI, dibutuhkan solusi yang komprehensif. Bentuk kecaman pada negara penempatan TKI tentu tidak banyak memberikan pengaruh. Demikian pula dengan pernyataan keprihatinan, itu tidak akan memberikan solusi tuntas.
Meskipun Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI mengungkapkan bahwa keberadaan TKI memberikan kontribusi besar bagi perekonomian dan mengatasi persoalan kemiskinan, namun bukan berarti pemerintah mengabaikan mudharat dari kebijakan ini. Kemaslahatan, pendapatan dan keuntungan besar dari perdagangan internasional bisa didapat oleh negara bila tidak bertentangan dengan prinsip pemerintah sebagai penanggung jawab.
Maka solusi yang tepat adalah, negara mebuka lapangan kerja lebih luas dengan cara mebuka berbagai proyek pembangunan serta pengambilalihan pengelolaan sumber daya alam yang selama ini diserahkan pada asing. Dengan pengambilanalihan pengelolaan sumber daya alam tadi, negara juga mampu member kemudahan warganya dalam mengenyam pendidikan. Serta yang tak kalah penting, negara harus memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap negara-negara penempatan TKI. Dengan berbekal pendidikan tinggi dan jaminan perlindungan dari negara inilah TKI akan menjadi sosok ahli yang tentu kehadirannya tidak sama dengan tenaga buruh[]
Adapun solusi bagi TKW, Islam mewajibkan pencari nafkah adalah suami. Namun jika suami tidak mampu, maka hal itu menjadi tanggung jawab ahli warisnya. Jika ternyata baik suami maupun kerabat dekat tak ada atau tidak mampu menafkahi, maka negara Islamlah yang akan menafkahi perempuan tersebut melalui Kas Negara. Dengan tidak tersibukkannya perempuan dalam mencari nafkah bagi diri dan keluarganya, maka sehingga peran strategisnya sebagai ibu pendidik generasi tetap terpelihara [Wita Dahlia]
*Sumber gambar klik di sini