Apa yang harus dilakukan seorang wanita yang pernah diperkosa pada masa belum balighnya, saat ia harus memikirkan sebuah pernikahan / menerima pinangan? meskipun sudah mengikhlaskan.. [email dari izpu]
JAWAB:
Jika seorang wanita melakukan kesalahan di masa lalu secara sembunyi-sembunyi, lalu kemudian dia menyesali perbuatannya dan bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenarnya.maka Allah telah menutupi aibnya. Oleh karenanya, jangan sekali-kali dia membukanya, termasuk kepada calon suami. Keluarga dan temannya yang mengetahui aib tersebut pun hendaknya menutupinya dan tidak ikut membukanya.
Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada ‘Umar bin Khaththab meminta fatwa seraya berkata, “Sesungguhnya putriku pernah menjalani hukuman Allah dan ia pun mengambil pisau untuk menyembelih dirinya, lalu kami menyelamatkannya sedang ia telah mengiris sebagian lehernya, maka kami mengobatinya sampai sembuh, kemudian ia bertobat setelah itu dengan tobat yang baik. Sekarang ia dipinang orang . Apakah harus kuberitahukan kepada mereka peristiwa yang telah terjadi?”
Umar menjawab, “Apakah engkau bermaksud menampakkan apa yang telah ditutup Allah? Demi Allah, seandainya engkau memberitahukannya kepada seseorang, niscaya kujadikan dirimu sebagai pelajaran bagi penduduk kota. Pergilah dan nikahkanlah dia seperti nikahnya seorang perempuan terhormat dan muslimat.”
Diperkosa adalah bukan perbuatan yang disengaja, tetapi dipaksa. Wanita yang diperkosa adalah korban bukan pelaku. Walau diperkosa sering menyisakan trauma, namun tak perlu si wanita terbebani pikiran bahwa dirinya pernah diperkosa jika akan menikah. Walaupun demikian, diperkosa adalah aib, sehingga tetap harus ditutupi. Oleh karena itu wanita yang pernah diperkosa hendaknya dinikahkan sebagai wanita yang terhormat dan muslimat.
Adapun hal yang harus diberitahukan kepada calon suami adalah jika ada cacat yang menyebabkan sulit terjadinya hubungan seksual, atau ada sesuatu bopeng atau luka berbekas di dekat alat kelamin istri yang menghilangkan gairah suami untuk berhubungan suami istri, atau adanya penyakit menular yang mematikan, seperti AIDS, yang diidap oleh calon istri. Jika calon suami tidak menerima keadaan calon istrinya maka pernikahan tidak perlu dilangsungkan. Sebaliknya, jika calon suami menerima keadaan calon istrinya maka pernikahan bisa dilangsungkan.[Sumber: MediaIslamNet]
*Sumber gambar klik di sini