TEMPO, MUI, dan Label Halal

Butcher-selling-halal-mea-006Seperti biasa, setiap Senin saya selalu mengunjungi laman Majalah TEMPO. Berbekal akses masuk ke laman tersebut yang saya dapatkan dari seorang kenalan ‘orang dalam’ TEMPO, saya bisa ‘menguras’ isi majalah tersebut dalam versi digital. Sebenarnya tak begitu aneh dengan gaya Majalah TEMPO yang selalu menyerang Islam dalam beberapa terbitannya. Kali ini, majalah yang tak bisa dilepaskan dari pengaruh seorang tokoh liberal bernama Gunawan Mohamad menurunkan berita dengan headline: “Astaga! Label Halal” pada Senin, 24 Februari 2014. Saya penasaran, maka mulailah melahap edisi online-nya. Bahkan saya meng-copy artikel-artikel di laporan utama tersebut ke dalam format software pengolah kata.

Membaca laporan Majalah TEMPO edisi 24 Februari 2014 tersebut saya mendapat kesan bahwa label halal itu memiliki peluang untuk disalahgunakan. Namun, berita yang diturunkan TEMPO bernada melecehkan MUI sebagai satu-satunya lembaga yang mengurus sertifikat halal bagi produk-produk yang dikonsumsi kaum muslimin. TEMPO menuding ada oknum MUI yang menerima sejumlah uang dalam proses labelisasi halal di beberapa negara (khususnya di Australia dan beberapa negara di Eropa). Menyimak berita-berita dari media massa lainnya, malah mengarah kepada bagi-bagi jatah kepada lembaga lain dalam memberikan label halal agar tak dimonopoli MUI. Makin runyam.

Saya mencoba menyikapi berita ini dengan dua hal. Pertama, kaum muslimin memang memerlukan lembaga yang mengawasi kehalalan suatu produk yang dikonsumsinya. Kepastian apakah suatu produk tersebut layak dikonsumsi atau tidak dengan ukuran halal-haram. Kedua, memang harus diakui ada celah untuk berbuat curang dalam mengeluarkan sertifikat halal suatu produk atau jasa yang berkaitan dengan kehalalan sebuah produk. Sebabnya, para ulama juga bisa saja khilaf dan bisa berbuat salah.

Atas dua alasan itu saya mencoba memberikan pendapat. Untuk alasan pertama, seharusnya negara menjamin kehalalan produk atau jasa yang berkaitan dengan kehalalan sebuah produk agar warga negara (khususnya kaum muslimin) merasa tenang mengkonsumsi makanan atau minuman karena sudah bisa dipastikan kehalalannya. Bagi kita, kaum muslimin, memang tak asal santap atau tenggak. Namun wajib memastikan kehalalan makanan dan minuman yang hendak dikonsumsi.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya.” (QS al-Maa’idah [5]: 88)

Dalam ayat lain, Allah Swt. menjelaskan:“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 168)

Dalam hadits ke sepuluh dari kumpulan Hadits Arba’in karya Imam an-Nawawi dijelaskan bahwa: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Berkatalah Rasulullah shalalllahu ‘alahi wa sallam,: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu thoyyib (baik) tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Sesungguhnya Allah menyuruh orang-orang yang mukmin sebagaimana yang telah Dia perintahkan kepada para Rasul.” Allah Ta’ala berfirman: “Wahai para Rasul, makanlah (kalian) dari makanan yang baik-baik, dan berbuatlah amal shalih”, dan firman Allah Ta’ala.,:”Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari makanan yang baik-baik apa yang Kami anugerahkan rizki kepada kalian”. Lalu Rasulullah menyebut seorang lelaki yang berlayar jauh, hingga kusutlah rambutnya dan kotor, ia mengangkat kedua tangannya ke langit (seraya berkata): “Ya Tuhan, Ya Tuhan” (ia bermohon) sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan (badannya) dengan barang haram, maka bagaimana yang demikian itu akan dikabulkan (diijabahi)?”. (HR Bukhari dan Muslim)

Saat ini, memang peran negara di sini sudah diwakili oleh MUI sebagai pengawas dan penjaga umat Islam. Kita patut bersyukur. Sebab, akan terasa sulit manakala produk yang dijual bebas di pasaran tanpa kita tahu apakah produk tersebut halal atau haram. Adanya sertifikat halal, dan dalam sebuah produk cukup dilihat logo label halalnya dari MUI, insya Allah produk tersebut halal dikonsumsi.

Nah, menyambung ke alasan kedua, dengan kondisi seperti ini maka pemberian sertifikat halal kepada sebuah produk yang didaftarkan itu seharusnya gratis, sehingga tak ada peluang ‘kongkalingkong’ antara pengusaha dan oknum di MUI dalam pemberian sertifikat dan label halal tersebut yang ujungnya memang duit. Negara berkewajiban mendukung program ini. Bukan hanya memberikan kewenangan kepada MUI semata untuk mengelolanya.

Jadi, bagaimana dengan pemberitaan di Majalah TEMPO tersebut? Jangan mudah percaya, jangan ditelan mentah-mentah, apalagi dengan track record media ini yang lebih senang menyerang Islam. Bagimana dengan MUI sendiri? Memang masih punya peluang ada oknum yang bisa ‘kongkalingkong’ dalam urusan label halal ini. Meskipun terkategori ulama, namun tetap masih manusia. Pastinya peluang berbuat salah masih ada.

Sayangnya, kondisi negeri ini memang masih menerapkan sistem Kapitalisme-Sekularisme. Akibatnya, cara pandang manusianya, termasuk kaum muslimin adalah cara pandang khas kapitalis yang ukurannya selalu dengan uang, materi dan sejenisnya untuk meraih tujuan dan juga kebahagiaan. Meskipun itu semu.

Salam,
O. Solihin | Twitter @osolihin

*gambar dari sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *