Iddah Sang Ratu di Rutan Pondok Bambu

248283_620Belum lama, media menampilkan Ratu Atut yang menangis berduka karena kematian suaminya. Kembali kini Ratu Atut menangis tersedu-sedu di Rutan Pondok Bambu. Ini karena KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menetapkannya sebagai tersangka. Dalam kasusnya Atut dinyatakan turut serta bersama tersangka Tubagus Chaeri Wardana (adik kandungnya) dalam suap terhadap ketua MK Akil Mochtar. Selain itu Ratu Atut juga ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus alat kesehatan Tangerang Selatan.

Sejujurnya saya prihatin. Bukan kepada Sang Ratu yang bergaya hidup mewah dan membenarkan korupsi. Bukan pula kepada sedu sedan tangis dengan air mata yang terus mengalir. Kali ini bukan untuk itu. Tetapi kepada sebuah hukum syara’ terkait wanita muslimah yang sudah sangat banyak orang melupakan. Yaitu Masa Iddah berkabung saat kematian suami.

Agar mudah memberi gambaran penjelasan hukum ini, maka saya menyampaikan sekelumit  pengalaman pribadi. Ketika kematian suami saya, seorang kakak kelas (pembina pengajian pertama saya di IPB) mengirimkan SMS kurang lebih berikut ini: “Dik, saya tidak tahu apakah nanti saya mampu menjalaninya, tapi saya ingin mengingatkan hukum iddah kematian suami yang selama ini diabaikan dan sulit sekali dijalankan oleh saudari-saudari kita. Saya yakin adik bisa menjalaninya…). Pesan ini adalah yang pertama kali mengingatkan saya. Sebelumnya dalam sebuah pengajian yang dihadiri saya dan suami (sebelum kematiannya), Allah SWT memberi kesempatan saya untuk mempelajarinya.

Masa Iddah karena Kematian Suami

Berbeda dengan masa iddah perceraian, maka hadits khusus mengenai masa iddah kematian suami adalah sebagai berikut:

1. Iddah kematian suami, sementara istri dalam keadaan tidak hamil

Allah berfirman:

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri- isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” [Al Baqarah:234].

Dari Zainab bintu Abu Salamah, beliau berkata :

Aku telah mendengar Ummu Salamah berkata: “Seorang wanita datang menemui Rasulullah dan berkata,’Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya putriku ditinggal mati suaminya, dan ia mengeluhkan sakit pada matanya. Apakah ia boleh mengenakan celak mata?’.” Lalu Rasulullah menjawab “Tidak!” sebanyak dua atau tiga kali, semuanya dengan kata tidak. Kemudian Rasulullah berkata: “Itu harus empat bulan sepuluh hari, dan dahulu, salah seorang dari kalian pada zaman jahiliyah membuang kotoran binatang pada akhir tahun.”[HR Bukhori]

“Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya.[HR. Muslim]

Dan juga hadits Ummu Athiyah radhiallahu anha dia berkata:

 “Kami dilarang berkabung atas kematian di atas tiga hari kecuali atas kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu dia tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian ashab. Dan kami diberi keringanan bila hendak mandi seusai haid untuk menggunakan sebatang kayu wangi. Dan kami juga dilarang mengantar jenazah.” (HR. Al-Bukhari-Muslim)

Dari Al-Furai’ah binti Malik bin Sinan yang merupakan saudari Abu Sa’id Al Kudri dia berkata:

 “Bahwa ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta izin kepada beliau untuk kembali kepada keluarganya di antara Bani Khudrah, karena suaminya keluar mencari beberapa budaknya yang melarikan diri hingga setelah mereka berada di Tharaf Al Qadum ia bertemu dengan mereka lalu mereka membunuhnya. Dia berkata, “Maka aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kembali kepada keluargaku, karena ia (suami) tidak meninggalkan rumah dan harta untukku.” Ia berkata, “Kemudian aku keluar hingga setelah sampai di sebuah ruangan atau di masjid, beliau memanggilku dan memerintahkan agar aku datang. Kemudian beliau berkata: “Apa yang tadi engkau katakan?” Kemudian aku kembali menyebutkan kisah yang telah saya sebutkan, mengenai keadaan suamiku. Maka beliau bersabda, “Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa ‘iddahmu.” Ia berkata, “Maka aku ber’iddah di tempat tersebut selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, An-Nasai, dan Ibnu Majah)

2. Iddah kematian suami, sementara istri dalam keadaan hamil

Maka iddahnya adalah sampai dia melahirkan kandungannya, walaupun itu hanya beberapa hari setelah kematian suaminya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)

Ini juga diperjelas dalam hadits Al-Miswar bin Makhramah radhiallahu anhu dia berkata:

“Subai’ah Al Aslamiyyah melahirkan beberapa hari setelah suaminya wafat, lalu ia pun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta izin untuk menikah. Maka beliau pun mengizinkannya.” (HR. Al-Bukhari )

Antara Tidak Tahu, Tidak Mau dan Tidak Mampu

Entah kenapa di masa sekarang ini, ternyata jarang kaum wanita yang melaksanakan hukum menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Beberapa alasan yang diutarakan kepada saya, antara lain:

  1. Saya tidak biasa berdiam di rumah. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa bertahan hanya di rumah saja dalam waktu selama itu.
  2. Saya punya keperluan untuk belanja ke supermarket, untuk urusan sekolah anak, untuk urusan keuangan (minimal mengambil uang di ATM), untuk urusan ke dokter, untuk urusan ke salon dll.
  3. Saya terikat dengan pekerjaan kantor
  4. Saya terikat dengan  kewajiban dakwah
  5. Saya memiliki begitu banyak tanggung jawab dan urusan.
  6. Saya tidak tahu kalau hukumnya seperti itu
  7. Dan alasan terekstrim adalah, saya tidak mau (ini bagi yang tidak bersedih karena suaminya sering berselingkuh)

Subhanallah. Allahu Akbar. Sesungguhnya hukum Allah adalah yang terbaik. Di mana ada syara’ di sanalah ada maslahat bagi manusia.

Dengan demikian, pelaksanaan suatu hukum haruslah diawali dengan niat, dijalani dengan kesungguhan dan dipenuhi dengan rasa tawakkal. Dalam perjalanan pelaksanaan hukum ini, insya Allah ada pertolongan-pertolonganNya.

Bagi seorang istri yang berduka, menjalani masa iddah menjadi sebuah kemudahan untuk mengatasi rasa berkabung. Bagi saya sendiri, memang tidak mudah kehilangan suami, ayah dari anak-anak, kekasih sekaligus sahabat terdekat dan kawan seperjuangan. Kehidupan bagai berhenti sejenak. Namun masa iddah memberi peluang besar untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT, Sang Pemilik segala sesuatu yang hidup dan mati, Sang Pemilik waktu, dan Dzat  yang kepadaNya segala sesuatu bergantung, baik yang terindera maupun yang tidak terindera.

“Wa man ahsanu minAllaahi hukman liqaumiy yuuqinuun: Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah, bagi orang-orang yang meyakini.

Ini adalah satu masa pelaksanaan hukum bagi kaum wanita, ketika suami mereka lebih dahulu menjemput kematian.

Perlu Dukungan Keluarga, Masyarakat dan Negara

Kenyataannya, kaum wanita tidak bisa sendiri dalam menjalani hukum masa iddah berkabung karena kematian suaminya. Saya bersyukur, bahwa ketika niat dikukuhkan, maka Allah SWT memudahkan. Suami saya banyak meninggalkan hal-hal yang baik. Beliau meninggalkan anak-anak yang baik, murid-murid yang baik, sahabat-sahabat yang baik, tetangga-tetangga yang baik dan amal-amal dakwah yang baik, hingga kami bisa meneruskannya dengan mudah.

Namun tidak semua saudari-saudari muslimah memiliki kemudahan ini. Dalam hal ini, mereka tidak bersalah, karena terpaksa, keadaan memaksa demikian. Ada yang harus bekerja membiayai anak-anaknya, karena tidak ada kerabat yang mampu menafkahi. Ada yang harus berpindah rumah, karena kontrakan habis. Ada yang harus menjalankan segala urusannya sendiri. Tidak sedikit tetangga yang tak peduli, karena hidup sama-sama susah. Masyarakat juga tak mau ambil pusing. Bagaimana dengan negara? Negara apalagi!

Kembali lagi ke berita tentang Sang Ratu di  balik Rutan Pondok Bambu. Terlepas dari memang akibat ulahnya sendiri, namun negara sepertinya tak peduli, bahwa ia adalah istri yang  sedang berkabung kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Entahlah, apakah ia sendiri juga peduli. Bagi saya, hukum syara’lah yang harus kita pedulikan. Untuk segera ditegakkan oleh negara, dengan dukungan masyarakat dan seluruh individu muslim. Bukan hanya hukum iddah yang kelak akan mudah dijalankan, namun juga hukum-hukum seluruh aspek kehidupan manusia. Innil hukmu illa Lillah. [LM, 24 Desember 2013]

*gambar dari sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *