“Kecele Kedele”

Liputan Khusus Diskusi Aktual Pesantren Media, Rabu, 25 Juli 2012

 

Rabu, 25 Juli 2012, Pesantren Media kembali menyelenggarakan Diskusi Aktual. Diskusi kali ini membahas tentang kenaikan harga kedelai yang menyebabkan pemogokan produksi tempe dan tahu di daerah Jabotabek selama tiga hari. Diskusi ini diselenggarakan di lantai dasar gedung Pesantren Media, yang dihadiri oleh Direktur Pesantren Media, Ustad Ir. Umar Abdullah, selaku pemimpin diskusi, beserta seluruh santri baik dari Pesantren Media maupun santri Home Schooling.

Diskusi yang biasanya dimulai pukul 15.30 WIB, kali ini diajukan pada pukul 15.00 WIB, karena seluruh santri harus sudah berada di masjid Nurul Iman pada pukul 17.00 WIB untuk membimbing anak-anak mengaji menjelang berbuka. Dan tidak seperti biasanya, Ustad Oleh Solihin tidak dapat hadir dalam diskusi, jadi diskusi pun dimulai tanpa beliau.

Diskusi dimulai dengan sedikit pembukaan dari Ustad Ir. Umar Abdullah. Ustad Umar menjelaskan bahwasannya Amerika Serikat, selaku pemasok utama kedelai ke Indonesia, sedang mengalami kekeringan sehingga produksi kedelai menurun, dan kenaikan harga kedelai pun tidak bisa dihindari. Hal ini berimbas kepada para pengusaha tempe dan tahu yang kebutuhan akan kedelai sebagai bahan dasar produksinya tinggi. Karena kenaikan harga, harga kedelai pun menjadi sangat tinggi, sehingga para pengusaha tempe dan tahu dibingungkan dan para pengusaha tempe dan tahu di daerah Jabotabek pun memutuskan untuk mogok memproduksi tempe dan tahu selama tiga hari.

Penjelasan Ustad Umar terpaksa dihentikan dulu karena adzan Ashar sudah dikumandangkan. Kami pun break sejenak untuk melaksanakan shalat Ashar di Masjid Nurul Iman, tak jauh dari Pesantren Media, tempat kami mengadakan diskusi.

Setelah shalat Ashar, penjelasan pun dilanjutkan dengan arti dari judul diskusi ini. “Siapa yang tahu arti dari ‘Kecele Kedele’?” tanya Ustad Umar.

Sebagai orang Jawa yang memahami bahasa Jawa dengan baik, aku pun segera mengangkat tangan. “Tertipu kedelai,” jawabku.

“Ya, betul. ‘Kecele kedele’ berasal dari bahasa Jawa yang artinya adalah ‘tertipu kedelai’.”

Setelah menjelaskan makna dari judul diskusi ini, Ustad Umar pun segera membuka sesi pertanyaan. “Baik, siapa yang mau bertanya, silahkan angkat tangan.”

Beberapa dari kami mengacungkan tangan, termasuk aku. Ustad Umar menghitung jumlah santri yang akan bertanya. Ada delapan.

“Silahkan!”

“Kenapa pemerintah harus mengimpor dari Amerika? Jika Amerika sekarang sedang kekeringan, mengapa tidak mengimpor dari negara lain?” pertanyaan ini berasal dariku.

“Bagaimana pandangan Islam tentang pemogokan produksi tempe tahu di Jakarta yang masih berlangsung sampai hari ini?” pertanyaan ini berasal dari Khoirul Anam, santri tahun pertama Pesantren Media tingkat SMA.

“Apa dampak jika harga kedelai dibiarkan melambung tinggi, dan apakah dampaknya dapat merembet sampai ke pengeluaran negara?” yang ini dari Muhammad Yasin, yang juga sekelas denganku dan Anam.

Abdullah, santri Home Schooling pun tak ingin ketinggalan bertanya. “Kenapa memilih judul ini?”

Ustad Umar terkekeh sejenak. “Ya, ya. Yang dari akhwat?”

Pertanyaan selanjutnya datang dari Dini, santriwati tahun pertama Pesantren Media tingkat SMA. “Bagaimana cara menstabilkan harga kedelai kembali?”

“Kenapa kalau di AS naik, tidak memasok dari lokal saja?” pertanyaan ini berasal dari Via, santriwati yang sekelas dengan Dini.

“Fatimah, tadi angkat tangan, kan?” Ustad Umar bertanya pada Fatimah, santriwati SMP Pesantren Media tahun pertama.

“Tadi pertanyaan saya mirip dengan punya Kak Hawari,” jawab Fatimah. Hm, kebetulan sekali pertanyaan kami sama.

“Manfaat tempe bagi masyarakat itu sebenarnya apa, sih?” Kak Novia memberikan pertanyaan terakhir untuk sesi bertanya.

Setelah itu, kami pun masuk ke sesi menjawab pertanyaan. Ustad Umar mengurutkan menjawab pertanyaan sesuai dengan bobot pertanyaan tersebut. Dan ternyata, pertanyaan Abdullah lah yang mendapat bobot yang paling ringan, yang berarti dijawab pertama.

“Baik, pertanyaan dari Abdullah ada yang mau menjawab? Kenapa memilih topik ini?”

Aku mengangkat tangan. “Karena, topik ini lah yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh media.”

“Ya, karena ini forum diskusi aktual, apa-apa yang bersifat aktual dibahas di sini. Nah, sesuatu yang aktual, yang sedang banyak dibicarakan oleh orang, atau sesuatu yang penting diketahui oleh santri, maka itu yang dibahas. Meskipun itu tentang tempe! Yang kedua, karena semua rakyat Indonesia mengkonsumsi tahu dan tempe. Ada juga yang tidak bisa makan selain dengan tahu dan tempe. Dan sekarang, khususnya di Jakarta, tempe dan tahu akan hilang selama tiga hari ini, dan nanti hari Sabtu, akan ada kenaikan tempe dan tahu. Kalau orang jawa bilang, istilahnya itu genti rego, ganti harga.” Ustad Umar pun menambahkan. “Selain itu, di Indonesia ini banyak sekali pengrajin tempe dan tahu, jadi kalau harga kedelai, pengrajin tempe dan tahu yang sangat banyak itu akan sangat dirugikan.”

Setelah menjawab pertanyaan Abdullah dengan cukup panjang, Ustad Umar lalu melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya. “Kemudian, hm, pertanyaan dari Novia. Manfaat tempe bagi masyarakat itu sebenarnya apa, siapa yang bisa menjelaskan?”

Dini mengangkat tangan. “Ya, Dini, silahkan.”

“Tempe itu sebagai antioksidan, memiliki protein yang tinggi, dan Dini pernah baca, katanya protein dalam tempe itu lebih tinggi dari protein dalam hewan.”

“Ha? Masa protein dari tempe lebih tinggi dari apa yang ada dalam hewan?” Ustad Umar sedikit terkejut. “Mungkin memang ada yang berkata begitu, ya, tapi setahu saya, protein tertinggi itu ya dari hewan. Perbandingan satu telur itu proteinnya sama dengan tiga potong tempe.” Ustad Umar kembali melanjutkan. “Tempe memang menjadi antioksidan, pencegah penyakit. Dan keunggulan tempe adalah, protein yang ada dalam tempe itu adalah jenis protein lunak, sehingga mudah diuraikan.”

“Kemudian, pertanyaan dari Hawari. Kenapa tidak mengambil dari negara lain, ada yang bisa menjawab?”

Yasin mengangkat tangan. “Karena hutang Indonesia kepada Amerika sudah sangat banyak, jadi Indonesia harus terus membeli kedelai dari Amerika.”

“Oh, begitu, ya?” Ustad Umar tampak terkejut. “Memang ada, ya, perjanjian seperti itu? Ada nggak berita seperti itu di media?”

Yasin tersenyum. “Yah… Kemungkinan, ustad.”

“Oh, kemungkinan.” Ustad Umar tertawa ringan sejenak. “Ya, tapi mungkin saja. Maksud saya, ya logis saja. Kita ini jadi negara terjajah secara ekonomi. Wah, kalau itu betul, kurang ajar bener itu! Tapi kita tetap harus punya bukti, apakah memang ada perjanjian dagang seperti itu atau tidak? Coba dicari di media, ya? Betul tidak seperti itu adanya. Atau bisa jadi, karena kita terlalu malas untuk mencari ke negara lain. Brazil kan termasuk produsen kedelai terbesar kedua setelah Amerika. Trus siapa lagi tadi yang mau menjawab?”

Putri, santri tahun pertama Pesantren Media tingkat SMP, mengangkat tangan untuk menjawab. “Karena harga kedelai impor lebih mahal dari kedelai lokal.”

“Oh, salah…” Ustad Umar langsung menjawab. “Harga kedelai impor dan lokal itu lebih tinggi yang lokal. Udah baca di internet belum? Sebelum kenaikan harga ini, kedelai impor sekitar 7000-an, sementara yang lokal 8000-an.”

“Pertanyaan selanjutnya, kenapa tidak mengimpor dari lokal?”

Aku mengangkat tangan. “Dari yang pernah saya baca, kedelai itu lebih cocok hidup di daerah sub tropis ketimbang di daerah tropis.”

Anak ikut menjawab. “Karena harga kedelai lokal lebih mahal.”

“Ya, betul. Karena harganya lebih mahal. Yang namanya produsen, beda seratus saja, sudah tidak mau. Siapa yang pernah melihat orang yang memproduksi sesuatu? Tentunya mereka akan mencari bahan dasar yang paling murah. Beda seratus saja, mereka akan cari yang lain, karena hitungan serataus itu nanti dikalikan sekian sekian. Kalau jawaban tadi, kedelai cocok di subtropis, itu kurang tepat. Karena Indonesia sebenarnya juga bisa ditumbuhi kedelaidengan baik. Hanya saja benih dan caranya saja yang belum bisa dikembangkan, atau malah tidak mau,” jelas Ustad Umar.

“Sekalian menjawab pertanyaan dari Hawari, kenapa mengambil dari negara lain, mungkin karena Indonesia belum mau mencoba mengimpor negara yang lebih baik kedelainya dan lebih murah.”

“Pertanyaan selanjutnya. Apa dampak jika harga kedelai dibiarkan melambung tinggi, apakah dampaknya merembet sampai ke pengeluaran negara? Siapa yang bisa jawab?”

Anam segera menjawab. “Berpengaruh pada penjual gorengan.”

“Haha.. Ya, berpengaruh pada penjual gorengan. Apa pengaruhnya pada penjual gorengan, Anam?”

“Berpengaruh pada penjual gorengan, karena mereka jadi serba salah. Kalau harganya dinaikkan, atau tempenya dikecilkan, pelanggan pasti berkurang.”

“Ya, alternatif pertama bagi penjual gorengan yaitu harga gorengannya dinaikkan atau dikecilkan gorengannya. Dulu, tempe dan tahu goreng itu tebel. Sedikit pengalaman, tahun saya SMP, sekitar tahun 85, makan tempe itu puas sekali. Tapi lama-lama, tempe itu makin kecil dan mengecil. Kemudian, keuntungan pedangang tempe dan tahu jadi menurun. Ayo, apalagi dampak bagi masyarakat, siapa yang mau jawab?”

Aku mengangkat tangan. “Makan tempe dan tahu bagi rakyat Indonesia sudah menjadi seperti kebudayaan. Jika harga kedelai tinggi, harga tempe dan tahu tidak terjangkau, lama-lama Indonesia akan kehilangan budaya makan tempe dan tahu.”

“Ya,” ucap Ustad Umar. “Tempe dan tahu nantinya akan menjadi barang mewah. Budaya makan tahu dan tempe sudah mengakar pada masyarakat Indonesia. Bahkan, sampai ada istilah ‘hanya makan tahu tempe’ untuk orang yang tidak mampu membeli makanan yang lebih mahal. apakah sampai pada pengeluaran negara? Lalu apakah sampai merembet ke pengeluaran negara? Tergantung, apakah negara mau mengeluarkan anggaran untuk menanggulangi pelambungan harga kedelai ini. Apakah pemerintah mau peduli apa tidak, itu bisa mempengaruhi anggaran negara.”

“Lalu pertanyaan selanjutnya, dari Dini. Bagaimana cara menstabilkan harga kedelai? Ada yang bisa menjawab?”

Aku kembali mengangkat tangan. “Jika harga kedelai di Amerika sedang tinggi, pemerintah seharusnya mencari pemasok kedelai dari negara lain yang harus lebih murah.”

“Ya, betul, “Ustad Umar membenarkan. “Satu jawaban. Yang lainnya?”

“Pemerintah memberi subsidi kepada pengusaha tempe dan tahu.”

“Hm, ya. Dalam jangka pendek, jawaban pertama memang betul, seharusnya kita mencari pemasok lain. Cari dari negara-negara lain yang menjadi produsen kedelai juga. Yang kedua juga betul, tapi tepatnya pemerintah membeli kedelai yang mahal tadi dari Amerika, lalu pemerintah menjual kepada pengusaha tempe dan tahu dengan harga lebih murah. Pemerintah rugi, kan? Nah, itu tidak apa-apa, jika digunakan untuk memberi keuntungan kepada para pengrajin kedelai. Buat apa duitnya disimpan-simpan, yang nantinya paling-paling juga habis dikorupsi, untuk menyelenggarakan acara negara yang sebenarnya nggak penting-penting amat, beli pesawat pribadi kepresidenan? Habis berapa triliun itu?

Padahal itu untuk urusan presiden saja. Coba jika dana itu disalurkan kepada para pengarjin kedelai. Ribuan orang terselamatkan. Toh, uang itu kan uang rakyat?”

“Nah, yang ketiga,” Ustad Umar memberikan tambahan. “Diadakan program penanaman secara massal. Kan banyak lahan-lahan yang kosong itu. Nah, itu ditanami kedelai semua. Supaya stabil harganya. Karena menanam kedelai hanya membutuhkan tiga bulan, pemerintah sebenarnya bisa memperbaiki produksi kedelai dengan belajar ke negara-negara lain yang maju pertainannya. Sebenarnya Indonesia itu bisa. Apalagi, Indonesia memiliki Institut Pertanian Bogor. Masa’ nggak ada yang bisa?” Ustad Umar memasang wajah jenakanya yang khas. Ya, beliau juga jebolan salah satu universitas terkenal di Indonesia ini, IPB.

“Oke, pertanyaan terakhir yang akan dijawab. Apa pandangan Islam tentang pemogokan ini? Ya, sebenarnya Islam memandang pemogokan ini tidak terlalu berbahaya, karena masih ada substitusi, pengganti tempe dan tahu. Kedua, bisa dipahami dan ada alasan yg kuat kenapa para pengrajin kedelai mogok produksi, jika dipandang dari segi untung rugi. Apa yg harus dilakukan menurut islam? Kembali  pada pemerintah, yang seharusnya memberi solusi atas problem ini kepada masyarakat, dengan cara apa pun. Negara yang harus bertanggung jawab, karena kalau mengandalkan rakyat jelas tidak bisa. Negara yang harusnya mengkoordinir untuk menyelesaikan masalah ini.”

Semua pertanyaan akhirnya terjawab sudah.

“Baik, semoga setelah ini, yang tidak suka tempe menjadi suka, tapi yang terlalu maniak tempe, ya dikurangi, hehehe… Tempe itu bagus, jadi banyak-banyak makan tempe. Orang luar negeri sampai datang ke Indonesia hanya untuk mencari tempe. Tahu kopi? Wah, Indonesia itu surga kopi! Di Indonesia itu kopi harganya sangat terjangkau. Padahal, di luar negeri, kopi itu mahal sekali. Nah, jangan sampai hal ini terjadi pada tempe dan tahu, sehingga kita tidak bisa lagi mengkonsumsi keduanya. Nah, kembali ke notulen untuk membacakan kesimpulan diskusi.”

Setelah notulen membacakan kesimpulan diskusi, kami pun mengakhiri diskusi ini dengan membaca doa kafaratul majlis bersama-sama. Ustad Umar mengucapkan salam, kemudian seluruh santri pun segera berangkat menuju masjid. Diskusi berakhir pada pukul lima tepat waktu Indonesia barat. [Hawari, Santri Pesantren Media, jenjang 1 SMA]

Catatan: sebagai praktik dari materi pelajaran Menulis Kreatif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *