Anak Kinestesis Pun Bisa Menulis

Abdullah Musa Leboe

Sebenarnya  tulisan ini berangkat dari pengalaman saya sendiri dalam membina anak agar mau (suka) menulis. Ini cerita tentang Abdullah Musa Leboe, anak kedua saya. Sejak kecil orang-orang  menyebutnya tipe anak kinestetis. Istilah lainnya, anak yang tidak bisa diam.

Ia suka sekali melakukan kegiatan di luar rumah. Ia suka menggali tanah di halaman, mencari cacing, menceburkan diri ke sungai yang mengalir melewati pinggiran Kompleks Laladon Permai.  Ia juga suka menelusuri kali kecil yang menuju sungai besar untuk mengumpulkan kepiting-kepiting dalam rangka membuktikan bahwa kakinya pasti delapan dan jalannya selalu miring. Di kesempatan lain, ia mencari belalang dan capung di ladang  pinggir kompleks hanya sekedar untuk menghitung sayapnya atau mengamati mulutnya.  Di sekolah Tknya, ia juara satu lomba menangkap belut. Belut-belut itu dibawanya pulang, untuk menunjukkan kepada saya bahwa belut itu berbeda dengan ular dan bagaimana menangkap belut yang licin dengan teknik yang ditemukannya. Tentu saja saya segera memintanya untuk membuang belut-belut  yang begitu banyak itu ke kali di tepi kompleks perumahan kami. Sebenarnya saya geli dan merinding dengan belut-belut sebanyak itu.

Abdullah hebat di lapangan, tetapi ia tidak suka duduk manis di meja. Saya masih merasakan bagaimana pesimisnya saya melihat Abdullah pada usia 6 tahun memegang pensil dengan menggenggam seperti memegang tongkat. Bisakah anak ini menulis?

Tentu saja saat itu tidak bisa. Ia lebih suka berlari dan melompat. Ia  bisa bersepeda roda dua pada usia 6 tahun. Bisa mengendarai sepeda ayahnya dengan kencang, sementara kakinya sendiri masih cukup jauh dari pedal. Ia bisa memboncengkan adiknya yang  berbadan lebih gemuk kemana-mana . Ia bisa  memanjat pohon, dengan diam-diam, agar saya tidak ketakutan melihatnya bertengger berayun-ayun di pohon kersen tetangga.

Intinya ia tidak tampak memiliki potensi menulis, walaupun kemampuan mendengarnya (auditori) cukup tinggi. Kemampuan mendengar ini membuatnya mudah menghafal segala sesuatu hanya dengan mendengar. Ia hafal juz amma’ hanya dengan mendengar.  Ia juga hafal surat Al Mulk, hanya dengan mendengar. Ia hafal seluruh lirik lagu karangan ayahnya, hanya dengan mendengar. Padahal hampir seluruh lirik lagu terkait fakta sejarah, berita ataupun hukum syara’. Jumlahnya pun puluhan. Tak ada yang melebihi kemampuannya saat ini dalam hafalan lirik lagu, bahkan sang  penulis lirik (ayahnya) ataupun pembuat lagunya (Om  Dedy Arif).

Kemampuan mendengar ini memudahkan saya untuk mengendalikan sifat kinestatisnya. Pada usia TK, ketika  gerakannya hampir tak terkendali menjelang maghrib, setelah seharian beraktivitas dan ia belum mau berhenti beraktivitas bergerak, bahkan sudah mulai membuat keributan dengan adiknya, maka saya memasukkannya ke sebuah kamar dan memperdengarkan murotal juz amma’. Saat itulah ia mulai bisa diam. Mampu menenangkan dirinya dan mendengarkan ayat-ayat al Qur’an.

Tetapi dengan segala kelebihannya, Abdullah  Musa Leboe tetap  tidak suka menulis. Tulisannya masih sangat jelek.

Hingga  ia bergabung dengan Klinik Pendidikan Matematika (KPM) pimpinan Pak Ridwan (Profesor Ridwan Hasan saputra), yang memberinya tugas menulis materi akhlak setiap minggunya. Saya memiliki alasan untuk memaksanya menulis. Tulisannya harus bagus, agar guru KPM tidak bingung membacanya. Kalimatnya harus ”nyambung”, agar ada maknanya.  Jumlah tulisan harus penuh satu halaman, agar puas melihatnya.

Abdullah pun terpaksa menulis. Awal menulis, ia harus sering menghapus, karena hurufnya banyak masalah. Huruf besar tertukar dengan huruf kecil. Huruf r seperti t. Huruf m tidak seperti m. Huruf r kecil seperti n kecil. Dengan  ancaman tidak boleh main atau  dikeluarkan dari KPM (dia suka di KPM karena senang matematika), maka Abdullah terpaksa menulis.

Awal menulis PR Akhlaknya, saya masih harus mendiktekan  kata-kata selanjutnya, karena ia sering kehilangan  kata-kata.  Kemudian saya juga masih sering menghapus tulisannya, karena  barisnya seperti naik gunung atau turun gunung. Dengan bantuan saya, semua tulisannya tentang akhlak mendapat nilai A, bahkan ada yang A+. Tetapi saya masih prihatin, karena itu bukan nilai sebenarnya. Saya hanya berharap materi akhlak masuk melalui matanya. Sesudah menulis, saya memintanya membaca tulisannya sendiri. Kalau ia sendiri tak bisa membaca tulisannya, apalagi orang lain!

Hingga tulisannya yang ke delapan belas, saya menghentikan mendiktekan kata-kata. Saya pikir, sudahlah, tidak ada perkembangan. Biar saja yang selanjutnya ia mendapat nilai C, agar Abdullah sadar.

Tetapi rupanya Abdullah diam-diam, tidak mau mendapat nilai C. Ia masuk ke kamar dan berusaha keras menulis. Hingga tertidur kelelahan. Ternyata ia mampu menulis. Ketika tulisannya mendapat nilai A, saya merasa usaha kemarin tidak sia-sia. Ia sudah bisa menulis. Tidak ada campur tangan saya dalam penulisannya, kecuali bisa ada yang salah secara pemahaman.

Saya berterima kasih kepada KPM, yang sudah memberi PR menulis. Selanjutnya saya pun bisa belajar, bahwa sebuah hasil harus ditekuni secara sungguh-sungguh. Orang tua atau guru harus sabar dalam mendampingi proses anaknya. Tidak ada istilah anak kinestatis tidak bisa menulis. Tidak ada istilah anak aktif jangan diminta duduk tenang. Mungkin tidak cocok bila kita memintanya duduk berjam-jam, cukup satu jam sajalah. Karena ia juga harus berlatih tertib. Saya belajar banyak dari mendidik Abdullah Musa Leboe.

Saya juga membuatkan buku khusus untuknya. Buku tempat ia harus menuliskan apa yang ia lihat dan ia dengar. Saya yang mengatur dan memintanya untuk disiplin menuangkan gagasan. Bahkan menungguinya menulis. Berikut ini  tulisan pertama di buku hariannya:

  PINO

Kucingku bernama Pino. Dia berwarna hitam dan putih. Dia punya anak lima. Yang hidup ada dua. Namanya Pinoli dan Pilino. Cara memanggilnya, bilang, ”Puss!” Tapi yang keras.

Pino itu betina, tapi galaknya maasyaa Allah, luar biasa! Aku dicakar sudah enam kali. Digigit dua kali. Pino itu baik kalau dielus-elus kepalanya. Pino empat bersaudara. Semuanya sering berantem.

Pino punya prestasi lho. Dia nangkep tikus untuk menjaga anaknya. Tikus itu ditangkep karena tikus itu ingin memakan anaknya. Pino suka makan ayam, ikan, telor, nasi goreng, daging rendang, minum air. Pino pendiam, jangan diganggu, nanti marah. Pino jago meloncat, berlari, juga jago berantem melawan Pili. Pili itu adeknya Pino…

TRONS

Trons adalah kucing jantan, pejantan Pino dan Pili. Rumahnya di belakang pot rumah Bu Danil. Ia dinamai Trons karena tadinya mau dinamai Strong. Tapi karena itu kata kerja (?), jadi namanya Trons. Yang menamakan Trons adalah Abdullah.

Dia kucing berwarna oranye, gemuk, agak ompong dan kuat. Kelakuannya sering sembarangan. Dia ramah. Trons sering mengejar Pino. Sering menggigit Pino. Sering dimarahi Pino.

Aku suka Trons, karena dia ramah, baik, tidak galak seperti Pino .

…..

Tulisannya biasa. Tapi karena ia dikatakan anak kinestetis dan tidak mampu menulis pada awalnya, maka saya sangat senang membacanya. Ia lama-lama akan terbiasa menuangkan apa yang dilihat dan didengarnya dalam bahasa tulisan.

Setelah beberapa tulisannya, rencananya Abdullah akan saya masukkan ke kelas menulis di Pesantren Media. Pembinanya Ust. O. Solihin. Semoga saja diterima. Karena kelas tersebut hanya untuk tingkat SMP dan SMA.

Saya tahu, keaktifannya di luar rumah memberinya banyak pengalaman berharga. Anak-anak kinestatis biasanya punya banyak pengalaman di luar rumah. Dengan menulis, mereka bisa membaginya kepada yang lain. Tentu sebagai sebuah pelajaran yang bermanfaat. Amal shalih bagi dirinya dan ilmu yang bermanfaat untuk orang lain. [Lathifah Musa, 5 Juni 2012]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *