“Jakarta Banjir, Ibukota Pindah Saja!”

Liputan Khusus Diskusi Aktual Pesantren Media, Rabu, 4 April 2012

Siapa yang tak kenal Kota Jakarta? Seluruh penduduk Indonesia tentu mengenal kota ini. Status sebagai ibukota negara tentu mengundang perhatian banyak penduduknya. Termasuk kondisi Jakarta saat ini yang seolah-olah tak mampu lagi memberikan kenyamanan bagi penduduknya. Berbagai permasalahan pelik menerpa kota ini, semisal banjir, kemacetan, dan masih banyak lagi.

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, Media Islam Net tentu juga menaruh perhatian pada kondisi Jakarta. Terutama ketika akhir-akhir ini berbagai media massa santer memberitakan banjir di sana. Media Islam Net berupaya menemukan jalan keluar dari permasalahan yang menimpa ibukota ini dengan membahasnya dalam Diskusi Aktual Pesanten Media, Rabu, 4 April 2012, dengan tema: Jakarta Banjir, Ibukota Pindah Saja!

Acara ini dimulai pukul 16.30 WIB. Dihadiri oleh santri Pesantren Media, rombongan mahasiswa dari Universitas Ibnu Khaldun (UIKA), punggawa Media Islam Net, dan sekelompok anak-anak dari Komplek Laladon Permai.

Seperti biasa, acara ini dipimpin oleh Ustadz Umar Abdullah. Setelah menjelaskan alasan pemilihan tema, beliau mempersilahkan para peserta untuk mengajukan pertanyaan.

Beberapa orang peserta anak-anak mengajukan pertanyaan. Mereka adalah Fathimah, Taqi, Abdullah, dan Jofan. Fathimah menanyakan alasan kenapa wacana pemindahan ibukota baru dicanangkan sekarang. Taqi bertanya perihal mengapa masyarakat mau pindah ibukota. Jofan bertanya kenapa Indonesia gampang banjir. Sedangkan Abdullah bertanya perihal tempat mana yang kira-kira cocok menggantikan Jakarta sebagai ibukota.

Selanjutnya dua orang mahasiswi UIKA, Dinda dan Fauziah mengajukan pertanyaan. Ada tiga pertanyaan yang diajukan Dinda. Pertanyaan pertama seputar solusi apa yang ditawarkan terkait letak geografis Jakarta yang lebih rendah dari daerah sekitarnya. Pertanyaan kedua, dia menanyakan apakah penentuan Jakarta sebagai Ibukota Indonesia ada kaitannya dengan Freemasonry. Dan pertanyaan ketiga adalah apakah pemindahan ibukota benar-benar dapat menjadi solusi. Apakah nanti akan muncul kembali permasalahan yang sama. Sedangkan Fauziah hanya menanyakan sebuah pertanyaan sederhana yaitu apa prosedur yang harus dilakukan guna memindah ibukota negara.

Selanjutnya, kesempatan bertanya diberikan kepada para santri Pesantren Media. Ilham dan Novia tampil mengajukan pertanyaan. Ilham menanyakan perihal apa hubungan ibukota dengan Islam. Sedangkan Novia mengajukan dua pertanyaan yakni faktor apa yang menyebabkan banjir di Jakarta dan bagaimana cara mengatasinya.

Sesi pertanyaan ditutup. Selanjutnya adalah sesi pembahasan pertanyaan-pertanyaan dari para peserta. Pertanyaan Fathimah tentang kenapa wacana tentang pemindahan ibukota negara mendapat tanggapan dari Ustadz Umar. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya wacana pemindahan Ibukota Indonesia sudah lama bergulir. Bahkan pada faktanya, Ibukota negara ini, di masa lalu pernah berpindah-pindah. Misalnya, Ibukota Indonesia pernah berada di Jogjakarta, Bukittinggi, dan Jonggol (daerah Bogor). Jadi sebenarnya, rakyat Indonesia tak perlu asing apalagi takut dengan wacana pemindahan ibukota.

Selanjutnya adalah pembahasan pertanyaan yang diajukan Jofan tentang faktor apa saja yang membuat Indonesia gampang banjir. Secara spontan, Abdullah menjawab bahwa banjir terjadi karena penggundulan hutan. Fadil juga tak mau kalah. Menurutnya, banjir terjadi akibat orang-orang membuang sampah sembarangan. Ustadz Umar Abdullah membenarkan jawaban kedua anak ini. Memang benar bahwa pengundulan hutan dan membuang sampah sembarangan dapat menyebabkan banjir. Beliau juga menambahkan bahwa sebenarnya ada juga banjir alami alias banjir yang tidak disebabkan oleh manusia. Banjir ini biasanya terjadi di daerah aliran sungai. Daerah ini biasanya, dalam waktu-waktu tertentu memang mesti banjir, karena memang fungsinya adalah menampung kelebihan debit air sungai. Masalahnya adalah, ketika daerah ini berubah fungsi menjadi pemukiman, akan terjadi kerugian di pihak manusia. Dan sebenarnya ini bukanlah salah air, tapi salah manusia yang menempati tempat air. Begitu air datang, semua baru bingung dan menyalahkan air.

Pertanyaan Novia tentang faktor penyebab banjir di Jakarta juga sebenarnya mempunyai jawaban yang mirip dengan apa yang di tanyakan Jofan. Perbedaan terletak pada ruang lingkup saja, antara Jakarta dan Indonesia. Penyebabnya sebenarnya juga sama. Sampah dibuang ke sungai sehingga terjadi pendangkalan. Daerah resapan air sudah menjadi sesuatu yang langka ditemui. Daerah Puncak yang dahulunya banyak pepohonan dan areal terbuka, kini ditebangi dan dijadikan villa tempat peristirahatan orang-orang kota (Jakarta).  Lalu pertanyaan kedua Novia tentang bagaimana mengatasi masalah banjir sebenarnya tak jauh dari upaya mengatasi penyebab banjir itu sendiri. Penghutanan kembali harus digalakkan. Sampah tidak dibuang sembarangan, tidak dibuang ke sungai melainkan dikelola dengan baik. Jika sampah dikelola dengan baik, mislnya dengan daur ulang, ia akan memberikan manfaat pada manusia. Selolakan atau sungai-sungai yang terlanjur dangkal harus dikeruk lagi sehingga aliran air ke Teluk Jakarta lancar. Dan bagi yang melanggar aturan, misalnya membuang sampah ke sungai atau menghilangkan daerah resapan air, harus dikenai sangsi yang berat.

Pertanyaan Ilham tentang hubungan Ibukota dengan Islam dijawab oleh Ustadz Umar. Kalau dilihat, hubungan Islam dengan kenyamanan sebuah kota itu erat. Mengapa? Karena Islam sendiri adalah sebuah ideologi yang mengatur dan mengurusi masyarakat. Di salam Islam, setiap warga berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan nyaman. Dan kehidupan yang nyaman tentunya berkaitan dengan kondisi tempat tinggalnya. Oleh karena itu, kalau kita melihat sejarah, kota-kota yang menjadi Ibukota pemerintahan Islam di masa lalu merupakan kota yang nyaman untuk ditinggali.

Pembahasan beralih ke pertanyaan Abdullah tentang kota mana yang kira-kira bagus atau cocok untuk dijadikan Ibukota. Ustadz Umar kembali menjawab. Beliau menilai kota yang cocok adalah Surabaya. Beliau menilai ini bukan karena beliau berasal dari Surabaya, melainkan karena kondisi yang benar-benar mendukung. Surabaya, sebagai sebuah kota besar di Jawa Timur tentu mempunyai prasarana yang menunjang. Jalanan di Surabaya, kalau dilihat, jarang macet. Ini terjadi karena masyarakat Surabaya masih memegang kuat adab berlalu lintas dengan baik.  Dan yang perlu diperhatikan dalam pemilihan sebuah ibukota sebaiknya adalah kota yang bersangkutan harus berada di tepi laut. Hal ini akan memudahkan akses pada kota itu. Jika sebuah kota berada jauh dari pantai, maka biaya untuk mencapainya akan tinggi.

Kini tibalah saatnya menjawab pertanyaan dari para mahasiswi UIKA. Pertanyaan pertama Dinda tentang apa solusi terkait letak geografis Jakarta yang lebih rendah dari daerah sekitarnya dijawab oleh Ustadz Umar. Ustadz Umar menjelaskan bahwa Jakarta sebenarnya tidak selalu lebih rendah dari daerah sekitar. Hanya saja prilaku masyarakatnya yang membuat hal ini menjadi mungkin dengan menyedot air tanah secara membabi buta. Akibatnya, terjadi ruang kosong di bawah tanah. Semantara itu, beban di permukaan tanah semakin besar dengan dibangunnya berbagai bangunan termasuk gedung pencakar langit. Akibatnya, ketinggian tanah menurun. Tak hanya berhenti di sana, akibat kekosongan air tanah, air laut pun meresap ke darat. Teleh tercatat bahwa air laut sudah meresap hingga ke daerah Gambir. Air di daerah ini sudah mulai asin.

Pertanyaan kedua Dinda tentang apakah penentuan Jakarta sebagai ibukota negara ada kaitannya dengan freemasonry, tak menghasilkan jawaban yang memuaskan karena tak ada peserta diskusi yang tahu tentang hal ini. Sedangkan pertanyaan ketika Dinda tentang apakah pemindahan ibukota dari Jakarta ke daerah lain merupakan solusi. Karena kalau Dinda melihat, ada kemungkinan masalah yang ada di Jakarta akan terulang kembali mengingat masyarakat juga akan menyerbu dan memadati ibukota yang baru sehingga memunculkan beragam persoalan yang sama. Ustadz Umar kembali mengemukakan pandangannya. Beliau menyatakan bahwa perpindahan ibukota bisa tetap jadi solusi asalkan penguasanya disiplin dan teratur. Harus dibuat peraturan yang mengikat setiap warga ataupun calon warga untuk senantiasa menjaga kota dari kemungkinan timbulnya masalah di ibukota yang lama.

Kini tiba di pembahasan petanyaan terakhir dari mahasiswi UIKA, Fauziah yang menanyakan apa prosedur yang harus dilakukan ntuk memindah sebuah ibukota.

“Sebenarnya simpel saja. Hanya membutuhkan persetujuan atau kebijakan kepala negara.” Jelas Ustadz Umar.

Demikian laporan diskusi kali ini. Semoga bermanfaat. [Farid Ab, Santri Pesantren Media]

Catatan: Tulisan ini adalah bagian dari tugas menulis reportase di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *