Ilmu Manqul

 

Ilustrasi | Foto: www.republika.co.id

Tanya:

dari +62878915xxxx : Asslmwrwb ustad, bgmn hkum membca Al-Qur’an dgn suara kras dkat org shalat, Dan apkh dalam islam ada ajaran ilmu”MANGKUL” ?. Sukron ustad. ( DIAN Sumbawa Besar-NTB )

Jawab:

‘alaikumussalam wr wb

Ada sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa saat seseorang tengah shalat maka dia tengah ada urusan yang membaca Al-Quran dan dzikrullah, antara lain:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ لَمَّا قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِمْتُ أُمُورًا مِنْ أُمُورِ الْإِسْلَامِ فَكَانَ فِيمَا عَلِمْتُ أَنْ قَالَ لِي إِذَا عَطَسْتَ فَاحْمَدْ اللَّهَ وَإِذَا عَطَسَ الْعَاطِسُ فَحَمِدَ اللَّهَ فَقُلْ يَرْحَمُكَ اللَّهُ قَالَ فَبَيْنَمَا أَنَا قَائِمٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّلَاةِ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ فَحَمِدَ اللَّهَ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ رَافِعًا بِهَا صَوْتِي فَرَمَانِي النَّاسُ بِأَبْصَارِهِمْ حَتَّى احْتَمَلَنِي ذَلِكَ فَقُلْتُ مَا لَكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ بِأَعْيُنٍ شُزْرٍ قَالَ فَسَبَّحُوا فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ قِيلَ هَذَا الْأَعْرَابِيُّ فَدَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي إِنَّمَا الصَّلَاةُ لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ فَإِذَا كُنْتَ فِيهَا فَلْيَكُنْ ذَلِكَ شَأْنُكَ (رواه ابو داود)

Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulamiy berkata, ketika saya telah tiba di hadapan Rasulullah saw, maka saya jadi tahu berbagai perkara dari Islam, lalu di antara yang saya tahu adalah bahwa beliau berkata : jika kamu bersin maka ucapkanlah اَلْحَمْدُ للهِ dan jika yang bersin mengucapkan اَلْحَمْدُ للهِ maka ucapkanlah olehmu يَرْحَمُكَ اللَّهُ. Dia (Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulamiy) berkata lagi : ketika saya tengah berdiri bersama Rasulullah saw dalam shalat, tiba-tiba saja ada seseorang yang bersin lalu dia mengucapkan اَلْحَمْدُ للهِ, maka saya pun berucap يَرْحَمُكَ اللَّهُ dengan keras, maka semua orang memandang kepada saya hingga saya menjadi terbebani oleh itu. Lalu saya berkata : mengapa kalian memandang saya dengan mata yang mendelik begitu. Dia (Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulamiy) berkata : mereka pun bertasbih. Kemudian ketika Rasulullah saw telah selesai shalat, beliau berkata : siapa tadi yang berbicara. Dikatakan, ini orang Arab pinggiran, lalu Rasulullah saw memanggil saya dan berkata kepada saya : hanya sesungguhnya shalat itu adalah untuk membaca Al-Quran dan dzikrullah ‘Azza wajalla, sehingga jika kamu sedang shalat maka jadikanlah keadaan kamu sebagai urusan satu-satunya kamu (HR Abu Dawud)

Bagian ucapan Rasulullah saw إِنَّمَا الصَّلَاةُ لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ فَإِذَا كُنْتَ فِيهَا فَلْيَكُنْ ذَلِكَ شَأْنُكَ menunjukkan bahwa ketika seseorang tengah shalat maka wajib dia menjadikan shalatnya sebagai satu-satunya urusan yang tengah dia kerjakan : فَإِذَا كُنْتَ فِيهَا فَلْيَكُنْ ذَلِكَ شَأْنُكَ, sehingga ketika ada gangguan baik dari arah dirinya sendiri maupun arah luar dirinya, tentu saja dia wajib segera kembali kepada urusan shalat yang tengah dia lakukan. Oleh karena itu berdasarkan madlul yang ditunjukan oleh dalil tersebut maka makruh hukumnya membaca Al-Quran dengan suara keras di dekat seseorang yang tengah shalat.

Tentang realitas مَنْقُوْلاً yakni bertaut tanpa terputus, para ulama (fuqaha dan mujtahidin) sepakat tentang فَالعِلْمُ لاَبُدَّ اَنْ يَكُوْنَ مَنْقُوْلاً (ilmu itu haruslah bertaut berangkai tanpa terputus perpidahannya) adalah benar adanya, sebab fakta memastikan bahwa hanya Rasulullah saw dan para sahabat beliau saja yang diberi kesempatan untuk bertanya langsung kepada Allah SWT tentang maksud suatu kata (اَلْكَلِمَةُ), kalimat (اَلْجُمْلَةُ), istilah (اَلإِصْطِلاَحُ) maupun realitas (اَلْحَقِيْقَةُ) yang diungkap atau ditunjukkan oleh ayat-ayat Al-Quran. Dengan kata lain mereka di-beri ijin untuk bertanya tentang maksud Allah SWT (مَقْصَدُ اللهِ) yang ada dalam pernyataan Nya (كَلاَمُهُ) yang diturunkan melalui Jibril as kepada Nabi Muhammad saw.

Sementara itu, seiring dengan berakhirnya periode wahyu untuk selamanya yang dipastikan dengan wafatnya Rasulullah saw maka sejak saat itu manusia mana pun termasuk para sahabat tidak diijinkan lagi bertanya langsung kepada Allah SWT, melainkan dicukupkan memahami maksud Allah SWT melalui teks literal (كَلاَمُهُ) yang bersifat langsung yakni Al-Quran dan yang tidak langsung yakni As-Sunnah. Realitas itulah yang mengharuskan terjadinya keterpautan dan kesinambungan estafeta (perpindahan) informasi (مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ) tentang Islam dari generasi ke generasi dengan tumpuan utama dan satu-satunya adalah mushaf Al-Quran dan kitab-kitab yang memuat As-Sunnah.

Tegasnya, seluruh informasi tentang Islam itu wajib dapat dipertanggungjawabkan yakni dapat dibuktikan memang berasal dari sumbernya yang asli (Rasulullah saw), baik yang berupa Al-Quran maupun As-Sunnah berikut seluruh penjelasan yang ada dalam berbagai karya ulama di masa lalu : ushul fiqih, fiqih, tafsir, mushthalah hadits dan sebagainya. Inilah yang sangat tergambar jelas dalam perpindahan sebuah pernyataan Rasulullah saw (hadits) mulai dari sanad paling tinggi (مُنْتَهَاءُ الإِسْنَادِ) yakni generasi sahabat lalu ke generasi tabi’in, lalu ke tabi’it tabi’in dan berakhir di para pengeluar hadits (مُخْرِجُوْ الْحَدِيْثِ), seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan lainnya. Demikian juga dalam sebuah madzhab fiqih selalu terjadi proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ dari Imam Madzhab misal Asy-Syafi’i kepada para mujtahid maupun non mujtahid yang ada dalam naungan madzhab tersebut (اَلشَّافِعِيَّةُ) secara bertautan tanpa putus. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (رواه البخاري)

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya” (HR Bukhari)

Makna اَلتَّعَلُّمُ adalah اَخْذُ الْعِلْمِ وَفَهْمُهُ لِلْعَمَلِ بِهِ (mengambil ilmu dan memahaminya untuk dapat melakukan perbuatan berdasarkan ilmu tersebut), sedangkan makna  اَلتَّعْلِيْمُ adalah :

نَقْلُ الْعِلْمِ وَنَشْرُهُ اِلَى سَائِرِ النَّاسِ ِلأَنْ يَّكُوْنُوْا فَاهِمِيْنَ عَنْهُ وَعَامِلِيْنَ بِهِ

Memindahkan ilmu dan menyebarluaskannya kepada seluruh manusia supaya mereka memahaminya dan melakukan perbuatan berdasarkan ilmu tersebut.

Realitas kewajiban itulah yang digambarkan secara detil dalam pernyataan Rasulullah saw :

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ (رواه الترمذي)

“Allah pasti memuliakan seseorang yang telah mendengar perkataanku lalu memahaminya, menghapalkannya dan menyampaikannya. Maka sangat sering kejadian seorang pengemban fiqih menyampaikan fiqih itu kepada yang lebih faqih dari dirinya. Ada tiga sikap manusia yang tidak akan pernah terkacaukan yakni aqal seorang muslim yang ikhlas perbuatannya karena kesadaran dirinya kepada Allah, yang menasihati para penguasa kaum muslim dan yang selalu menyatukan diri dengan jamaah mereka (kaum muslim). Maka dakwah itu disebarluaskan dari belakang mereka (para penguasa)” (HR Turmudzi)

Sikap قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ, مُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ dan لُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ seluruhnya hanya dapat terwujud dengan sempurna jika didahului oleh aktivitas aqliyah berupa سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا.

Proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ selalu dipertahankan dan merupakan kewajiban seluruh umat Islam untuk mempertahankannya demi terjaganya kemurnian dan keotentikan sumber-sumber Islam berikut semua pemikiran Islami yang muncul atau digali dari sumber-sumber tersebut. Selain itu dengan selalu menjaga proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ tersebut, maka secara otomatis dapat dihindari semaksimal mungkin keterlibatan kepentingan naluriah manusia (اَهْوَاءُ النَّاسِ) dalam penggalian maupun penetapan حُكْمُ اللهِ yang akan diberlakukan terhadap kehidupan manusia di dunia. [Ust. Ir. Abdul Halim]