TANYA:
Aslm. Beberapa waktu yang lalu saya dirawat di rumah sakit. Dipasang selang infus pada tubuh saya. Ketika waktu shalat tiba, saya bingung apakah harus berwudhu’ atau cukup bertayamum? (Bapak Amir)
JAWAB:
Jabir ra meriwayatkan:
Bahwasanya seorang laki-laki ditimpa sebuah batu yang melukai kepalanya. Kemudian ia ihtilam (mimpi berhubungan seks). Lalu ia menanyakan kepada teman-temannya, “Menurut tuan-tuan apakah saya dapat keringanan untuk bertayamum?” Ujar mereka, “Tidak ada keringanan bagi anda, karena anda bisa memakai air!” Maka orang itu mandi (mandi junub) dan kebetulan meninggal. Kemudian setelah kami berada di hadapan Rasulullah saw kami menyampaikan peristiwa itu kepada beliau. Maka beliau bersabda, “Mereka telah membunuh orang itu, tentu akan dibunuh pula oleh Allah! Kenapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu? Obat jahil (kebodohan) itu tidak lain hanyalah bertanya! Cukuplah orang itu bertayamum dan mengeringkan lukanya, atau membalut lukanya dengan kain lalu menyapu bagian atasnya kemudian membasuh seluruh tubuhnya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Daruquthni)
Tayamum menjadi pilihan jika: 1) tidak ditemukan air, atau 2) ada air tapi jumlahnya sedikit sekali dan lebih diutamakan untuk minum, atau 3) jika badan tersentuh air dikhawatirkan akan menjadi sakit atau memperparah sakit.
Setahu saya, umumnya di rumah sakit tersedia banyak air. Sehingga kondisi 1) dan 2) tidak terjadi. Kondisi 3) pun tidak terjadi. Pemasangan selang infus biasanya karena kekurangan cairan, kekurangan oksigen, atau ingin memasukkan obat melalui selang infus. Artinya tersentuhnya air pada kulit tidak berpengaruh negatif pada tubuh.
Hanya saja, seseorang diinfus biasanya tubuhnya sedang lemah, maka perlu perawat yang membantu proses wudhu’nya. Perawat mengambil air dari kamar mandi atau kran air, membawakannya ke dekat si sakit. Kemudian menyediakan lap untuk seka. Dalam keadaan sakit, aktivitas membasuh bisa diganti dengan mengusap dengan lap (menyeka).
Jika si sakit mampu menjangkau tempat-tempat wudhu’maka si sakit sendiri yang menyeka (tidak membasuhnya). Namun jika si sakit belum mampu, maka si perawatlah yang menyekanya. Akan lebih baik jika yang membantu si sakit berwudhu’ adalah keluarganya sendiri. Khusus di bagian tubuh yang dipasangi selang infus, diseka pelan-pelan agar tidak menggeser jarum infusnya.
Agar wudhu tidak terlalu sering, maka jadwal waktu shalat pun hendaknya dibuat lebih efisien, yaitu dengan Jama’Shuwariy. Jama’ Shuwariy yaitu melaksanakan shalat pertama di akhir waktu, kemudian melaksanakan shalat berikutnya di awal waktu. Misal jika masuk Waktu Ashar jam 15.00. Maka mengerjakan Shalat Zhuhurnya jam 14.50, kemudian dilanjutkan dengan Shalat ‘Ashar jam 15.00. Begitu juga jika masuk Waktu ‘Isya` jam 19.00. Maka mengerjakan Shalat Maghrib jam 18.50, kemudian dilanjutkan dengan Shalat ‘Isya` jam 19.00.
Ibnu Abbas menuturkan,
“Aku shalat jama` bersama Rasulullah saw di Madinah delapan rakaat dan menjama’ tujuh rakaat. Beliau saw mengkhirkan Zhuhur dan menyegerakan ‘Ashar, dan beliau (juga) mengakhirkan Maghrib dan menyegerakan ‘Isya` (HR. An-Nasa`i)
Walhasil, dalam sehari semalam, si sakit hanya berwudhu` tiga kali yaitu: 1) sebelum melaksanakan Shalat Dhuhur,2) sebelum melaksanakan Shalat Maghrib, dan 3) sebelum melaksanakan Shalat Shubuh. (UMAR ABDULLAH)