Oleh Lathifah Musa
Secara umum media massa nasional membahas bahwa Pakistan adalah negara tempat tumbuh suburnya kaum teroris. Hal ini beranjak dari data yang dirilis oleh South Asia Terrorism Portal dan Pew Research Center (2011), bahwa sejak tahun 2001, setelah Pakistan bergandengan tangan dengan Amerika Serikat memerangi terorisme, sudah hampir 5000 orang tewas akibat serangan bom bunuh diri.
Kompas cetak, 28 September 2011, dalam tajuk rencana yang menyorot isu internasional membahas bahwa setelah Islamabad bermitra dengan Washingthon memerangi Taliban dan Al Qaeda, terjadi 335 bom bunuh diri di Pakistan. Sebelum tahun 2001, hanya ada satu bom bunuh diri. Sebuah lonjakan yang dahsyat. Jumlah korban pun meningkat mencengangkan, dari satu menjadi hampir 5000 orang tewas.
Hampir semua media massa nasional menyodorkan solusi agar negara menutup peluang tumbuhnya radikalisme. Bom bunuh diri dipandang identik dengan ideologi radikal.
Dengan analisa dan solusi yang semacam ini, jelas mengabaikan data bahwa peningkatan serangan terorisme berkorelasi positif dengan masuknya campur tangan Asing ke sebuah negeri muslim.
Bukankah terjadi peningkatan kekerasan, justru setelah Pakistan bergandengan tangan dengan Amerika Serikat. Bukankah lonjakan dahsyat serangan bom bunuh diri, terjadi setelah George W Bush mengumumkan serangan terhadap Afghanistan dan Iraq pasca peristiwa pemboman gedung kembar WTC di New York?
Sisi lain pelajaran dari Pakistan yang selayaknya juga dipetik oleh umat Islam Indonesia adalah, mengapa sekarang bom bunuh diri menyerang masyarakat kita sendiri? Mengapa serangan ini tertuju kepada kepolisian? Adakah kerjasama antara Amerika Serikat dengan Indonesia dalam Densus 88 pada periode yang lalu memiliki korelasi terhadap peningkatan terorisme yang menimpa warga negara?
Upaya Amerika Serikat sejak tahun 2001 menggelontorkan dana yang tidak sedikit kepada aparat negeri-negeri muslim sesungguhnya dalam rangka menggeser pola serangan kelompok-kelompok bersenjata muslim yang awalnya memusuhi dan menyerang kepentingan Amerika Serikat menjadi serangan mereka terhadap pemerintah dan aparatnya sendiri. Artinya perang terhadap Amerika Serikat dan kepentingannya kini bergeser menjadi perang terhadap pemimpin negeri muslim itu sendiri. Sebuah cara jitu untuk melemahkan negeri-negeri muslim, di saat Amerika Serikat sendiri sedang menghadapi krisis ekonomi yang cukup berat.
Bagi Indonesia sendiri, persoalan dana proyek yang sangat besar kerapkali membutakan mata dan hati. Korupsi dan manipulasi dana proyek telah menjadi penyakit kronis bangsa ini. Persoalannya adalah, ketika mata dan hati telah dibutakan oleh timbunan dollar, maka kepentingan masyarakat tak lagi jadi pilihan. Yang penting adalah mengalirnya dollar ke kantong-kantong oknum petinggi yang tidak lagi punya nurani.
Konon pasca Amerika Serikat menghentikan kucuran dananya, pemerintah kini bergandengan tangan dengan Australia dalam operasi anti terorisme. Walhasil, sepertinya isu terorisme memang sengaja dipelihara! Wallahu A’lamu bish Showab.[]