Oleh Farid Abdurrahman
(Santri Pesantren Media)
Tanggal 15 Oktober 2011 merupakan hari yang dinanti. Guru menulis saya, kang Oleh Solihin didaulat menjadi juri di sebuah perlombaan menulis cerpen tingkat SMA. Acara ini menghadirkan bintang tamu Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi para pecinta novel di Indonesia.
Jauh-jauh hari, kang Oleh sudah memberitahu saya tentang acara ini. Beliau juga mengundang saya menghadirinya. Selain untuk mengobati rasa penasaran, beliau berharap ada pelajaran yang dapat diambil dari penulis novel asal Belitong ini. Saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Saya menerima undangan beliau.
Saya datang terlambat. Begitu masuk ke aula, Andrea sudah berdiri di depan hadirin. Itu artinya sesi pembukaan telah selesai dan acara sudah lama dimulai. Saya hanya kebagian tempat duduk di deretan palaing belakang. Di depan saya, nampak duduk ratusan pelajar SMAKBo (Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor). Hanya segelintir saja yang tidak bersergam. Termasuk saya.
Setelah mendapat tempat duduk, saya langsung memfokuskan perhatian pada sang bintang tamu. Meskipun posisi Andrea agak jauh dari tempat saya duduk, saya masih dpat melihat dengan jelas aktifitas apa yang dia lakukan. Andrea nampak berdiri. Dia memegang lembaran naskah cerpen milik salah seorang finalis. Dia membacakan cerpen itu dengan penuh penghayatan. Iringan melodi dari gitar akustik yang dimainkan rekan wanita di sampingnya menambah syahdu suasana. Andrea mengaku kesengsem dengan cerpen yang ia bacakan. Ia yakin bahwa suatu saat nanti penulis dari cerpen yang ia baca akan menjadi salah seorang penulis hebat di Indonesia.
Suara riuh tepuk tangan hadirin mengakhiri pembacaan cerpen oleh Andrea Hirata. Sesaat kemudian, rekan wanita yang sedari tadi memainkan gitar, kini menyanyikan sebuah lagu berbahasa Inggris. Tepuk tangan kembali menggema usai lagu dinyanyikan.
Selanjutnya Andrea menyampaikan sebuah presentasi. Presentasinya berisi pengalanya menulis serta beberapa tips di dalam menulis itu sendiri.
Pertama-tama Andrea menyinggung tentang bakat menulis. Ia membahas ini karena banyak penggemarnya yang bertanya bagaimana memulai menjadi seorang penulis padahal tidak mempunyai bakat. Andrea berpendapat bahwa bakat bukanlah segalanya. Bahkan ia mengakui bahwa sebenarnya dirinya tidak percaya bahwa bakat itu ada. Ia lebih menghargai seseorang yang memulai menulis tanpa harus terikat dengan ada tidaknya bakat di dalam dirinya. Bakat tidak akan berpengaruh apa-apa jika seseorang tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk menulis. Maka yang terpenting di sini adalah kemuan. Di mana ada kemauan, di sana ada jalan.
Hal lain yang dibahas Andrea ialah ide. Dia menganggap ide merupakan hal penting bagi seorang penulis. Ide ibarat nyawa. Jika tidak ada ide, lalu apa yang mau ditulis?
Masalahnya adalah banyak penulis yang kering ide. Bahkan ada juga kasus seorang penulis hilang idenya di tengah perjalanan ketika menggarap sebuah karya. Akhirnya, karyanya tidak selesai tepat waktunya. Atau kadang selesai dengan jalinan ide yang berantakan dan tidak nyambung.
Ketika ide tak kunjung datang, dibutuhkan inspirasi untuk mengobatinya. Banyak cara mendapatkan inspirasi, diantaranya dengan melakukan riset. Tetralogi Laskar Pelangi tidak lahir dari imajinasi semata. Andrea menggarap novelnya dengan terlebih dahulu mengadakan riset mendalam mengenai segala hal. Andrea meriset budaya orang-orang melayu, latar tempat, kebiasaan, dan lain sebagainya. Hasil risetnya memberikan sumber ide yang melimpah dan tiada terputus.
Kegiatan menulis itu sendiri, menurut Andrea, hanya 10%, selebihnya persiapan. Misalnya, untuk menyelesaikan sebuah novel, Andrea membutuhkan waktu empat tahun untuk persiapan. Selama persiapan itu, Andrea melakukan serangkaian riset, penggalian ide, dan lain sebagainya. Kegiatan menulis ia lakukan ketika persiapan sudah selesai. Ia hanya membutuhkan waktu beberapa hari saja berada di depan computer untuk menuliskan novelnya.
Sebenarnya, di awal-awal, Andrea sama sekali tidak berniat menerbitkan novelnya. Ia membuat novel semata-mata sebagai hadiah untuk gurunya. Akan tetapi, salah seorang temannya membaca hasil karyanya itu. Teman Andrea itu merasa bahwa novel yang ditulis Andrea sangat bagus. Tanpa sepengetahuan Andrea, dia mengirimkannya ke penerbit. Tanpa disangka, novel ini laris manis di pasaran.
Di akhiri acara, ada salah seorang hadirin yang menanyakan tentang apa tujuan hidup yang ingin dicapai oleh Andrea? Andrea menjawab bahwa tujuan hidupnya ialah menjadi seorang muslim yang baik. Dia juga mengatakan bahwa tantangan terbesar dalam hidupnya saat ini adalah menjadi muslim yang baik.
Kepada seluruh hadirin Andrea berpesan bahwa sebelum menuliskan sebuah buku, pikirkanlah masak-masak pesan apa yang ingin disampaikan. Jangan sampai kita menulis buku yang mengusung pesan-pesan negatif. Penulisnya mungkin akan mati, namun karyanya tidak akan pernah lekang oleh waktu. Maka sungguh sayang jika seorang penulis meninggalkan karya yang menggiring pembacanya pada keburukan. (Farid Ab; famedo.blogspot.com)