Liputan Khusus Forum Diskusi Aktual “Bom Bunuh Diri”

Liputan Khusus Forum Diskusi Aktual

Rumah Media, Pesantren Media

 Bogor, Rabu 5 Oktober 2011

Pukul  delapan malam, pintu depan  Rumah Media telah terbuka lebar, menandakan sebentar lagi Forum Diskusi Rabu malam tanggal 5 Oktober 2011 akan dimulai. Tema kali ini tentang “Bom Bunuh Diri Solo”. Wah judulnya menegangkan, kata beberapa orang. Tapi berhubung itulah topik aktual minggu ini, maka judul ini tetap harus dibahas.

Rabu yang lalu (28 September 2011), diskusi membahas tentang krisis ekonomi global. Kemungkinan  masalah ekonomi masih tetap akan aktual, karena krisis Eropa semakin bertambah parah dan situasi Wall Street sebagai jantung Kapitalisme dunia juga mendapat tekanan akibat demonstrasi besar-besaran warga Amerika Serikat. Tidak sedikit warga Amerika Serikat yang menuding Bursa Saham Wall Street sebagai penyebab terpuruknya ekonomi Amerika Serikat sehingga menyeret dunia ke dalam krisis ekonomi global. Namun Rabu ini, semua sepakat membahas tentang Bom Bunuh Diri Solo.

Diskusi dibuka oleh Ust. Umar Abdullah, dengan pengantar  banyolan ringan. Maklum, wajah-wajah lelah setelah beraktivitas seharian.  Ust. Oleh  Solihin hari ini tidak hadir karena kondisi tubuhnya kurang fit. Mas Dedy Arif kali ini bisa hadir namun di tengah acara karena baru dari luar kota.

Setelah suasana mulai segar dan pengantar kasus bom bunuh diri disampaikan dengan sangat singkat,  diskusi diawali dengan kalimat  “Silakan ada yang ingin bertanya?”

Dengan segera Fathimah NJL, peserta muda kita dari SDIT Insantama bertanya: “Bagaimana kalau bom bunuh diri dilakukan di camp musuh, misalnya untuk menyerang Israel?”

Wah, pertanyaannya langsung ke masalah hukum. Tapi ya sudahlah, ditampung dulu untuk  mendengar pertanyaan berikutnya. Ternyata Mas Farid juga menanyakan hal yang kurang lebih sama, hanya saja lebih detil dan lebih menuntut kepastian jawaban. Bagaimana bila seseorang secara sengaja melakukan pembunuhan terhadap diri sendiri? Termasuk yang terkait dengan bom bunuh diri. Bukankah Rasulullah Saw tidak mencontohkan cara-cara seperti itu?

Nah, sepertinya perbincangan akan dimulai dari masalah hukum. Pertanyaan-pertanyaan lain pun ditampung, termasuk yang paling unik sekalipun. Kali ini datang dari Abdullah Musa Leboe dari Homeschooling Group. “Bagaimana bila granat yang kita lempar kepada musuh, ternyata mengenai diri kita sendiri, kemudian kita pun mati?”

Yang lain langsung menjawab, “Makanya lemparnya yang jauh!” Tapi okelah, pertanyaan yang lumayan untuk kategori peserta cilik. Toh, ia langsung puas dengan jawaban tersebut dan belum diskusi berjalan setengahnya, langkahnya terayun menuju pulau Kapuk di ruang sebelah. Tak apalah, daripada membuat keramaian dengan pertanyaan-pertanyaan uniknya.

Diskusi soal hukum, kemudian berlangsung lebih panjang daripada pembahasan pertanyaan-pertanyaan lain. Ust. Umar memahami kebolehan dalam masalah ini dengan alasan (1) Rasulullah Saw telah memberi perintah kepada Ali bin Abi Thalib ra sebagai pembuka pintu Benteng Khaibar yang resikonya adalah nyawa. (2) Rasulullah Saw mengutus Utsman bin Affan ra, untuk mendatangi Quraisy dalam peristiwa Perang Hudaibiyah, yang saat itu memiliki resiko kematian. Maka langkah-langkah yang ditujukan untuk menaklukkan musuh dalam jihad fii sabiilillah, sementara langkah-langkah tersebut memiliki resiko kematian adalah bagian dari jihad.

Usth. Lathifah Musa memiliki pendapat yang sedikit berbeda, khususnya mengenai dalil kebolehan menjadi martir dalam Jihad.  Hal ini karena peristiwa diutusnya  Shahabat Utsman dan Ali tidak ditujukan sebagai martir dengan resiko (kemungkinan besar akan menemui kematian). Indikasi tentang hal tersebut dilihat dari dipilihnya Utsman sebagai utusan (bukan Umar bin Khaththab ra), karena pertimbangan Utsman memiliki kedudukan yang terbaik (dari kalangan Shahabat) di tengah-tengah pembesar Qur aisy. Demikian juga ketika Ali diutus untuk memimpin pasukan yang akan menaklukkan Benteng Khaibar. Dalam Sabda Rasulullah Saw, telah tersirat bahwa Allah SWT akan memberikan kemenangan melalui tangan Ali. Dengan demikian, lebih tepat kebolehan menjadi martir dalam perang, diambil dari keumuman seruan jihad yang salah satunya untuk meraih mati syahid. Rasulullah Saw, dalam sebuah riwayat,  pernah menyerukan kepada para Shahabat dalam pasukan,  agar mereka segera siap berperang untuk menuju Surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Para shahabat segera menyambutnya dan terjun ke kancah pertempuran untuk menemui kematian yang paling mulia. Ada di kalangan shahabat yang langsung maju bertempur untuk meraih mati syahid, dan Allah SWT mengabulkan keinginan mereka.

Namun dengan alasan-alasan yang berbeda, tetap ada kesepakatan bolehnya menjadi martir dalam jihad fii sabiilillah, seperti menerjunkan diri untuk membom kapal perang musuh, atau menjatuhkan pesawat tempurnya di jantung kekuatan (markas) musuh, atau meledakkan diri di sebuah lubang benteng agar kaum muslimin dapat masuk dan menyerbu musuh yang ada di baliknya, maka kematiannya adalah syahid dalam jihad fii sabiilillah.

Dengan demikian bom bunuh diri yang tidak dilakukan dalam peperangan, tidak untuk menyerang Kafir Muhariban Fi’lan (orang-orang Kafir yang memerangi kaum muslimin), bom yang dilakukan di tengah penduduk sipil,  yang merusak fasilitas umum, pepohonan, bangunan, membunuhi lansia, wanita dan anak-anak, maka bukanlah terkategori  jihad fii sabiilillah.

Pertanyaan yang mencuat selanjutnya adalah, lantas apa motif pelaku bom bunuh diri di Solo dan Cirebon? Pertanyaan ini datang dari Junie (Kru dan Presenter). Disusul oleh pertanyaan Heni  (Presenter) yang mengangkat kemungkinan preman sebagai pelaku bom bunuh diri dengan tujuan materi atau mungkin asuransi buat anak-istrinya.

Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Hanya saja, motif pelaku ingin mati syahid lebih besar dan lebih mendorongnya untuk berani berbuat. Namun apakah pelaku bergerak sendiri dan tidak memiliki keterkaitan apapun dengan kepentingan pihak tertentu? Di sinilah diskusi kemudian melebar dengan beberapa data yang telah dikumpulkan melalui media massa cetak dan online.

Fadhilah Syamsa (presenter) mempertanyakan keterkaitan pelaku bom dengan gerakan-gerakan di Indonesia, dan mungkinkah ada hubungan dengan Al Qaeda? Adakah hubungan antara kasus bom bunuh diri Solo dengan Cirebon, juga bom yang lain seperti JW Marriot dan bom Kuningan.

Keterkaitan antara bom Solo dengan bom Cirebon, bisa jadi ada. Jaraknya berdekatan, dan pelaku-pelaku saling terkait dengan pola yang mirip. Banyak pengamat menyebutkan bahwa bom Solo dan Cirebon  sangat kental dengan pola kerja intelijen.  Bagaimanapun infiltrasi ke dalam kelompok-kelompok Islam garis keras bukan hal yang baru. Bahkan bisa jadi, garis radikal dengan pola anarkis memang sengaja dibentuk agar lebih mudah dimainkan untuk kepentingan tertentu. Kepentingan siapa? Tentu kepentingan mereka yang tidak menginginkan Islam mengayomi dunia. Bisa juga kepentingan untuk menarik perhatian negara-negara penyandang dana, atau mengalihkan perhatian dari isu yang sedang berkembang dengan alasan tertentu.

Data yang dilansir Kompas (28/09/2011) pun menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kasus-kasus bom bunuh diri di Pakistan, setelah Amerika Serikat berpartner dengan Pakistan dalam proyek perang melawan terorisme (yang dimaksud adalah Islam Ideologis). Peningkatan ini sangat mencengangkan, karena sebelumnya hanya ada satu kasus bom bunuh diri sebelum tahun 2001, kemudian menjadi 355 kasus  setelah kesepakatan kerjasama terjalin. Mengenaskan, karena meningkat hanya dari satu korban tewas menjadi 5000 korban tewas!

Indonesia pun bila dicermati, tampaknya memiliki indikasi yang sama. Isu terorisme dipelihara agar terjalin kerjasama dengan negara-negara yang akan mengucurkan dana tidak sedikit dalam proyek antiteroris. Pasca kerjasama dengan Amerika Serikat yang mulai kehabisan suplai dana, kini Indonesia menjalin kerjasama dengan Australia.

Proyek-proyek kerjasama ini  ini bisa terwujud dalam bentuk penangkapan-penangkapan orang-orang terduga teroris, atau dalam bentuk penyusunan UU antiteroris. Program pentingnya adalah deradikalisasi Islam.

Yang menjadi sasaran sesungguhnya adalah perjuangan penegakan Islam secara kaffah tanpa kekerasan. Sehingga wajar bila setiap peristiwa bom apapun selalu berusaha dikaitkan dengan upaya deradikalisasi. Maksudnya adalah menjauhkan umat Islam dari pemahaman yang selalu merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits secara tekstual.  Artinya, umat Islam harus dijauhkan dari Syari’at Islam.

Silakan dicermati, setiap peristiwa pemboman, media massa (pro liberal) akan mengangkat masalah ini. Narasumbernya pun akan berkisar pada orang  yang sama. Kalau bukan tokoh pluralis-sekular “berbaju cendekiawan muslim”, tentu orang-orang yang menjadi penghubung kerjasama dengan pihak asing dalam proyek antiterorisme. Atau bisa juga orang-orang yang diberi pekerjaan untuk menggolkan UU pesanan Asing dalam isu terorisme. Sepertinya tak ada yang lain.

Jadi sebenarnya, tak  hanya umat Islam yang menjadi korban stigmatisasi negatif tentang Islam. Namun pelaku bom bunuh diri dan kelompoknya juga adalah korban.  Korban penyesatan musuh-musuh Islam!

Pertanyaan silih berganti muncul dari benak peserta. Novi (santriwati) mempertanyakan, apakah pelaku tak memahami makna syahid, dan bagaimana penjelasan tentang mati syahid. Kali ini Ust. Umar  lebih banyak menjelaskan tentang definisi dan hukum.

Diskusi Rumah Media hanya berlangsung satu jam saja, sebagaimana jadwal yang ditetapkan. Namun kali ini menyisakan banyak pertanyaan yang lebih terarah. Khususnya untuk menggali lebih dalam isu terorisme yang menimpa umat Islam. Selanjutnya tentu yang harus kita pikirkan bersama adalah, apa yang bisa kita lakukan untuk mengarahkan umat Islam agar tetap istiqomah di jalan perjuangan dakwah, tanpa anarkis, tanpa kekerasan, tanpa perpecahan dan mampu menyatukan kekuatan serta potensi umat untuk menuju kemenangan yang sebenarnya telah Allah SWT janjikan.  Semoga Allah SWT memberikan kekuatan, keikhlasan dan kesabaran kepada kita semua.  [LU]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *