Liputan Khusus Diskusi Aktual “Reshuffle Kabinet: Solusi atau Problem?”

Tak biasanya, tempat diskusi kali ini dipindah ke ruang perpustakaan MediaIslamNet. Info ini saya dapatkan dari SMS yang dikirim Junnie Nishfiyanti, penanggung jawab Santri Pesantren Media. Pukul 19.30 saya sudah sampai di tempat diskusi. Masih kosong. Masih lengang. Saya duduk di kursi yang tertata rapi di ruang perpustakaan. Tak terasa mata malah mengantuk. Maklum, aktivitas Rabu (19/10) cukup padat. Ba’da Shubuh siaran di radio KISI 93.4 FM, menjelang siang juga giliran siaran di radio MARS 106 FM. Ba’da Dhuhur hingga Ashar saya harus mengunjungi siswa Rumah Gemilang Indonesia yang sedang magang di salah satu penerbitan. Dan, tak hanya sekadar berkunjung tetapi membantu untuk membuatkan storyboard yang akan digunakan dalam pembuatan video company profile perusahaan penerbitan tersebut. Sampai rumah menjelang maghrib dan tak bisa lagi istirahat. Setelah isya langsung ke tempat diskusi. Nah, itu sebabnya ras kantuk tak tertahankan. Sepertinya saya tertidur sebentar.

Jam sudah menunjukkan pukul 19.45 WIB ketika peserta diskusi sudah mulai berdatangan. Ustad Umar Abdullah muncul dengan wajah agak tak segar. Biasanya sudah membanyol untuk membuka diskusi, tetapi kali ini suasana diskusi kurang gereget. Ya, ternyata Ustad Umar Abdullah sedang tidak fit kondisi tubuhnya. Sudah beberapa hari terakhir ini ia sakit. Tetapi karena peserta diskusi sudah banyak yang hadir, maka acara tetap dilaksanakan. Sayangnya, dengan kondisi tersebut jadi tidak maksimal. Ditambah Bu Latifah Musa yang biasanya menyiapkan bahan diskusi dengan matang, kali ini juga tanpa persiapan yang memadai. Ini makin menambah suasana diskusi jadi kurang “mak nyoos!”

Saya sih tugasnya memang mencatat berbagai informasi yang berhasil ditumpahkan dalam forum diskusi pekanan ini. Sehingga konsentrasi saya biasanya lebih fokus kepada apa yang disampaikan oleh peserta diskusi ketimbang harus ikut-ikutan mengajukan pertanyaan atau memberikan jawaban. Namun demikian, saya tetap bisa menyimak dan sesekali ikut nimbrung memberi informasi meski tidak maksimal.

Pertanyaan pun hanya ada empat. Tiga di awal acara dan satu lagi menjelang akhir diskusi. Fathimah, peserta diskusi yang paling muda, yakni kelas 6 SD menanyakan apa itu reshuffle. Disusul Farid, santri ikhwan Pesantren Media mempertanyakan tentang tujuan reshuffle. Nah, karena tidak ada yang mau bertanya lagi, maka Ustad Umar berkomentar, “Kok tidak ada yang menanyakan bagaimana pandangan Islam terhadap masalah reshuffle?” Kontan pernyataannya diamini oleh Novia dan Neng Ilham yang spontan mendukung. Lha, rupanya baru terpikirkan. Hehehe…

Menjawab pertanyaan Fathimah, Ustad Umar Abdullah sempat melontarkan ke forum siapa yang mau menjawabnya. Tidak ada yang mengajukan jawaban. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Ustad Umar Abdullah memberikan jawaban bahwa secara sederhana reshuffle adalah pengocokan kembali, atau perubahan susunan. Reshuffle kabinet berarti perubahan susunan anggota kabinet yang diisi oleh para menteri dan pejabat negara lainnya. Fathimah yang masih SD itu, rupanya mengerti.

Pertanyaan lainnya yang perlu dijawab dan agak serius adalah dari Farid, sebenarnya apa tujuannya reshuffle? Apakah untuk mensejahterakan rakyat? Kali ini jawaban langsung diberikan Ustad Umar Abdullah, “Tujuannya untuk mempertahankan kekuasaan”.

Benarkah? Ya, setidaknya jika melihat hasil reshuffle. Kita bisa menyimak fakta dalam reshuffle kali ini, justru kabinet ini tidaklah ramping. Makin tambun saja. Terbukti dengan penambahan beberapa wakil menteri dalam beberapa kementerian (ada 13 wakil menteri, ditambah dengan 6 wakil menteri yang sebelumnya sudah ditetapkan presiden, jauh sebelum reshuffle kali ini). Ini tidak saja membuat birokrasi diduga akan kian lambat, juga tidak efektif dan pemborosan anggaran negara (mana mungkin wakil menteri tidak digaji, pastilah ongkos transportasi dan uang makan haruslah ada, dan itu tentu saja di luar gaji dan tunjangan). Tetapi sepertinya sudah dikalkulasi oleh Presiden SBY untuk hal tersebut.

Namun terlepas dari kabinet ini menjadi tambun bin gemuk dan pos anggaran pengeluaran kian menyedot APBN), yang perlu diwaspadai adalah Presiden SBY sedang menumpuk barikade di sektor pertahanan untuk mengamankan kekuasaannya. Ini memang baru asumsi, atau bolehlah sedikit lebih keren disebut analisis, bahwa dengan hak prerogatif presiden, sangat mungkin untuk menggunakan kekuasaan dan logika kekuatannya dalam mengamankan kekuasaan dengan cara memilih orang-orang yang bisa menjadi tameng.

Jika melihat susunan terbaru hasil reshuffle, sepertinya Pak SBY tidak berniat secara sungguh-sungguh merombak kabinetnya. Beberapa menteri yang lalai dalam tanggungjawab dan tugasnya, malah tetap bercokol dan menduduki posisinya semula. Padahal, menteri yang bersangkutan gagal dalam bertugas. Apakah karena dia bagian dari partainya atau karena ada deal politik dengan partai koalisi? Memang ada yang diganti karena sudah jelas kelalaiannya seperti menteri perhubungan, Freddy Numberi (dari Partai Demoktrat). Tetapi penggantinya adalah EE Mangindaan (juga kader Partai Demokrat), yang sebelumnya menjabat Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Ini sebagai contoh saja. Sebab, ada beberapa menteri yang hanya bertukar posisi jabatan saja dan umumnya dari legiun yang sama (baca: partai yang sama).

Bisakah KIB II hasil reshuffle ini menjalankan amanat—salah satunya menghilangkan kasus korupsi—bisa terwujud? Sepertinya, dugaan saya, tidak. Korupsi dan problem lainnya akan tetap ada. Ini bisa dilihat dari kinerja Presiden SBY dan kabinetnya, dua periode menjabat tak ada perubahan signifikan. Bahkan dalam beberapa kasus, terutama “Century-Gate” dan “Kisruh Wisma Atlet” posisi presiden kian tersudutkan. Itu sebabnya, reshuffle kali ini diduga kuat juga untuk menumpuk kekuatan di lini pertahanan kekuasaan. Kita lihat saja nanti.

Obrolan diskusi pekanan ini juga membahas bahwa dengan seringnya reshuffle, masyarakat jadi tidak mengetahui sebagian besar nama-nama menteri di kabinet. Ini juga sekaligus menjawab pertanyaan Novia Handayani tentang apa keuntungan dan kerugian bagi masyarakat. Ya, dengan berganti-gantinya istilah kementrian juga membuat ribet di tingkat bawah. Presiden mudah saja mengubah nama beberapa kementerian, tetapi bagaimana dengan di tingkat bawah? Salah satu contohnya adalah Kemendiknas yang diubah (atau dikembalikan) jadi Kemendikbud. Silakan dihitung biaya-biaya yang akan dikeluarkan untuk perubahan logo, kop surat, papan nama dari puluhan ribu sekolah dari tingkat dasar hingga tingkat atas. Ribet kan?

Bandingkan dengan di jaman Pak Harto, tidak pernah ada reshuffle di tengah jalan. Sehingga dalam lima tahun masa pemerintahan tiap kabinet (di masa Pak Harto kabinetnya dinamai dengan Kabinet Pembangunan I hingga VII—kabinet Pembangunan VII cuma bertahan sekira 2 bulan 7 hari (14 Maret 1998 – 21 Mei 1998), karena Pak Harto keburu dilengserkan. Tidak adanya reshuffle di tengah jalan, bagi masyarakat juga mudah untuk menghapal nama-nama menteri di tiap kabinetnya dan tidak perlu berganti-berganti hal yang tidak perlu akibat perubahan nama menteri dan nama kabinet seperti di jaman Presiden SBY—yang selama masa pemerintahannya sudah melakukan reshuffle 3 kali. Termasuk di masa Presiden Soekarno yang melakukan reshuffle berkali-kali. Kabinetnya sendiri tercatat ada 26 kabinet antara tahun 1945 hingga 1968—yang terbagi dalam era perjuangan kemerdekaan, era demokrasi parlementer dan era demokrasi terpimpin).

“Dari semua presiden yang pernah memimpin negara Indonesia, ada tiga presiden yang sama sekali tidak pernah melakukan reshuffle kabinet selama masa kepemimpinannya, yaitu Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie dan Presiden Megawati Soekarno Putri,” ujar Anhar Gonggong, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (waspada.co.id)

Bagaimana dengan Islam? Dalam sistem pemerintahan Islam, Ustad Umar Abdullah berkomentar bahwa tidak pernah terjadi reshuffle. Lagi pula dalam sistem pemerintahan Islam simpel. Kepala negara, yakni khalifah bisa langsung membawahi para dirjen (direktur jenderal), tidak ada istilah kementerian karena memang bukan berasal dari sistem Islam. Semua yang ditunjuk oleh khalifah seperti hakim, panglima perang, wakil khalifah dan pemerintahan dan administrasi serta lembaga lainnya adalah orang-orang profesional di bidangnya. Sementara para politisi, mereka aktif di majelis syuro. Jika pun terjadi pemecatan dan pergantian dirjen lebih mudah, tidak ribet.

Sayangnya, diskusi yang seharusnya berjalan seru dan bisa mengeksplorasi lebih dalam permasalahan reshuffle harus diakhiri karena stamina Ustad Umar Abdullah kian melemah. Padahal, ada rencana untuk membahas rapor tiap menteri di masing-masing kabinet dan juga pejabat negara lainnya. Mengungkap siapa dia, apa karirnya sebelum jadi menteri atau pejabat negara, apa saja kebijakannya, apa yang perlu diwaspadai dengan track record yang dimilikinya selama ini. Termasuk dampaknya bagi kepentingan publik. Perlu diwaspadai beberapa kementerian yang dikhawatirkan melakukan kebijakan berbahaya bagi masyarakat. Misalnya memberlakukan kebijakan impor beras ketimbang menggenjot sektor pertanian di negeri sendiri. Serta kebijakan lainnya yang lebih mementingkan keinginan penguasa dan pengusaha ketimbang publik.

Akhirnya, diskusi benar-benar diakhiri. Saya merapikan beberapa catatan dan membacakan secara ringkas poin-poin penting hasil diskusi. Jarum panjang jam menunjukkan di angka 9, artinya sedikit lagi menjelang pukul 21. Ternyata tak lama diskusi ini. Kami bubar,dan tugas saya untuk menuliskan hasil diskusi serta menguploadnya ke website MediaIslamNet. Dan, sekarang sudah Anda baca. Semoga bermanfaat.[OS]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *