Rabu malam (12/10), selepas waktu Isya saya sudah ‘nongkrong’ di Rumah Media. Gerimis sisa hujan deras sore hari alhamdulillah tak menyurutkan saya memacu sepeda motor menembus udara dingin. Perjalan cukup jauh, sekitar 12 kilometer dari Studio MARS 106 FM tempat saya selesai siaran sore menuju Rumah Media di Pesantren Media. Ternyata di Rumah Media masih sepi. Baru ada Farid, yang memang menjadi ‘kuncen’ di situ. Sambil menunggu kawan-kawan dari MediaIslamNet, saya menyiapkan laptop, modem dan bahan-bahan yang akan didiskusikan malam itu: “Menyoal RUU Intelijen”. Ya, sebenarnya sudah jadi UU setelah sehari sebelumnya, yakni tanggal 11 Oktober 2011 disahkan oleh DPR (dengan mendapat persetujuan dari semua fraksi). Mungkin banyak orang tidak tahu karena bertepatan dengan hingar bingar pelaksanaan babak kualifikasi Piala Dunia 2014 antara timnas Indonesia melawan timnas Qatar.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 19.45 WIB ketika kru MediaIslamNet dan para santri Pesantren Media berdatangan. Ustad Umar Abdullah, seperti biasa membawa serta anak dan istrinya, sehingga suasana Rumah Media menjadi rame. Apalagi jika semuanya ingin terlibat dalam diskusi pasti lebih seru lagi. Setelah semua siap, barulah diskusi dimulai dengan pengantar dari Ustad Umar Abdullah yang kali berpenampilan bak Hamid Karzai (busananya aja sih—dalam hal ini mengenakan mantel besar hehehe..).
Tepat pukul delapan malam, suasana diskusi makin terasa. Pengantar yang disampaikan Ustad Umar untuk memulai diskusi rutin ini pekanan ini berhasil memancing pertanyaan dari beberapa peserta diskusi. Pertanyaanya lumayan banyak. Bervariasi, dari mulai yang ringan hingga yang pertanyaan yang memerlukan pendalaman khusus dalam menjawabnya.
Neng Ilham, santri Pesantren Media asal Pandeglang memberondong dengan beberapa pertanyaan: “RUU intelijen itu apa sih? Kenapa baru diberlakukan sekarang? Apa yang menjadi pro-kontra masyarakat mengenai RUU Intelijen? Apakah dengan diberlakukan UU intelijen ada pengaruhnyua bagi umat Islam? Dan bagaimana Islam mengatasinya?” meski tidak disampaikan dengan berapi-api, tetapi daftar pertanyaan ini cukup memberikan tekanan. Setidaknya kepada yang mau menjawab perlu menyiapkannya dengan maksimal.
“Baik, itu saja?” Ustad Umar Abdullah bertanya dengan suara yang agak serak (atau karena menahan kantuk?). Dijawab dengan anggukan kepala oleh Neng Ilham.
“Ada pertanyaan dari peserta lainnya?” Ustad Umar menyapu pandangan matanya ke seluruh peserta diskusi.
“Saya Ustad!” Novia Handayani, santri Pesantren Media ‘berkebangsaan’ Cimanggis ini mengacungkan jarinya lalu mengajukan pertanyaan: “Mengapa DPR tetap mengesahkan RUU Intelijen menjadi UU Intelijen meskipun masih ada pro-kontra di masyarakat?”
Setelah Neng Ilham dan Novia, giliran Farid yang mengajukan pertanyaannya, “Setelah dijadikan UU, apakah kata-kata multitafsir itu masih ada? Kenapa tetap disahkan meski banyak yang kontra? Kriterianya apa aja sampai kemudian DPR memilih mensahkannya? Apakah ada semacam sistem atau konsep untuk mencegah dampak dari diberlakukannya UU Intelijen ini?”
Waduh, banyak juga pertanyaannya nih. Meski awalnya saya tidak hendak bertanya, karena tak memiliki pertanyaan, tetapi pada akhirnya saya ‘terpaksa’ bertanya juga, “Apakah ada permintaan dari pihak asing di balik pengesahan UU Intelijen ini?”
Sharing pendapat
Diskusi rutin pekanan ini memang diadakan untuk sharing pendapat dari kru MediaIslamNet dan Pesantren Media serta para narasumber serta presenter program acara Voice of Islam dalam menyikapi peristiwa-peristiwa terbaru yang diupdate setiap pekannya. Hasilnya, dipublikasikan untuk umum di website resmi MediaIslamNet agar manfaat dari diskusi ini bisa dirasakan juga oleh banyak orang. Insya Allah rencana ke depannya bisa dijajal untuk disiarkan secara online via streaming.
Ustadzah Latifah Musa, yang rajin menulis untuk rubrik Editorial di website MediaIslamNet menyampaikan pendapatnya dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peserta diskusi. Ibu empat anak ini tampak semangat menjawab pertanyaan dengan lugas dan tuntas. Umar Abdullah ikut menjawab dengan disisipi guyonan sehingga suasana terasa cair. Meski tema yang dibahas terbilang berat, tetapi ringan dalam cara menyampaikan. Saya juga ikut nimbrung meski tetap fokus pada pencatatan beberapa poin penting dalam diskusi malam itu.
Secara bahasa intelijen berasal dari kata intelligent alias cerdas atau pandai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia intelijen didefinisikan sebagai orang yang bertugas mencari (meng-amat-amati) seseorang; dinas rahasia. Sementara dinas intelijen diartikan sebagai dinas dalam angkatan bersenjata atau badan khusus negara yang menyelidiki segala aliran politik di dalam negeri dan kegiatan politik oleh agen dari negara lain. Penyampaian definisi ini diharapkan bisa memberikan informasi dan cara pandang yang benar dalam menilai fakta seputar intelijen dan khususnya pembahasan mengenai UU Intelijen.
Perjalanan disahkannya UU Intelijen ini ternyata memakan waktu cukup lama, 9 tahun. Sudah digagas sejak 2002 lalu. Hal ini terjadi karena adanya pro dan kontra dari banyak kalangan yang menilai bahwa RUU Intelijen memuat pasal-pasal karet yang diduga kuat bukan untuk menjaga keamanan negara, tetapi menjaga kekuasaan. Tetapi DPR tetap mengesahkannya dengan memberikan semacam ‘jaminan’ bahwa diberlakukannya UU Intelijen bukanlah ancaman bagi kebebasan warga negara. Ketua Komisi Pertahanan DPR Agus Gumiwang Katasasmita dalam laporannya di dalam sidang Paripurna DPR menjelaskan bahwa Undang-undang Intelijen tidak memberikan wewenang untuk menahan dan menangkap kepada Badan Intelijen Negara, karena hal itu merupakan tugas dari penegak hukum. Aparat Intelijen diberikan wewenang untuk melakukan penggalian informasi, melakukan pemeriksaan aliran dana dan menyadap.
Menurut Agus, penggalian terhadap informasi yang dilakukan intelijen merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat sebagai tindak lanjut dari informasi yang diperoleh sebelumnya.
Meski telah disahkan bukan berarti masyarakat diam. Beberapa kelompok masyarakat bahkan menolak dan melakukan unjuk rasa. Sayangnya, dari kalangan umat Islam tidak begitu dominan. Mereka yang dominan menolak justru dari kalangan sosialis.
Pasal-pasal yang multitafsir (tepatnya pasal karet yang bisa ditarik ke sana kemari sesuai kepentingan yang membuat) dalam RUU Intelijen tidak dihapus ketika sudah disahkan menjadi UU Intelijen. Terutama yang menjadi sorotan adalah 3 poin: penyadapan (informasi—dan diduga kuat intelijen akan memata-mati warga negara yang berpotensi mengganggu keamanan negara dalam semua aktivitas informasinya—termasuk di dunia maya); kategori rahasia intelijen; dan tentang keamanan negara. Khusus untuk kategori rahasia intelijen, pasal ini ditentang para jurnalis karena akan mematikan kebebasan informasi dan dijerat tuduhan membocorkan rahasia intelijen atau rahasia negara ketika mempublikasikan temuan informasi hasil investigasi yang berkaitan dengan keamanan negara. Jadi, diduga kuat bukan hanya pihak internal intelijen yang akan diberi sanksi karena membocorkan data intelijen ke media, tetapi jurnalis dan medianya bisa diberi sanksi juga.
UU Intelijen pesanan asing?
Dalam diskusi ini juga ditekankan bahwa tak mustahil ada pesanan pihak asing dalam pembuatan pasal-pasal tertentu. Meski secara fakta tertulis atau informasi primer sejauh yang diketahui peserta diskusi belum diketahui, tetapi indikasinya tampak nyata mengarah kepada adanya campur tangan pihak asing dalam pembuatan dan pengesahan UU Intelijen ini. Indikasinya adalah dengan ikut andilnya Australia yang bekerjasama langsung dengan Departemen Keamanan. Selain itu pernyataan Presiden SBY setelah Bom Solo yang menginginkan diberlakukannya UU Intelijen.
SBY menilai kembali terulangnya aksi teroris bom bunuh diri membuktikan bila tindakan preventif masih lemah. Ini tidak bisa dilepaskan karena belum adanya payung hukum untuk melakukan tindakan penegakan hukum tanpa dituding melanggar HAM atau represif. “Hukum harus ditegakkan, rakyat harus dilindungi. Oleh karena itu saya berharap manakala UU yang kita miliki agar aparat intelijen dan kepolisian untuk cegah aksi terorisme itu memang harus dilakukan,” tegas SBY beberapa jam setelah bom bunuh diri di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah (26/9/2011)
Data dan fakta ditaburkan dalam diskusi yang berjalan 90 menit itu. Sangat menarik. Namun bagaimana pun menariknya harus diakhiri, dan tentu diberikan kesimpulan. Nah, kesimpulan dari diskusi ini adalah bahwa meski UU Intelijen sudah disahkan, dan potensi ancamannya mengarah kepada gerakan-gerakan Islam yang dianggap hendak merongrong pemerintah, tetapi kita melihat bahwa UU Intelijen yang sudah disahkan DPR itu tetap produk manusia yang bisa saja dilanggar oleh pembuatnya sendiri.
Sekadar catatan tambahan, Ustadzah Latifah Musa menambahkan bahwa di dalam Islam, aktivitas intelijen menjadi bagian dari tanggung jawab Negara dalam rangka mengetahui kekuatan, strategi, tujuan, serta tempat-tempat strategis musuh yang sedang memerangi negara. Kerja intelijen ini berada di bawah wewenang Departemen Peperangan (Dairah Harbiyah). Sementara terkait dengan stabilitas keamanan dalam negeri, aktivitas intelijen ditangani oleh Departemen Dalam Negeri (Dairah Amnid Dakhili). Pelaksanaan aktivitas intelijen dalam Islam, terikat dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’.
Apa pesan penguasa saat ini atas disahkannya UU Intelijen? Cukuplah hadis Nabi saw. untuk mengingatkan mereka. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya seorang Amir itu, jika ia mencari keragu-raguan (sehingga mencari-cari kesalahan) dari rakyatnya, berarti ia telah merusak mereka” (HR Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Sebelum diskusi benar-benar berakhir, Neng Ilham bertanya heran, “Lalu bagaimana sikap kita setelah disahkannya UU Intelijen?”
“Nyantai aja lah,” komentar Ustad Umar singkat sambil senyum.
Benar, bahwa disahkannya UU Intelijen oleh DPR dan itu berpotensi mengancam ummat Islam, tetapi kaum muslimin wajib tenang. Tidak perlu panik dan sebaliknya tunjukkan bahwa Islam dan kaum muslimin bukanlah ancaman bagi dunia, tetapi adalah harapan yang bisa membereskan dunia yang sudah carut-marut akibat memberlakukan sistem kapitalisme ini. Apa yang bisa diharapkan dari Islam? Insya Allah akan muncul kesejahteraan dan kemaslatan ketika ditegakkannya syariah Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Mari, kita wujudkan agar semua orang menjadikan Islam sebagai harapan untuk kehidupan dunia dan akhirat yang benar dan baik.[OS]