Tak biasanya, saya datang terlambat. Biasanya sih pukul 19.30 sudah ngetem di tempat acara diskusi sambil menunggu yang lain. Itu sebabnya, Ustad Umar Abdullah sampai berkomentar, “Biasanya kita yang ditunggui Kang Oleh. Sekarang kita yang nungguin Kang Oleh.” Ehm… maklumlah, seharian saya harus melakukan interview untuk menyeleksi calon peserta diklat di sebuah lembaga pendidikan di Depok, tempat saya mengajar. Ba’da maghrib saya baru bisa meluncur ke Bogor dan sampai di tempat diskusi pekanan sudah pukul 20.00 WIB. Sudah kumpul semua. Pada diskusi pekanan kali ini, peserta yang hadir bertambah. Ada Nafiisah FB dan suaminya, Apu Indragiri. Sepertinya akan asik nih diskusi.
Sebagaimana biasanya saya langsung berbenah menyiapkan peralatan untuk mendokumentasikan berjalannya diskusi. Setidaknya yang harus saya catat adalah poin-poin penting dari obrolan yang disampaikan rekan-rekan dari MediaIslamNet dan narasumber Voice of Islam serta para santri Pesantren Media. Tapi yang berbeda kali ini, diskusi tidak diikuti peserta cilik, yakni Fatimah (kelas 6 SD) dan Abdullah (kelas 4 program home schooling). Sebabnya, mereka sudah ‘terkapar’ dengan sukses di tempat tidur masing-masing. Hehehe.. mungkin kelamaan nunggu saya.
Diskusi langsung dimulai dengan pembukaan yang disampaikan Ustad Umar Abdullah. Memaparkan sedikit tentang apa yang akan didiskusikan, yakni seputar problem Freeport. “Ya, tema diangkat karena sudah tiga pekan Papua bergejolak. Unjuk rasa karyawan Freeport menuntut kenaikan gaji. Sebabnya, harga emas naik, dari Rp 250 ribu per gram menjadi lebih dari Rp 570 ribu per gram. Sementara banyak karyawan, terutama di unit produksi, tidak ada perbaikan kesejahteraan. Ketika tuntutannya tidak dipenuhi, para buruh mogok kerja. Khawatir berlanjut, akhirnya ada negosiasi dengan pihak perusahaan. Namun, ketika sedang berunding antara wakil buruh dengan pihak manajemen, di luar gedung ada dua orang pengunjuk rasa yang tewas. Suasana makin memanas. Ditambah dengan beberapa hari kemudian digelar Kongres MRP (Majelis Rakyat Papua). Kondisi makin bergolak ketika Kapolsek Mulia ditembak mati oleh orang tak dikenal. Inilah kondisi Freeport saat ini.”
“Baik, untuk mengefektifkan waktu, siapa saja yang mau mengajukan pertanyaan, dipersilakan” Ustad Umar memberikan kesempatan kepada peserta diskusi.
Farid, santri Pesantren Media mengajukan pertanyaan, “Freeport sudah menyedot kekayaan Indonesia dan membuat problem. Mengapa pemerintah tidak mau mengusir Freeport? Apa keuntungan pemerintah mempertahankan Freeport?”
Disusul dengan pertanyaan dari Apu Indragiri, “Adakah keterkaitan Freeport dengan kemerdekaan RI? Sebab, lahan yang dipakai Freeport termasuk yang dipersengketakan antara Belanda dengan RI. Lalu muncul Amerika akan membantu RI dengan imbalan Freeport. Benarkah? Historinya bagaimana?”
Novia dan Neng Ilham, santri akhwat Pesantren Media juga seperti biasa ikut mengajukan pertanyaan. Mereka rupanya masih kebingungan, sehingga bertanya yang sangat dasar tapi penting dibahas jika tujuannya membimbing orang awam untuk mengetahui masalah yang sedang dibahas. Ya, yang ditanyakan adalah, “Apa sih Freeport itu dan kapan berdirinya?” Meski kemudian secara spontan diiringi tawa kecil peserta diskusi lain, tetapi hal ini memang wajar ditanyakan karena mereka dengan jujur mengakui tidak mengetahui masalahnya.
Pembahasan dimulai dari pertanyaan termudah. Ya, PT Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun 2007. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Dilihat dari perjalanan sejarahnya, Freeport ini memang diburu sejak awal kemerdekaan. Ustad Umar Abdullah, yang memang konsen di bidang kajian sejarah, lebih banyak mengetahui catatan sejarah ketimbang peserta diskusi lainnya memberikan komentar, “Tahun 1949 kemerdekaan Indonesia diakui Belanda. Itu adalah hasil keputusan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Tapi, wilayah Indonesia yang merdeka dan diberikan kedaulatannyab kepada Indonesia, tidak termasuk Papua. Belanda berjanji Papua akan diserahkan 1 atau 2 tahun setelahnya. Kesepakatan lainnya, semua jajahan Inggris diserahkan ke malaysia dan semua jajahan Belanda diserahkan ke Indonesia. Saat Belanda dan Inggris terkapar, datanglah Amerika dan Uni Soviet. Dua adidaya. Mereka ingin menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Sejak 1957, AS sebenarnya sudah mempersenjati Angkatan Darat Indonesia melalui Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal AH Nasution. Amerika berperan besar dalam kasus pembebasan Papua Barat. Sebagai imbalannya, perusahaan-perusahaan Amerika meminta hak untuk beroperasi di Indonesia, khususnya Papua. Maka, tahun 1964 masuklah Freeport menggarap Tembaga Pura meskipun pada waktu itu Presiden Sukarno tidak setuju. Jikapun dibolehkan, tetapi dengan syarat bahwa nanti ketika para insinyur negeri ini sudah bisa mengelola, harus diserahkan kepada mereka. Tidak selamanya dikuasai Freeport ,” panjang lebar disampaikan oleh Ustad Umar Abdullah.
Mengapa tahun 1964 Freeport bisa masuk menggarap Papua? Padahal pada saat itu Presiden Sukarno cenderung menolak kehadiran Amerika, karena masih ada sedikit pengaruh kekuatan Soviet. “Ternyata, ada aksi dari agen Amerika Serikat yang tak diduga sebelumnya, yakni Soeharto yang ikut memuluskan jalan Amerika membenamkan Freeport dan mengeruk kekayaan alam di sana berdasarkan Kontrak Karya generasi pertama (KK I) di tahun 1967,” demikian penjelasan tambahan dari Ustad Umar Abdullah.
KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama.
Dalam laporan Marwan Batubara, Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), menyebutkan bahwa KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport. Kelemahan- tersebut utamanya adalah sebagai berikut:
- Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia.
- Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
- Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.
- Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah.
- Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial.
- Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Dengan hak istimewa yang diberikan pemerintah Indonesia era order baru ini, Freeport makin bernafsu untuk menggerakkan mesin-mesin produksinya mengeruk lahan pertambangan yang kaya dengan emas ini hingga keuntungannya kian berlipat. Tetapi, pemerintah Indonesia tak jua kaya raya. Maklum, kepemikan saham pemerintah Indonesia di Freeport Indonesia saat ini hanya 9, 36%, sedangkan Freeport McMoRan Copper & Gold Inc memiliki 90, 64%, di mana di dalamnya termasuk eks saham Indocopper Investama yang dibeli dari Grup Nusamba pada 1991.
Mengutip pemberitaan di starbrainindonesia.com (5 Maret 2010), yang menurunkan laporan seputar problem Freeport. Menurut Chandra Tirta Wijaya (anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN) berpendapat, keistimewaan KK Generasi I yang dimiliki Freeport Indonesia sangat merugikan negara dan tidak berpihak kepada nasional, “Sudah saatnya pemerintah mengkaji kembali izin penambangan yang diberikan kepada Freeport. Jangan sampai negara terus dirugikan karena ini, karena manfaat yang diberikan tidak optimal,” kata dia.
Dalam laporan starbrainindonesia juga mengutip pendapatnya Laode Ida. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu mengatakan, negara harus menguasai tambang emas Ertsberg dan Grasberg di Papua demi kemakmuran rakyat. “Negara harus berkuasa penuh,” jelasnya.
Sementara itu, Sahala Lumban Gaol, Deputi Bidang Pertambangan dan Industri Strategis Kementerian BUMN, mengungkapkan bahwa pemerintah akan mengkaji kembali opsi penambahan kepemilikan saham di Freeport Indonesia. “Nilai saham Freeport saat ini sudah sedemikian tinggi. Jadi, rencana penambahan komposisi saham harus di-review dan melalui kajian. Kami akan melihat dengan cermat benefitnya,” ungkapnya.
Mencari solusi
Diskusi kemudian mengerucut kepada pembahasan inti, ada apa di balik huru-hara Freeport kali ini, dengan terjadinya pemogokan besar-besaran karyawan Freeport? Beberapa asumsi kemudian dipetakan oleh Ustadzah Latifah Musa, pengasuh rubrik Editorial di Voice of Islam dan juga penulis tetap rubrik editorial di website MediaIslamNet.Com mengajukan pertanyaan, “Ada apa di balik aksi di Freeport? Apakah karena Freeport akan dinasionalisasi, ataukah ada dukungan dari DPR untuk memperbarui kontrak karya yang merugikan pemeritah tersebut? Atau memang itu unjuk rasa alami sebagai tuntutan dari pekerja yang merasa dirugikan?”
Ustad Umar Abdullah, memilih pendapat bahwa unjuk rasa pemogokan karyawan Freeport adalah murni alami sebagai akumulasi kekecewaan buruh terhadap perusahaan, apalagi sejak bulan Juli 2011 ada kenaikan harga emas yang sangat signifikan, yakni hingga lebih dari 200%, namun kondisi kesejahteraan buruh tak jua meningkat.
Benarkah Freeport akan membiarkan karyawannya mogok dalam jangka waktu lama? “Sepertinya tidak. Freeport butuh pekerja untuk menambang emas. Apalagi belakangan diketahui bahwa ada uranium di sana. Terlalu berisiko bagi bisnis mereka jika membiarkan para pekerja mogok. Kemungkinan akan dipenuhi tuntutannya,” jelas Ustadzah Latifah Musa.
Lalu, bagaimana seharusnya kita memandang masalah ini? “Teruskan pemogokan karyawan. Sebab, mungkin itu cara efektif mengusir Freeport dari sini,” Ustad Umar Abdullah menegaskan pendapatnya.
Sebab, mengandalkan pemerintah mengusir Freeport rasanya tidak mungkin. Apalagi presiden SBY termasuk pemimpin yang peragu dan susah memberikan keputusan. Pendek kata penakut. Tak seperti Presiden Sukarno—terlepas dari kezaliman yang dilakukannya—pernah berani terang-terangan mengusir Amerika dengan ucapannya yang sangat terkenal: “Go to Hell with your aid” (Pergilah ke neraka bersama bantuan-bantuanmu). Ucapannya ini ditujukan kepada pemerintah Amerika Serikat.
Lalu, apa yang bisa kita tawarkan untuk menyelesaikan problem ini? Islam memiliki aturan yang menyeluruh dan lengkap, termasuk untuk menangani problem ini. Maka, solusinya memang harus diterapkan syariat Islam. Khusus dalam masalah ini, Islam memiliki solusi dalam distribusi harta dan kepemilikan.
Hukum-hukum distribusi harta dalam Islam mencakup sebuah pemahaman yang unik, yaitu kepemilikan umum. Islam menetapkan kepemilikan dalam negara Khilafah ada tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Negara adalah pihak yang melindungi dan menjaga ketiga jenis kepemilikan itu sesuai dengan hukum-hukum syariah.
Kepemilikan umum mencakup; Pertama, harta yang dari sisi pembentukannya tidak mungkin dimiliki secara individu, seperti sungai, danau, laut, dsb. Kedua, apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti jalan, masjid, dsb; termasuk yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:
???????????????? ????????? ???? ???????: ???? ????????? ???????????? ??????????
Kaum Muslim berserikat dalam tiga jenis harta: air, padang gembalaan dan api.
Termasuk dalam cakupan pengertian api adalah seluruh jenis energi yang digunakan sebagai bahan bakar bagi industri, mesin, dan transportasi. Demikian pula industri gas yang digunakan sebagai bahan bakar dan industri batubara. Semua itu adalah kepemilikan umum.
Ketiga, barang tambang yang depositnya banyak dan tidak terputus; baik yang berbentuk padat, cair maupun gas; baik tambang dipermukaan maupun di dalam perut bumi. Semuanya merupakan kepemilikan umum.
Negara Khilafah adalah pihak yang mengelola berbagai kekayaan itu baik dalam hal eksplorasi, penjualan, maupun pendistribusiannya. Khilafah yang menjamin hak setiap rakyat untuk menikmati haknya dalam kepemilikan umum tersebut. Negara Khilafah mendistribusikan hasil bersihnya, setelah dikurangi biaya-biaya, dalam bentuk zatnya dan atau dalam bentuk pelayanan kepada semua warga negara.
Adapun kepemilikan negara ada pada harta yang hak pengelolaannya berada di tangan Khalifah sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya, seperti harta fai’, kharâj serta harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan semisalnya, dengan syarat syariah memang tidak menentukan arah pengelolaannya. Khalifah mengelola kepemilikan negara sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya dalam berbagai urusan negara dan rakyat. Misal: untuk menciptakan keseimbangan finansial di tengah masyarakat sehingga harta itu tidak hanya beredar di tangan orang-orang kaya saja sebagaimana firman Allah Swt. (yang artinya): “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS al-Hasyr [59]: 7)
Khalifah boleh memberikan harta itu kepada orang miskin saja dan tidak memberikannya kepada orang kaya. Hal itu seperti yang pernah dilakukan Rasulullah dalam pembagian fai’ Bani Nadhir.
Sementara itu, kepemilikan individu adalah harta yang pengelolaannya diserahkan kepada individu, pada selain harta milik umum. Kepemilikan individu itu terlindungi. Negara tidak boleh melanggarnya. Tidak ada seorang pun yang boleh merampasnya, termasuk negara sekalipun. Nasionalisasi, yaitu penguasaan negara terhadap kepemilikan individu, merupakan bentuk perampasan dan merupakan dosa besar.
Apa yang terjadi di Freeport saat ini adalah perampokan oleh pihak asing dan negara hanya diam menyaksikan keuntungan yang mereka peroleh. Berharap pembagian yang sedikit, itu pun dirampas pula oleh penguasa dan pejabat-pejabat negara. Sementara rakyat terus sengsara, menanggung derita entah sampai kapan. Mereka dipaksa sabar hingga menjemput ajal.
Keberadaan Freeport di negeri ini tak memberikan keuntungan bagi negara. Kontrak Karya jilid 2 pun tak diyakini tak memberikan dampak positif bagi kemajuan Indonesia. Haruskah menunggu hingga tahun 2041 saat kontrak karya generasi 2 selesai? Perlu diketahui bahwa Kontrak Karya antara pemerintah Indonesia dengan Freeport mulai diberlakukan April 1967 hingga berakhir 30 tahun kemudian, yakni tahun 1997. Namun pada tahun 1991 sudah ditandatangani perpanjangan kontraknya sehingga akan berakhir pada 2021, tetapi kemudian diperpanjang lagi hingga 2041. Anehnya pemerintah Indonesia hanya manut saja. Freeport, yang merupakan perusahaan Amerika Serikat tahu betul cadangan emas di sana yang melimpah. Bahkan uranium, bahan baku pembuatan nuklir ada di sana. Mereka ibarat menemukan sumber daya alam tak ada habisnya dari negeri ini. Berlomba dengan mengerahkan kekuatan politik di tingkat pemerintahan mereka untuk menekan penguasa negeri ini.
Haruskah rakyat terus menunggu mimpi indah kemajuan tanpa dibarengi keinginan penguasa untuk mau hidup berdaulat dan menjadikan negaranya maju? Apakah kita cukup puas dan berdecak kagum melihat daftar 14 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes yang dikeluarkan Maret 2011 lalu? Sementara puluhan juta lainnya terseok-seok di jalanan, menjadi preman, menjadi pengemis, menjadi pengangguran. Semua berawal dari tekanan ekonomi. Mereka merajut mimpi yang terkoyak. Sementara perusahaan-perusahaan asing belomba menguras kekayaan negeri ini nyaris tanpa tersisa sedikit pun. Selain Freeport masih ada puluhan perusahaan besar yang mencari duit di sini: Exxon, Conoco, Caltex, Newmont, dan lainnya.
Indonesia, negeri subur dan makmur, tetapi penguasanya, dan sebagian besar rakyatnya tidak bersyukur, sehingga negeri ini dijajah tanpa henti. Meski penjajahan militer sudah hengkang sejak 66 tahun lalu, tetapi penjajahan politik dan ekonomi terus berlangsung. Indonesia memang belum merdeka.
Tepat pukul 21.30 WIB, diskusi selesai. Kesimpulan utama dari diskusi ini adalah: “Freeport Harus Pergi. Pemerintah harus memiliki pemimpin yang berani mengusir Freeport dan perusahaan asing lainnya dari negeri ini. Lebih hebat lagi jika pemerintahannya menerapkan syariat Islam dan menegakkan Khilafah Islamiyah. Insya Allah bahagia dunia dan akhirat.” [OS]