Di Balik Hadiah Nobel untuk Perempuan

Tiga Perempuan pemenang nobel perdamaian 2011 (ki-ka): Tawakkul Karman, Ellen Johnson Sirleaf, Leymah Gbowee.

 Bulan Oktober 2011, Komite Nobel Norwegia memberikan hadiah perdamaian kepada tiga perempuan. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan dan pengakuan terhadap peran perempuan dalam demokrasi dan perdamaian dunia. Siapa saja mereka dan bagaimana pengaruhnya bagi dunia? Mengapa mereka dipandang layak oleh penyelenggara Nobel sebagai ikon perdamaian?

Tiga Perempuan Ikon Perdamaian Barat

Mereka adalah Ellen Johnson Sirleaf, Presiden Liberia, Leymah Gbowee, aktivis hak-hak perempuan Liberia, dan jurnalis serta aktivis prodemokrasi Yaman, Tawakkul Karman, yang pada tahun ini mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian.

Presiden Komite Nobel Norwegia Thorbjoern Jaglan mengatakan ketiga perempuan itu layak mendapat Nobel Perdamaian atas ”perjuangan tanpa kekerasan mereka demi keselamatan kaum perempuan dan demi hak perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam usaha membangun perdamaian.”

”Kita tak akan bisa meraih demokrasi dan perdamaian abadi di dunia kecuali kaum perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki untuk membawa pengaruh pada pembangunan  di seluruh lapisan masyarakat,” demikian kata Jagland dalam pengumuman pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2011 di Oslo Norwegia, Jumat (7/10).

Johnson Sirleaf (72) adalah perempuan  pertama yang memenangi pemilihan presiden di Benua Afrika. Sirleaf  berkontribusi memelihara perdamaian di Liberia, mendorong pembangunan dan ekonomi serta memperkuat posisi perempuan di negara yang baru keluar dari perang saudara tersebut.

Gbowee (39) adalah aktivis perdamaian, yang mengorganisasi perempuan dari golongan Muslim dan Kristen untuk bersatu menggelar mogok seks bersama guna memaksa kaum laki-laki di Liberia –terutama para panglima perang—untuk menghentikan perang saudara. Komite Nobel memuji kiprah Gbowee tersebut.

Tawakkul Karman (32) adalah seorang wartawan dan aktivis politik yang menjadi salah satu tokoh utama dalam gerakan rakyat Yaman menuntut lengsernya Presiden Ali Abdullah Saleh. Komite Nobel memuji Karman mampu memainkan peran memimpin dalam perjuangan demi hak-hak perempuan serta demi demokrasi dan perdamaian di Yaman.

Di Balik Nobel Perdamaian untuk Perempuan

Penguatan posisi perempuan dalam pemerintahan menjadi langkah untuk meredakan konflik bersenjata, inilah yang menjadi prestasi Sirleaf . Presiden pertama perempuan Liberia ini telah membuktikannya. Maka ia dianggap layak mendapatkan Nobel Perdamaian.

Peran perempuan dalam keluarga dan rumah tangga menjadi strategi jitu untuk menghentikan perang yang selama ini diterjuni oleh laki-laki. Terlepas dari apapun motif peperangan ini, tetapi langkah boikot yang digagas Gbowee menginspirasi dunia Barat bahwa kaum perempuan (secara khusus adalah kaum muslimin) yang masih memiliki komitmen pada peran domestik, terbukti mampu menghentikan peperangan.

Boikot seks yang diserukan Gbowee bahkan telah membuat para panglima perang menaruh senjatanya, demi memenuhi ”tuntutan perempuan”. Ini dipahami bahwa sebenarnya, hal tersebut adalah tuntutan kebutuhan kaum laki-laki terhadap keberadaan kaum perempuan.

Sedangkan prestasi Karman, telah mendobrak dunia Arab dan semi Arab yang selama ini meletakkan posisi perempuan tidak dalam barisan terdepan untuk menjadi martir melawan kezhaliman penguasa. Perempuan muslim selama ini berjuang di garis pertahanan dalam rangka melindungi anak-anak , menjaga generasi dalam pengayoman, pengasuhan dan pendidikan yang sempurna. Apa yang dilakukan Karman, menjadi ikon sendiri, khususnya dalam perjuangan kaum perempuan.

Namun menurut Jagland, Mantan PM Norwegia yang kini menduduki jabatan penting Komite Nobel, ia mengakui bahwa kemenangan Karman adalah sinyal dari Oslo agar Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh segera lengser dari tampuk kepemimpinannya.

Ketiga perempuan penerima Nobel perdamaian ini tak luput dari kepentingan politik dunia Barat terhadap dunia Islam. Perempuan dan perdamaian menjadi salah satu isu penting sejak bergulirnya MDGs (millenium Development Goals). Hal ini pun telah disinggung pada Konferensi Perempuan Dunia di Beijing yang  menetapkannya sebagai salah satu isu yang diperjuangkan kaum perempuan.

Isu inipun mendapatkan tempatnya setelah ketiga perempuan ini meraih gelar yang dipandang prestius. Kata kunci bagi kemenangan mereka adalah: Perempuan Pemimpin, Perempuan Cegah Perjuangan Bersenjata (Jihad) dan Perempuan berjuang  untuk Demokrasi.

Demokrasi memang lihai. Hak Asasi Manusia jelas hanya untuk Barat dan bukan untuk Islam. Apapun yang mampu menghentikan dan membelokkan perjuangan kaum muslimin untuk meraih kemenangan, maka dialah pemenangnya. Tentu dalam versi dunia Barat. Kaum muslimin jangan pernah tertipu! [Latifah Musa]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *