Masih ingat dengan fenomena Bu Siami dan Alif? Alif adalah pelajar SD di Surabaya yang mengungkapkan kasus contek massal di sekolahnya. Bu Siami kemudian melaporkan keluhan anaknya kepada yang berwenang. Namun yang kemudian dialami oleh bu Siami dalam mengungkapkan contek massal ini ternyata tidak mudah. Sempat terjadi pengusiran warga yang tidak setuju dengan terbongkarnya borok contek massal. Ada apa sebenarnya dengan bangsa ini. Mengapa kejujuran menjadi hal yang sulit ditegakkan? Kita akan berbincang-bincang tentang KEJUJURAN ADALAH KARAKTER Bersama Ustzh. Ir Lathifah Musa. Beliau selain merupakan pemimpin redaksi majalah udara VOI, konsultan klinik anak muda, ternyata juga menjadi pengamat dunia anak, penulis buku-buku pendidikan anak usia dini dan sekaligus juga seorang praktisi Homeschooling dalam keluarga.
Ustadzah, tentang kasus Alif dan Bu Siami, apa sebenarnya yang terjadi?
Bu Siami adalah sedikit orang yang sangat tidak bisa menerima kecurangan. Barangkali ini menjadi ingatan bangsa ini. Bahwa ada berita, seorang murid yang diminta untuk memberi contekan kepada teman-temannya ketika ujian nasional. Bu Siami sendiri baru tahu kalau ada peristiwa contek massal, kira-kira 4 hari setelah UN. Ia diberitahu oleh salah seorang wali murid yang lain. Awalnya Alif tidak menceritakan kepada ibunya, tetapi akhirnya menceritakan tentang perintah guru agar ia memberitahu teman-temannya dalam UN. Bahkan bagaimana cara contek massal pun dipraktekkan. Inilah yang tidak bisa diterima Bu Siami yang akhirnya melaporkan kasus ini kepada kepala sekolah, namun tidak ada tanggapan. Ia pun melaporkan kepada Diknas yang kemudian ditindaklanjuti dengan menyelidiki kebenaran kasus tersebut yang akhirnya terbukti. Kasus ini berujung pada sanksi kepada kepala sekolah dan dua guru. Namun ternyata selanjutnya warga mendemo Bu Siami sekeluarga, karena menganggap apa yang dilakukannya berlebihan dan tidak memiliki nurani. Bu Siami diminta untuk menyampaikan permintaan maaf. Tidak cukup dengan itu, mereka pun meminta Bu Siami sekeluarga untuk pergi.
Mengapa bisa terjadi kondisi seperti ini? Mau jujur malah terusir?
Demikian yang terjadi. Sebuah media mengangkat judul, mau jujur malah ajur. Kejujuran malah dihancurkan. Warga menganggap hal tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Kenyataannya contek massal juga tidak terjadi, karena anak-anak juga tidak semuanya mengikuti arahan gurunya. Walaupun pengakuan wali murid yang lain contek-mencontek itu terjadi juga. Warga dan juga guru-guru secara umum menganggap contek mencontek adalah hal yang biasa. Di sekolah lain pun barangkali juga terjadi. Untuk itu tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi sampai membuat kepala sekolah dan wali kelas jadi diturunkan jabatan. Bisa jadi mereka hanya lagi sial saja. Karena contek-mencontek dalam UN biasa terjadi sebelumnya. Inilah yang membuat seorang yang jujur menjadi melawan arus. Ada dua hal yang terlihat dari kondisi bangsa seperti ini: (1) Ketidakjujuran itu hal biasa. Jangankan warga, untuk para elit saja sudah terbiasa berbohong. Berbohong seperti sudah menjadi karakter bangsa ini. Sangat mudah kita menyaksikan kebohongan-kebohongan dipertontonkan. Itu yang akhirnya membangun karakter bohong dan membunuh karakter jujur. Bahkan dalam kasus para pejabat atau elit politik pun, yang sudah terang-benderang salah pun masih dengan gampangnya berkelit. Rakyat melarat dikatakan makmur; gagal dibilang sukses; hutang dibilang bantuan; banyak sekali ketidakjujuran yang ditebarkan oleh para pemimpin (2) Masa bodoh terhadap persoalan bangsa. Lihat saja, ketika para orang tua murid membiarkan guru-guru berbuat salah. Maksudnya agar mereka tidak terkena getah ruginya. Ini menunjukkan ketidakpedulian pada pengeroposan karakter bangsa. (3) Sekolah mengejar nilai, bukan mengejar kebaikan. Padahal seharusnya sekolah itu memperbaiki karakter agar menjadi baik dan mulia. Bukannya malah membuat anak didik menjadi rusak karakternya.
Apakah yang dilakukan oleh Bu Siami ini bagaikan menyiram air di pasir kering? Tidak ada pengaruhnya bagi sifat kejujuran bangsa ini?
Insya Allah apa yang dilakukan oleh orang-orang seperti Bu Siami tidak akan sia-sia. Bisa jadi selama ini banyak orang tua sudah muak dengan apa yang terjadi di sekolah. Ini membuka kebobrokan sistem pendidikan. Dengan sistem pendidikan yang ada, guru jadi hanya mengejar target kelulusan, mengejar pangkat dan gaji sehingga mengabaikan profesionalitasnya sebagai pendidik. Guru bukan lagi orang yang layak diteladani dalam karakter kejujuran dan lain-lain.
Bagaimana seharusnya pendidikan kejujuran bagi generasi?
Kejujuran bukan sekedar hiasan kepribadian. Tetapi kejujuran adalah karakter yang melekat pada kepribadian. Kejujuran adalah bagian dari akhlak Islami. Rasulullah Saw bersabda: “Kalian harus berbuat jujur, karena kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan ke surga. Jika manusia senantiasa berbuat jujur dan memperhatikan kejujuran, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur.” (Muttafaq ’alaih). Pada hadits Muttafaq ’alaih yang lain, Rasulullah Saw bersabda: “Ada empat perkara, siapa saja yang memilikinya, maka ia menjadi munafik dengan sempurna. Barangsiapa yang memiliki salah satunya, maka ia memiliki salah satu sifat kemunafikan, hingga meninggalkannya. Yaitu apabila seseorang diberi amanat, ia khianat; apabila berbicara ia berdusta; apabila berjanji ia tidak menepatinya; dan apabila ia berdebat ia akan berbuat curang.”
Apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi melemahnya karakter kejujuran bangsa ini?
Memperbaiki dari asasnya. Mengapa kejujuran hilang? Karena asasnya juga tidak mengokohkan kejujuran. Sekarang ini manusia sudah kapitalistik-sekularistik. Dasar berpikir kebanyakan orang adalah keuntungan dan materi. Bukan lagi sebagaimana seorang muslim yang dasar berpikirnya adalah sebagai hamba Allah SWT yang meyakini PenciptaNya dan meyakini bahwa hidup ini harus diatur oleh PenciptaNya. Guru yang materilistik-kapitalistik-sekularistik hanya akan mengejar materi. Mengejar pangkat dan jabatan karena dengan demikian akan naik gaji. Guru pun mengejar kelulusan, karena kelulusan yang tertinggi akan menaikkan ranking sekolah. Sekolah untuk mencari ilmu kini sudah hilang. Sekolah hanya untuk meraih ijazah dan gelar. Ketika asas Islam sudah hilang, maka target-target tadi dikejar dengan segala cara. Mau halal atau haram, tidak dilihat lagi. Yang penting menguntungkan secara materi. Ketika asasnya salah, maka perbaikannya juga harus dimulai dari asasnya. Pendidikan Islam berasaskan kalimat tauhid Laa ilaaha illaallaah. Berpegang teguh pada hukum Syara’. Inilah fungsi pendidikan. Bila ada perubahan secara menyeluruh dari asasnya, insya Allah akan ada perbaikan. [Bunga Salsabila]