Oleh Umar Abdullah
Suatu saat ada rombongan datang ke Madinah, ibukota Negara Islam. Empat dari suku Urainah dari daerah Bahrain dan tiga orang dari suku Ukul. Mereka bertemu Rasulullah saw dan menyatakan masuk Islam. Mereka bilang bahwa mereka sakit, tidak cocok dengan udara Madinah. Nabi saw yang juga bertindak sebagai kepala negara berkata, “Kalian boleh tinggal bersama pengembala ternak di Baitul Maal agar kalian dapat minum air susu unta dan minum kencing unta supaya segera sembuh.”
Demikianlah, akhirnya mereka sembuh. Tetapi ketika sehat dan gemuk, mereka malah keluar dari Islam, bahkan membunuh para gembala unta tersebut, dan, menggiring unta untuk dibawa kabur. Suara jeritan yang terdengar memberitahukan bahwa rombongan tersebut telah membunuh gembala dan merampas unta-untanya.
Akhirnya Nabi mengutus sahabatnya untuk melacak penjahat-penjahat itu. Rasulullah saw segera memanggil, “Ya Khailallah, irkabi! [Hai Tentara Allah, kejarlah mereka!].
Maka berangkatlah beberapa sahabat Nabi saw sementara Rasululah saw mengikuti di belakang mereka.
Akhirnya penjahat-penjahat itu tertangkap dan ditawan oleh sahabat. Mereka dihadapkan kepada Nabi saw.
Nabi saw sebagai kepala negara Islam menghukum mereka. Mereka dipotong tangan dan kakinya, matanya dicongkel karena mereka telah mencongkel mata para gembala yang dirampok. Mereka juga dijemur di panas matahari di tanah Harrah di luar kota. Mereka minta minum tetapi tidak diberi, sehingga mereka mati. Ya, pembalasan yang setimpal dengan kejahatan yang mereka lakukan terhadap penggembala unta.
Maka turunlah ayat ke-33 Surat al-Ma`idah kepada Nabi saw menetapkan hadd (hukuman yang ditetapkan Allah) untuk para pembegal:
“Innamaa jazaaaa`ul ladziina yuhaaribuunallaaHa wa rasuulaHuu wa yas’auna fil ardhi fasadan an yuqattaluu aw yushallabuuuu aw tuqaththa’a aydiiHim wa arjuluHum min khilaafin aw yunfaw minal ardhi dzaalika laHum khizyun fid dunyaa wa laHum fil aakhirati ‘adzaabun ‘azhiim.”
[Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (QS. Al-Maidah: 33)
Imam Syafi’i berkata bahwa Ibnu Abbas ra memberi perincian mengenai ayat ini: Jika penyamun-penyamun itu membunuh dan merampas harta, maka dihukum bunuh dan disalib. Jika hanya membunuh tanpa mengambil harta, maka cukup dibunuh dan tidak disalib. Jika mengambil harta tanpa membunuh, maka dipotong tangan dan kaki secara bersilangan. Dan jika hanya menakut-nakuti di jalan tanpa merampok harta, maka mereka cukup diasingkan dari negeri tempat mereka tinggal.
Demikianlah, hukuman yang sedemikian berat memang pantas buat penyamun, termasuk perompak laut, sebagai penghinaan di dunia bagi mereka.
Jadi, tak ada negosiasi dengan perompak. Mereka harus diserbu, ditangkap, dan dihukum. Tentu jika negara memiliki nyali dan angkatan perang yang hebat. Dan perompak tidak akan berani lagi merampok warga negara tersebut. Sebaliknya, jika ini tidak dilakukan, maka hanya akan menunjukkan bahwa negara itu tidak punya nyali dan angkatan perangnya pun loyo. Lawan perompak pun tak berani.[]