Belajar dari Kasus Bom Cirebon

Perkataan ini ditujukan kepada anak-anak muda muslim  yang sedang bersemangat, namun tidak berhati-hati dalam menerapkan apa yang sedang dipelajarinya. Tidak sekali dua kali saya menemui, seorang anak muda yang begitu bersemangat menerapkan apa yang dibacanya dalam al-Qur’an. Ia hanya membaca satu ayat tanpa mempertimbangkan ayat lainnya.

Ketika disampaikan kepadanya, bahwa bacalah Tafsir untuk memahami bagaimana para Salafush Shalih memahami ayat ini, mereka mengatakan, ” Apakah Tafsir itu lebih tinggi dari Al Qur’an. Untuk apa merujuk pada Tafsir?” Hati terasa tersentak mendengar statemen ini. Apakah anak-anak muda yang baru belajar al-Qur’an ini (dengan bacaan yang masih banyak kelirunya) merasa lebih memahami al-Qur’an  daripada Mufassir Shalafus Shalih seperti Imam Ibnu Katsir?

Kemudian ketika mereka menafsirkan tekstual nash sebagaimana terjemahan al-Qur’an yang mereka baca –namun menjadi kurang tepat karena Bahasa Arab seringkali kehilangan makna bila diterjemahkan dalam bahasa lain–, dan kemudian disampaikan kepada mereka, lihatlah bagaimana Rasulullah Saw menjelaskan dalam haditsnya, mereka kembali mengatakan, “Hadits tak lebih tinggi daripada Al Qur’an!” Hati pun terasa miris. Bagaimana mereka memandang Rasulullah Saw sebagai suri teladan? Bagaimana mereka memandang hadits-hadits Rasulullah Saw? Bukankah al-Qur’an pun sampai melalui lafazh Rasulullah Saw dan al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk menjadikan Beliau sebagai suri teladan?

Dalam berdebat, anak-anak muda ini tak segan menyebut kata “sesat” atau “kafir” kepada lawan debatnya. Padahal hanya untuk sebatas perbedaan masalah fiqh, seperti memahami seputar sholat dan puasa.

Ketika ada penerapan hukum yang berbeda, terlebih dalam situasi tidak adanya hukum Islam yang diterapkan dalam bentuk negara sehingga tak ada yang mempersatukan pendapat kaum muslimin, maka begitu mudahnya mereka mengkafirkan sesama muslim.

Sungguh menyayat hati. Benak pun dipenuhi pertanyaan. Siapa yang mengarahkan anak-anak muda ini? Mereka berani berkata kasar, bahkan kepada orang tuanya sendiri. Padahal Islam memerintahkan untuk bersikap lemah lembut kepada kedua orang tua, meskipun mereka dalam kondisi kafir. Siapa yang mereka tiru? Mengapa akhlak mereka tampak jauh dari akhlak seorang muslim?

Sangat jauh dari sikap Rasulullah Saw yang sangat menghormati dan berlemah lembut kepada pamannya sendiri, Abu Thalib yang hingga akhir hayatnya tetap kafir. Tidakkah mereka pernah membaca kisah tentang Sa’ad bin Abi Waqash, seorang shahabat yang dijamin masuk surga dalam hadits Rasulullah Saw. Ketika pemuda Sa’ad masuk Islam, ibunya menghalangi dengan mogok makan agar Sa’ad bersedia kembali kepada agama nenek moyang. Sa’ad dibawa ke hadapan ibunya yang sangat kepayahan karena tidak mau makan.

Sa’ad berkata, “Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda…, seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu persatu, tidaklah ananda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga…! Maka terserahlah kepada bunda, apakah bunda mau makan atau tidak …!

Perkataan yang diucapkan dengan santun namun tegas ini membuat ibunya mundur teratur, dan turunlah wahyu yang mengokohkan pendirian Sa’ad.

Para pemuda Islam adalah pribadi yang terpuji, mencintai Allah SWT dan RasulNya, berakhlak mulia, kokoh pendirian, tidak pengecut, berani mengatakan kebenaran dan setiap perilakunya tidak menyalahi hukum syara’.

Peristiwa Bom Cirebon seolah membuka kesadaran kita. Mungkin bagi pemuda itu, siapapun dia yang telah membunuh dirinya dalam peristiwa di Cirebon, barangkali dalam benaknya ia akan masuk Surga. Karena tempat meninggalnya di masjid, pada hari Jum’at pula. Sebuah cara berpikir yang sangat-sangat sempit.

Peristiwa tragis di Cirebon ini pun membuat bayangan para pemuda (lain) dengan perilaku yang mencemaskan tadi kembali hadir silih berganti. Mereka ada. Siapa yang ada di belakang mereka? Para pemuda seperti ini, tidak bisa menjadi harapan dalam perjuangan penegakan Islam yang sesungguhnya.

Kasus bom bunuh diri Cirebon, menjadi pemicu kalangan yang membenci penerapan syariat Islam, untuk semakin mencaci maki Islam. Mereka menuduh bahwa ideologi Islamlah sumber dari perilaku-perilaku radikal semacam ini. Akhirnya mereka menuntut agar upaya deradikalisasi menjadi agenda yang sangat penting. Deradikalisasi yang dimaksud adalah deideologisasi atau menghilangkan sifat Ideologi Islam sehingga Islam hanya menjadi sebatas agama ritual saja.

Bicara soal deradikalisasi, maka sebenarnya ini termasuk agenda kerjasama penting antara AS dengan negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Deradikalisasi saat ini menjadi rekomendasi khusus dari Militer AS untuk Indonesia.

Bila peristiwa bom Cirebon berujung pada statemen-statemen yang menjadi point-point rekomendasi AS ini, maka kita seolah melihat jalinan benang merah yang menghubungkannya. Bisa jadi pihak-pihak yang menghubungkannya, betapapun tidak nyambungnya, akan semakin terlihat jelas.

Bercermin dari kasus bom Cirebon ini, hendaknya para pemuda muslim membuka matanya. Jangan sampai mereka justru menjadi trigger yang semakin membuat: (1) Muslim awam menjadi antipati terhadap Islam, (2)  Musuh-musuh Islam senang dengan momen yang bisa membuat mereka semakin menjelek-jelekkan Ideologi Islam; (3) Menghalangi perjuangan penegakan Islam yang sesungguhnya dilakukan dengan dakwah tanpa kekerasan; (4) Menguatkan profil muslim yang sebagaimana yang diinginkan oleh AS, yaitu muslim yang toleran terhadap pluralisme, demokrasi, kesetaraan gender dan Hak Asasi Manusia.

Untuk itu belajar Islam memang harus hati-hati. Al Qur’an dan As Sunnah adalah pedoman. Senantiasa ikhlas dan berdoa agar Allah SWT menyelamatkan kita ke jalan yang benar. Jangan sampai menuruti emosi dan hawa nafsu diri sendiri. Jadikan Rasulullah Saw sebagai suri teladan. Allah SWT memerintahkan kita,” Laqod kaana lakum fii Rasuulillaahi uswatun hasanah…” (QS. Al-Ahzab: 21).

Peristiwa Cirebon, alih-alih memberikan manfaat bagi Islam, namun justru menjadi penghalang dan penghambat perjuangan penegakan kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Wallahu A’lamu Bish Shawab.

(Lathifah Musa, 18/04/2011)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *