Tanggapan Terhadap Pidato Presiden RI Tentang Keberhasilan Demokrasi
Oleh Lathifah Musa
Dengan berbesar hati, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan dalam pidato kenegaraan HUT ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI, bahwa Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar di dunia setelah India dan AS. Indikasinya adalah kestabilan dan kemapanan demokrasi di Indonesia, pada saat banyak demokrasi di dunia runtuh. Menurutnya salah satu hasil nyata dari proses demokratisasi di Indonesia adalah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di seluruh Indonesia. Saat ini, seluruh gubenur, bupati dan walikota telah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini juga menunjukkan peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental.
Namun kebanggaan Presiden ini justru berbenturan dengan kenyataan-kenyataan ironis di tengah masyarakat. Adakah relevansi antara keberhasilan demokrasi dengan kesejahteraan rakyat? Kenyataannya keberhasilan demokrasi di Indonesia justru semakin mengungkapkan banyaknya problem-problem kemasyarakatan. Apakah sekaligus hal ini menjadi bukti bahwa negara demokrasi adalah negara yang gagal menyelesaikan persoalan-persoalan rakyatnya? Tulisan berikut akan memaparkan bahwa kegagalan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia mendapat sumbangan terbesar dari keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia.
Menuju Negara Gagal
Negara yang seharusnya memiliki peran memberikan jaminan kehidupan bagi warga negaranya. Dengan kata lain, negara terlahir untuk memberikan barang-barang politik (political goods), seperti keamanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, hukum dan keadilan, serta infrastruktur seperti jalan dan fasilitas komunikasi yang diperlukan oleh rakyatnya. Sebuah Negara dikatakan gagal ketika tidak mampu menjalankan peran tersebut.
Dalam hal keutuhan wilayah, negara gagal adalah negara yang pemerintah pusatnya tidak mampu mengontrol dan menguasai wilayahnya. Dalam negara gagal, masalah keamanan tidak bisa dinikmati lagi oleh rakyat. Bisa jadi negara justru menjadi pihak yang memunculkan teror bagi rakyatnya.
Dalam negara gagal, sruktur pemerintahan tidak berjalan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tidak bisa diterapkan dengan baik. Terkadang sebuah kebijakan berseberangan dengan kebijakan lainnya. Keputusan sebuah lembaga menghalangi implementasi keputusan lainnya. Peraturan yang satu berbenturan dengan peraturan lainnya.
Ketimpangan ekonomi sangat mencolok di negara gagal. Kesejateraan tidak merata. Kekayaan hanya mengalir ke kelompok orang tertentu saja. Mereka yang menjadi penguasa dan dekat dengan penguasa bertambah kaya, sementara yang miskin semakin bertambah sengsara. Keuntungan melimpah bisa didapat dari spekulasi mata uang, percaloan dan pengambilan kebijakan. Korupsi merajalela di negara gagal. Koruptor menyimpan hasil korupsinya di bank-bank luar negeri, bukan di negerinya sendiri yang membutuhkan kapital.
Indonesia dan Indikasi-indikasi Kegagalan
Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Yosep Adi Prasetyo yang biasa disapa Stanley mengingatkan banhwa Indonesia kini merupakan negara yang berpotensi menjadi negara gagal. Dalam daftar lembaga riset dan majalah Foreign Policy, Indonesia menempati urutan ke 62 dengan status negara dalam bahaya atau State in Danger. Urutan pertama adalah Somalia di Afrika. (Rakyat Merdeka, 25 Agustus 2010)
Perbincangan tentang indikasi-indikasi yang mengarah kepada kegagalan sebuah negara, akhir-akhir ini menjadi diskusi serius menyikapi berbagai persoalan bangsa. Sebut saja berbagai kebijakan yang justru semakin menyengsarakan rakyat, seperti kenaikan TDL pada bulan Agustus 2010 yang memicu kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok. Seolah kenaikan TDL menjelang bulan Ramadhan tahun ini ingin bersembunyi di balik kenaikan harga yang selalu menyertai menjelang Hari Raya Idul Fitri. Belum lagi pemerintah sudah mengisyaratkan bahwa awal 2011 TDL akan naik lagi sebesar 15%. Dalam APBN tahun 2011 subsidi listrik untuk rakyat diturunkan 14,1 Trilyun Rupiah, yang pada tahun 2010 sebesar 55,2 Trilyun Rupiah menjadi hanya 41 Trilyun Rupiah. (Sindo, 17 Agustus 2010). Tentunya ini menjadi kado pahit kebijakan pemerintah yang akan semakin menenggelamkan rakyat dalam situasi sulit. Karena kenaikan TDL seperti biasa akan menimbulkan efek domino kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok yang lain.
Yang membuat kehidupan rakyat semakin terjepit adalah bahwa kenaikan harga-harga kebutuhan pokok rakyat ini pada faktanya tidak selaras dengan peningkatan kemakmuran. Pengangguran masih belum terselesaikan. Jumlah rakyat miskin, sekalipun dikabarkan mengalami penurunan (tahun 2010 mencapai 13% dari total jumlah penduduk atau sekitar 31 juta jiwa), namun kriteria miskin masih dipertanyakan oleh berbagai kalangan.
Beberapa kriteria yang sudah tidak relevan lagi antara lain sumber
penerangan rumah tidak menggunakan listrik dan bahan bakar, untuk memasak sehari-hari menggunakan kayu bakar/arang/minyak tanah. Padahal kenyataannya saat ini sudah sangat jarang rumah yang tak berlistrik, bahkan gubuk di pinggir jalan saja sudah menggunakan penerangan lampu listrik. Harga minyak tanah pun jauh lebih mahal daripada harga LPG. Dalam kriteria lama, harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, jagung, singkong, ikan asin, telah melonjak berlipat-lipat.
BPS menggunakan acuan garis kemiskinan senilai Rp 211.176 ribu per bulan per kapita yang sudah sangat tidak relevan untuk kehidupan saat ini, walaupun angka ini sudah dinaikkan dari sebelumnya yaitu Rp 200.262. Banyak kalangan menduga bahwa tetap dipertahankannya kriteria miskin ini membuat pemerintah bisa memanipulasi data angka kemiskinan sehingga menjadi alasan untuk mencabut subsidi lebih banyak lagi.
Persoalan keamanan nasional lebih memprihatinkan. Kecemasan yang menghantui rakyat tidak sekedar dari maraknya kasus kejahatan, terutama perampokan bersenjata, namun juga akibat ledakan gas LPG yang telah mencapai puluhan orang tewas dan seratus lebih korban luka-luka. Dalam rilis berita Antara News 3 Agustus 2010, kasus-kasus penculikan anak juga mengalami peningkatan. Korban perdagangan wanita (women trafficking) pun masih menjadi problem yang membelit kaum perempuan di Indonesia.
Kecemasan masyarakat semakin bertambah dengan aktivitas Densus 88, satuan khusus di bawah Polri yang telah menangkapi lebih dari 500 orang terduga teroris tanpa kejelasan bukti. Bahkan penangkapan Ust. Abu Bakar Ba’asyir semakin menambah kegeraman masyarakat terhadap perilaku Densus 88 yang justru semakin menebar teror di tengah masyarakat. Pemerintah pun hanya disibukkan oleh isu-isu ancaman teroris tanpa bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Posisi pemerintahan SBY tampak sibuk mengurusi isu seputar ancaman diri, tanpa melihat bahwa ancaman terror bom yang sesungguhnya telah menelan korban yang begitu banyak di tengah masyarakat, yakni teror bom LPG. Wajar jika saat ini berkembang usulan masyarakat agar pemerintah lebih baik membentuk Densus Anti Teror Ledakan Tabung Gas LPG.
Berbagai problem yang setiap saat bermunculan seolah-olah menjadi rutinitas biasa bagi masyarakat. Kriminalitas, kemiskinan, kerusakan moral, pengangguran, kurangnya pendidikan, minimnya fasilitas transportasi, air bersih, mahalnya biasa kesehatan membuat kondisi rakyat kecil bagaikan tak punya pemimpin dan seperti tak ada negara lagi.
Relevansi Demokrasi dan Kegagalan Negara
Dalam wawancara terpisah harian Kompas (25 Agustus 2010) kepada mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafi’I Ma’arif, mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Farid wajdi, ketiganya secara terpisah memaparkan bahwa kegagalan negara disebabkan karena Pancasila semakin direduksi sehingga kesejahteraan rakyat sulit terwujud. Menurut Kiki Syahnakri, basis cultural bangsa ini bukanlah individualisme dan liberalisme yang bermuara pada kapitalisme, bukan demokrasi. Kapitalisme tak akan memberikan keadilan sosial. Kondisi ini yang harus dibenahi. Secara umum wawancara ini menyimpulkan bahwa bukan demokrasi yang menyebabkan kegagalan peran negara, namun nilai individualisme dan kapitalisme.
Tentunya analisis ini tidak relevan dengan sorotan bahwa terjadi peningkatan demokratisasi di Indonesia. Indonesia dipandang sebagai negara yang telah berhasil mengimplementasikan demokrasi dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana yang dibanggakan oleh Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya.
Dalam sejarahnya, penerimaan terhadap demokrasi harus sejalan dengan penerimaan terhadap nilai-nilai liberalisme dan individualisme. Perjalanan kebangkitan Eropa dan AS pada abad ke-18 pun mencapai kesempurnaannya dengan menjadikan sekularisme liberalisme sebagai asas bernegara sekaligus kepemimpinan ideologi masyarakatnya. Saat itulah Kapitalisme menjadi roda penggerak kemajuan negara dan demokrasi menjadi pendamping setia yang senantiasa menjaga eksistensinya. Dalam sistem ini, sifat individualisme akan mendominasi kehidupan masyarakat. Dengan demikian adalah mustahil mencerabut nilai liberalisme dan individualisme tanpa sekaligus menghancurkan demokrasi.
Persoalan selanjutnya adalah kejujuran bahwa kegagalan penyelenggaraan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari keberhasilan demokratisasi. Mengapa sampai saat ini tidak ada para petinggi negara ini yang bisa melihat relevansi demokrasi dengan kegagalan penyelenggaraan negara?
Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Senior Singapura pernah mengatakan bahwa Singapura tidak perlu menjadi demokratis, karena demokrasi hanya membuat negara menjadi chaos. Walaupun ada yang berdalih bahwa hal itu terjadi karena ketidakmatangan dalam demokrasi, namun itulah demokrasi. Tidak pernah ada negara yang sukses ketika secara jujur menerapkan demokrasi secara murni dan konsekuen.
Bapak (sekaligus juga korban) pertama demokrasi yaitu Socrates pernah mengatakan bahwa, ”Demokrasi, yang merupakan bentuk pemerintahan yang menggairahkan, penuh dengan variasi dan kekacauan, …hasratnya yang tak bisa dikenyangkan bisa membawa kepada kehancuran.”
Bagi Indonesia, contoh yang paling nyata justru adalah kebanggaan Presiden SBY tentang konsep otonomi daerah yang justru mengancam keutuhan negara. Kenyataannya ide otonomi daerah yang merupakan provokasi Asing telah berhasil melepaskan Timor-timur menjadi Negara Timor Leste. Otonomi daerah yang berlanjut dengan tuntutan otonomi khusus saat ini juga memudahkan campur tangan Asing untuk mengatur wilayah-wilayah tanah air. Dengan mudahnya LSM-LSM Asing menyelusup dan memprovokasi penduduk setempat untuk menuntut kemerdekaan. Isu kemerdekaan yang menjadi tuntutan Papua sudah bukan rahasia lagi. Bahkan seolah-olah pemerintah pusat tidak lagi mempunyai taji untuk mengendalikan wilayah ini.
Keberhasilan otonomi daerah juga tidak terlepas dari kepentingan ekonomi Kapitalisme Global. Di berbagai daerah, kepentingan swasta sering mendorong pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah. Bahkan kerjasama Asing dengan pemerintah daerah telah banyak dilakukan. Sebagai contoh, seiring dengan penegasan otonomi di daerah Otorita Batam dengan UU No 53 Tahun 1999-2001, di Batam telah bercokol 515 pabrik milik perusahaan asing yang sebagian besar bergerak di bidang industri. Tahun 2005 jumlahnya membengkak menjadi 750 pabrik. Pada tahun 2010, telah terjalin kerjasama dengan investor-investor Asing untuk mengelola secara penuh pulau-pulau terluar di perairan ini.
Keberhasilan demokratisasi dan isu Hak Asasi Manusia juga telah membawa kemerosotan moral generasi ke taraf yang serius. Demokrasi yang menjadi pelindung kebebasan berekspresi telah menyebabkan kasus pornografi dan pornoaksi terkatung-katung. Sebut saja kasus video mesum Ariel, Luna Maya dan Cut Tari. Para advokad selebriti ini menggunakan jargon hak asasi manusia dan demokrasi untuk melepaskan kliennya dari jerat hukum. UU Pornografi justru memberi peluang untuk pelaku kemaksiatan melenggang dengan bebas.
Yang lebih mencengangkan lagi pada Perayaan Kemerdekaan RI ke-65 ini, kebebasan berperilaku yang dinaungi oleh hak asasi manusia dan demokrasi telah mencoreng kader-kader (yang katanya) pilihan generasi muda teladan Indonesia. Sejumlah calon Pasukan Pengibar Bendera Putri (Paskibra) 2010 DKI Jakarta telah mengalami pelecehan seksual oleh para seniornya. Mereka mengakui telah diperintah untuk telanjang dan ditonton oleh para seniornya (Kompas.com, 22 Agustus 2010).
Kegagalan bernegara di tengah kebanggaan berdemokrasi ini semakin bertambah panjang dengan bebasnya para koruptor kakap yang telah merugikan negara puluhan milyar rupiah. Hal ini semakin mencederai perasaan rakyat kecil yang seringkali menerima hukuman berat hanya ketika mengambil benda-benda tak sebanding harganya seperti biji kakao, rontokan kapuk dan sebutir semangka.
Kegagalan negara dalam mengawal keutuhan wilayah juga tampak menjelang HUT kemerdekaan dengan ditangkapnya Petugas Kementerian dan Kelautan dan Perikanan di wilayah teritorial Indonesia sendiri, sementara pada saat yang sama pemerintah tidak mampu berbuat apa-apa untuk melindungi warga negaranya.
Deretan indikasi kegagalan negara barangkali akan semakin bertambah panjang bila mencermati berbagai kasus pada tahun-tahun belakangan ini. Justru ketika suasana berdemokrasi semakin meningkat. Banyak produk UU yang dihasilkan oleh Badan Legislatif, nyatanya semakin melemahkan eksistensi negara, seperti UU migas, UU Penanaman Modal, UU Pengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan lain-lain, yang telah menghabiskan begitu banyaknya uang negara. Belum lagi UU yang terkait dengan pendidikan dan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan yang justru semakin melemahkan kualitas generasi masa depan. Inilah indikasi-indikasi kegagalan bernegara yang relevan dengan berjalannya demokratisasi di Indonesia.
Umat Islam Berharap Pada Islam
Hal yang wajar, ketika kaum muslimin yang beriman kepada Allah SWT, meyakini kebenaran al Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw dan Hari Akhirat, sangat berharap pada Syariat Islam sebagai solusi seluruh persoalan kehidupan. Penderitaan dan kesengsaraan bertubi-tubi yang menimpa umat ini hendaknya membuat para pemimpin umat menjadi sadar, bahwa jalan keluar yang terbaik dari seluruh kegagalan penyelenggaraan negara hanyalah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Terkadang ketidakpercayaan diri terhadap Islam menyebabkan kaum muslimin kehilangan harga dirinya, dengan tunduk di hadapan musuh-musuh Islam semacam AS dan sekutu-sekutunya. Bahkan mencampakkan kehormatan dengan meminta bantuan kepada mereka untuk menangani problem-problem umat Islam. Padahal musuh-musuh Islam memang telah memasang jebakan agar negeri-negeri Islam tergantung dan tunduk kepada kepentingan mereka, untuk selanjutnya menghisap darah rakyat dan menyedot habis kekayaan alam di wilayah kaum muslimin.
Allah SWT berfirman:
“Janganlah orang-orang Mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (teman akrab, pemimpin, pelindung atau penolong) denganmeninggalkan orang-orang mukmin. Siapa saja yang berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” (TQS Ali Imran: 28)
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS an–Nisa:101)
Kesombongan dan pengabaian terhadap hukum-hukum Allah SWT hanya berujung pada kesengsaraan di dunia dan malapetaka dahsyat di akhirat. Maka siapapun yang mengaku muslim, tak layak untuk mengabaikan upaya-upaya penerapan syariat Islam. Siapapun yang mengaku mukmin juga tak pantas menghalangi perjuangan penegakan Islam yang dilakukan secara damai tanpa kekerasan sedikitpun.
Maka bagi yang meyakini kebenaran janji Allah SWT, mari memperjuangkan tegaknya Islam di muka bumi ini dalam naungan Khilafah Islamiyah sebagaimana diteladankan oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya..
Adalah tanggung jawab kita semua untuk menyelamatkan negeri ini dari makar orang-orang kafir, sekaligus menyelamatkan diri-diri kita dari kedahsyatan pertanggungjawaban di hari Akhirat nanti.
“Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakanNya. kepada siapa yang dikehendakinya dari hamba-hambaNya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (TQS al–A’raf: 128)