Masa Depan Timur Tengah

Oleh Lathifah Musa


Ikatan Penguasa-Rakyat yang Terurai

Pergolakan di Timur tengah telah membuka mata kita bahwa ikatan-ikatan yang dibangun oleh penguasa Tiran terhadap rakyatnya kini mulai terputus. Hilang sudah kepercayaan rakyat bahwa para penguasa mampu mengurusi urusan mereka.

Pergolakan yang berawal dari Tunisia ini merupakan akumulasi penderitaan rakyat yang berpuluh-puluh tahun hidup dalam sistem Kapitalisme. Hal ini sebagaimana komentar Mohamed A El-Erian, pemimpin utama Pimco, perusahaan investasi global, putra seorang diplomat Mesir dan masih memegang paspor Mesir, yang mengatakan, kesenjangan antara si kaya dan si miskin relatif tinggi. Ini menjadi keprihatinan lama warga Mesir. “Ada pertumbuhan ekonomi, tetapi hasilnya tidak menetes ke bawah,” katanya di New York, Amerika Serikat (AS), Minggu (6/2/2011). (Kompas, 7 Februari 2011)

Aksi-aksi besar di Tunisia dalam waktu singkat memicu gelombang aksi serupa di Mesir, Yaman, Aljazair, dan Jordania. Di Mesir, rakyat telah muak dengan kemiskinan, pengangguran, kenaikan harga barang dan biaya hidup, korupsi, serta ketimpangan gaya hidup.

Seorang demonstran menggambarkan habisnya toleransi mereka atas segala represi dan kekejaman penguasa. Mubarak dikenal sebagai pemimpin yang reaktif terhadap kritik. Ia dengan mudah menangkapi para pengkritik. Hal itu diperburuk ketimpangan pendapatan selama 30 tahun pemerintahan Mubarak. (Kompas, 7 Februari 2011).

Demokratisasi dalam Kendali Amerika

Mesir sebagai negara penting di Timur Tengah menjadi titik terpanas pergolakan di kawasan ini. Pemerintah Mesir kini dikontrol oleh tiga elite lingkaran Mubarak, yaitu Wakil Presiden Omar Sulaiman, Perdana Menteri Ahmed Shafiq, dan Menteri Pertahanan Sayyid Hussein Tantawi. Mereka menghadapi situasi dilematis. Di satu sisi tidak ingin menumbangkan Mubarak saat ini dan di sisi lain tidak menghendaki penggunaan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa di Alun-alun Tahrir.

Awal pergolakan Mesir tidak kali ini tidak terlepas dari peran media khususnya internet sebagai saluran komunikasi massa yang berlangsung terus menerus. Mark Lynch, profesor ilmu politik dan hubungan internasional dari George Washington University, AS, mengaku tercengang dengan kekuatan gerakan rakyat di Tunisia dan Mesir yang dilakukan tanpa satu pusat koordinasi (terdesentralisasi) dan tidak melalui jalur-jalur oposisi resmi seperti partai politik, yang seharusnya menjadi saluran perubahan politik.(Kompas 7 Februari 2011)

Adalah Ghonim, eksekutif Google yang disebut-sebut sebagai penggalang utama di balik gelombang demonstrasi menuntut mundur Presiden Mubarak. Ribuan orang mengikuti posting Ghonim di Facebook yang berisi ajakan untuk turun ke jalan. Saat ini diberitakan bahwa ia menghilang di Mesir setelah  ikut serta dalam demonstrasi. Dilaporkan ia berada dalam penahanan aparat. Namun tak jelas dimana ia ditahan. Sejak ditahan, sosoknya dijadikan figure oleh para demonstran (Republika.co.id. 7 Februari 2011)

Pergerakan kaum muda Mesir menuntut reformasi konstitusi di Mesir, pembentukan sebuah pemerintahan transisi, pembebasan tahanan politik dan penghapusan pengadilan pembelaan diri bagi warga sipil, mengakhiri status darurat di negara itu dan menjamin kebebasan demokrasi.

Demokrasi yang mulai tumbuh di wilayah ini, kini menyoal persoalan-persoalan baru. Hendak kemana arah perubahan di Mesir atau kawasan Timur Tengah lainnya. Amerika Serikat sejak awal tak luput campur tangan dari pergolakan Mesir, hal ini karena Mubarak adalah sahabat baik dan sekutu AS.

Menurut mantan Wapres AS Dick Cheney, Mubarak telah membantu AS dalam Perang Teluk serta berjuang bersama AS dalam Perang Kuwait. Mubarak bersahabat dengan Israel dan senantiasa berkomitmen menjalankan kepentingan AS dan Israel di kawasan itu. AS telah mengandalkan Mubarak selama puluhan tahun  dan menopang rezim otoriternya dengan bantuan miliaran dollar AS untuk militernya.(Kompas 7 Februari 2011)

AS sendiri telah memimpin pembicaraan tentang transisi Mesir dalam pertemuan kelompok Kwartet (kelompok Empat) di Munchen yang dihadiri oleh Menlu AS Hillary Clinton, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton, menlu Rusia Sergei Lavrov dan Sekjen PBB Ban Ki-moon. Mereka membahas transisi demokrasi yang tertib di Mesir. Sekjen PBB Ban Ki-moon, “Sangat penting bagi Kwartet setuju untuk meningkatkan keterlibatannya agar proses perdamaian (di kawasan itu, yang terkait dengan Palestina-Israel) itu  ‘kembali ke jalurnya’.” (Antara/AFP.7 Februari 2011)

Maka siapa pun yang menggantikan Mubarak, ia harus seorang tokoh yang bisa menjaga status quo Mesir di Timur Tengah dan menjaga stabilitas kawasan. Dengan demikian setting demokrasi akan mempertahankan kendali AS di kawasan ini. Apakah kelak ia adalah Wakil Presiden Omar Sulaiman yang dianggap berpengalaman? Atau mantan Direktur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Mohamed ElBaradei yang kini memimpin Lembaga Nasional untuk Perubahan? Atau Amr Mousa, mantan Menteri Luar Negeri Mesir dan kini masih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Liga Arab? Atau yang lain? Maka Mesir tak akan berubah.

Bagaimana dengan Ikhwanul Muslimin, sebagai Gerakan Islam yang cukup menonjol di Mesir? Juru bicara Ikhwanul Muslimin, Rashad al-Bayoumi, dalam wawancara dengan mingguan Der Spiegel dari Jerman mengatakan, pihaknya sengaja tak ingin menonjol dalam aksi saat ini agar tidak muncul kesan bahwa ini adalah revolusi Islam. ”Ini adalah perlawanan rakyat Mesir,” ujar Bayoumi dalam wawancara yang diterbitkan utuh hari Senin ini.

Pemimpin Ikhwanul Muslimin, Mohammed Badie, menegaskan, pihaknya memiliki tuntutan yang sama dengan seluruh demonstran di Mesir saat ini, yakni mundurnya Mubarak. ”Kami berdiri bersama seluruh kekuatan politik, yang mendukung dialog dengan siapa pun yang ingin melakukan reformasi di negara ini setelah kepergian tiran yang korup dan tak adil ini,” ujar Badie dalam wawancara dengan Al-Jazeera. (Kompas, 7 Februari 2011)

Masa Depan Mesir

Bagaimana masa depan Mesir dan Timur Tengah, tergantung pada lingkungan politik yang tumbuh di kawasan itu. Selama masyarakat masih berharap pada demokrasi yang notabene adalah sistem politik liberal, maka dengan mudahnya Mesir berada dalam cengkeraman Barat (AS dan sekutunya).

Barangkali saat ini AS telah kehilangan pamornya di Mesir. Para pemimpin AS yang datang ke Mesir akan mendapatkan ancaman besar dengan kemarahan rakyat. Standar ganda kebijakan AS telah begitu transparan bagi masyarakat Timur Tengah. Propaganda AS tentang perdamaian, dibarengi dengan kebijakannya membiarkan Israel membantai rakyat Palestina. AS pun memasok persenjataan canggih ke Israel dan membiarkan Israel menjadi satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir. Ini menunjukkan ambiguitas kebijakan AS.

Namun transisi demokrasi akan mengulur waktu bagi AS menemukan sosok yang tepat untuk memimpin Mesir dan menjalankan arah kebijakannya. Selama proses tersebut, pergolakan akan selalu mungkin terjadi. Demokrasi memperlebar ruang tawar-menawar kepentingan politik. Selama ini tak pernah ada kepemimpinan politik yang kuat dalam lingkungan demokrasi. Inilah yang harus disadari oleh masyarakat muslim dunia, termasuk Mesir.

Ikatan kuat yang pernah menjadi sejarah kebangkitan Mesir adalah ikatan Islam. Sebagaimana juga terjadi di kawasan Timur Tengah dan belahan dunia manapun. Kaum muslimin akan kuat dan mampu bangkit bila disatukan oleh ikatan aqidah Islam.

Aqidah Islam ini harus menjadi dasar kepemimpinan politik yang mampu  menyatukan dan menggerakkan rakyat untuk mengatur dirinya secara baik.

Bila pilihan Mesir adalah Islam, maka sesungguhnya kekuatan dukungan kaum muslimin akan melintasi batas-batas kawasan bahkan benua. AS sebagai negara yang sebenarnya kewalahan dengan problem ekonomi negaranya dan memiliki hutang luar negeri yang sangat besar, tak akan mampu lagi mengendalikan Mesir.

Namun bila demokrasi masih menjadi pilihan, maka bersedialah untuk tetap apa adanya di bawah kendali AS. Dengan demikian masa depan Mesir kembali kepada keputusan mayoritas rakyatnya. “Innallaaha laa yughayyiru maa biqoumin hatta yughaiyyiruu maa bi anfusihim. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri mau mengubah nasibnya.” (Ar-Ra’du: 11). Wallahu a’lamu bishshawab.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *